Usulan itu datang dari sekelompok warga Malaysia. Mereka meminta Putrajaya menuntut pemerintah Indonesia sebesar 1 ringgit atau sekitar Rp 3.371 atas kabut asap lintas batas yang terjadi di negaranya.
Nominal yang kecil untuk kasus yang besar. Asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan telah masuk Negeri Jiran. Kabutnya begitu pekat. Aktivitas dan kesehatan masyarakat di sana menjadi terganggu.
Kelompok ini meminta pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas masalah kebakaran tersebut. Apalagi asap kebakaran hutan ibarat tamu tahunan yang tak diundang. Selalu datang, terutama saat musim kemarau.
Para penggugat itu percaya tidak ada solusi ajaib untuk mengatasi kebakaran tersebut. Pasalnya, api yang menghanguskan sebagian besar lahan gambut terjadi karena berbagai faktor. Dari mulai korupsi, kurangnya teknologi, dan tidak adanya tanggung jawab dari perusahaan sawit.
“Kami menggugat untuk memaksa pemerintah Indonesia memikul tanggung jawab hukum atas kebakaran hutan di negaranya,” kata kelompok itu dalam pernyataan tertulis seperti dikutip dari Malay Mail, Minggu (15/9).
(Baca: Upaya Memadamkan Kebakaran Hutan, Racun Api hingga Hujan Buatan)
Gara-gara kebakaran ini, Singapura pun ikut kena imbasnya. Pada pekan lalu kualitas udara Singapura menyentuh titik terburuknya dalam tiga tahun terakhir. Badan Lingkungan Nasional Singapura memperingatkan warganya untuk mengurangi aktivitas fisik di luar ruangan yang berkepanjangan dan berat.
Pemerintah di sana juga sedang dagdigdug karena akhir pekan nanti akan menggelar balapan Grand Prix Formula 1. Panitia penyelenggara mengakui kabut asap menjadi masalah besar karena mengganggu jarak pandang, kesehatan, dan masalah operasional lainnya.
"Penyelenggara perlombaan telah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampak kabut asap pada saat balapan nanti," kata seorang juru bicara F1, seperti ditulis oleh BBC, kemarin. Adu balap mobil ini tetap berlangsung dengan segala risikonya.
Di Kalimantan dan Sumatera kondisinya lebih buruk. Badan Meteorologi dan Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mendata kualitas udara di Palembang, Sumantera Selatan, menyentuh kategori bahaya pada Rabu pagi kemarin.
Kepala Seksi Observasi dan Informasi Stasium Meteorologi Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, Bambang Beny Setiaji, mengatakan asap yang masuk ke kota itu berasal dari titik panas wilayah sebelah selatan dan tenggara Palembang.
Angin kemudian mendorong asap itu dengan kecepatan sembilan sampai 37 kilometer per jam. Jarak pandang di Palembang menjadi hanya 700 sampai 800 meter dengan kelembapan 95%-96%. Kelembapan tinggi ini memperburuk keadaan karena membentuk fenomena kabut asap.
Jarak pandang di Kepulauan Riau, menurut Stasiun Meteorologi Han Nadim, Batam, tidak lebih baik, malah terus memburuk. Titik kebakaran hutan atau hotspot belum berkurang. Jumlahnya ribuan dan masih banyak tersebar di wilayah itu.
(Baca: #SawitBaik, Kampanye Kominfo yang Dikecam di Tengah Kabut Asap)
Pada saat meninjau langsung lokasi lahan terbakar di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan, Riau, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menduga kebakaran yang terjadi merupakan unsur kesengajaan yang terorganisasi.
“Kalau lihat luasannya besar sekali, ini terorganisasi,” kata Jokowi pada Selasa lalu. Ia sempat mempertanyakan lambatnya penanganan kebakaran hutan ini. Pasalnya, hutan gambut yang terlanjur terbakar akan sulit sekali memadamkannya. Ibarat sekam, tanah gambut bisa terus menyalakan api.
Jokowi akhirnya menetapkan status siaga darurat di provinsi itu. Penetapan ini bertujuan agar proses pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Bumi Lancang Kuning semakin masif.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo mendapat perintah untuk membuat hujan buatan dalam jumlah besar.
Tak Pernah Ada Efek Jera untuk Pembakar Hutan
Selama sepuluh tahun terakhir tercatat ada 1.226 kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Kejadian ini menyebabkan 443.278 orang menjadi korban. Dari grafik Databoks berikut ini terlihat angka korban tertinggi terjadi pada 2014.
Kebakaran tahun ini memang tak separah pada 2015. Namun, luas lahannya dan hotspot-nya tidak bisa disebut sedikit.