SINGAPURA adalah gambaran terdekat bagi Indonesia mengenai dampak perang dagang dan kelesuan ekonomi yang tengah menghantui dunia saat ini. Negara maju di kawasan Asia Tenggara ini sedang terancam resesi ekonomi. Namun, negeri jiran tersebut juga sigap mengubah haluan investasi dan menata ulang perekonomiannya.
Pekan ketiga Oktober lalu, jurnalis Katadata.co.id, Sorta Tobing, berkesempatan mengunjungi Singapura untuk meliput denyut lemah namun sekaligus perubahan ekonomi negara tersebut, yang kemudian dituangkan dalam tiga seri tulisan mulai hari ini.
Usia kemerdekaannya baru 54 tahun, tapi Singapura punya sejarah panjang lebih lama dari itu. Sejak zaman Sriwijaya sampai Majapahit, negara ini telah eksis menjadi tempat banyak kapal berlabuh.
Tapi momen pada 1819 menjadi titik balik negara tersebut. Sir Thomas Stamford Raffles menyatakan pulau yang luasnya serupa Jakarta itu bernama Singapura. Fungsi utamanya menjadi tempat pelabuhan bebas di bawah kekuasaan kerajaan Inggris.
Tujuan penempatan itu semata untuk menandingi dominasi Belanda di Selat Malaka. Langkah tersebut terbukti jitu. Pedagang dari Arab, Cina, dan Bugis mengalihkan perdagangan ke sana ketimbang ke wilayah Belanda yang pelabuhannya cenderung tertutup.
Singapura kemudian berhasil menjadi kota pelabuhan yang terbuka dan modern. Transaksi perdagangannya naik berkali-kali lipat.
Tahun ini, pemerintah Singapura merayakan 200 tahun kedatangan Raffles. Perayaannya tak ingar-bingar, hanya berupa pameran dan pertunjukan sejarah Singapura. Beberapa pihak berpendapat tak seharusnya momen kolonialisme dan penjajahan dijadikan perayaan.
(Baca: Ekonomi Singapura Diproyeksi Tumbuh 0,1%, Terhindar dari Resesi?)
Katadata.co.id sempat menyaksikan keseluruhan The Bicentennial Experience tersebut di Fort Canning Park pada Minggu (20/10). Pertunjukan itu menceritakan bagaimana situasi pendudukan Sriwijaya, Majapahit, Inggris, Jepang, sampai Singapura menjadi negara merdeka seperti sekarang.
Pengunjung bisa merasakan situasi saat Inggris mendarat di pulau yang sempat bernama Temasek itu atau berada di dalam bungker ketika terjadi serangan tentara Jepang. Keterbukaan dan keberagaman menjadi kata kunci dalam pertunjukan interaktif selama sekitar 1,5 jam tersebut.
Namun, hal menarik lainnya adalah peristiwa dua abad lalu yang serupa dengan keadaan Singapura saat ini. Ekonomi negara berpenduduk 5,6 juta jiwa itu sedang sulit karena terjepit di antara dua raksasa ekonomi dunia. Kali ini bukan Inggris versus Belanda, melainkan Amerika Serikat dan Tiongkok.
Gara-gara kebijakan proteksionisme Presiden AS Donald Trump, ekonomi negara berpenduduk 5,6 juta jiwa itu terpuruk. Pertumbuhannya pada kuartal ketiga tahun ini hanya mencapai 0,6% dibandingkan kuartal sebelumnya.
Jika dibandingkan secara tahunan atau year-on-year, ekonomi kuartal III-2019 tumbuh 0,1%. Bank sentral di sana memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di antara nol persen hingga 1% akibat perang dagang AS-Tiongkok.
Angka tersebut merupakan yang terendah sejak 10 tahun terakhir. Pada saat krisis keuangan global terjadi, pertumbuhannya hanya mencapai 0,1% pada 2009.
Krisis Ekonomi yang Bayangi Singapura
Direktur Future Economy Programme Office Tan Lin Teck mengatakan, ekonomi negaranya masuk dalam kondisi mature sejak 2008. Manufaktur yang menjadi penyokong utamanya berkontribusi sekitar 22% dari produk domestik bruto. Tapi karena jumlah penduduknya yang sedikit, lebih dari 70% produknya untuk ekspor.
Guncangan kecil yang terjadi pada ekonomi global pasti berimbas kepada negara yang sangat bergantung pada sektor perdagangan itu. “Singapura selalu jadi yang pertama kena krisis, tapi yang pertama pula akan survive,” kata Tan pada 21 Oktober lalu di Kantor Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura.
Kinerja sektor manufakturnya pada Agustus 2019 sempat menunjukkan pertumbuhan negatif 6,4%. Tapi keadaan itu berbalik pada bulan berikutnya. Data dari Singapore Economic Development Board (EDB) menunjukkan pertumbuhan 0,1% secara tahunan.
Dari Databoks di bawah ini terlihat segmen yang mengalami kenaikan adalah biomedis, teknik presisi, dan teknik transportasi. Namun, penurunan masih terjadi untuk segmen bahan kimia, manufaktur, dan elektronik.
Pasar tenaga kerja Singapura pun mulai mengalami dampak perang dagang. Tekanan ekonomi global membuat kenaikan upah menjadi sulit. Kesempatan bagi mereka yang kehilangan pekerjaan dan mencari yang baru pun sama peliknya.
Menurut Bloomberg, sementara bank sentral optimisitis pemulihan ekonomi akan terjadi di kuartal mendatang, prospek bidang ketenagakerjaan malah terus memburuk. Penambahan pekerjaan akan lebih sedikit pada akhir 2019 dibandingkan kuartal sebelumnya.
Survei ManpowerGroup pada September lalu menyebut propek pekerjaan dalam tiga bulan terakhir tahun ini paling pesimistis sejak kuartal ketiga 2017. Jumlah pengangguran di Singapura telah melampaui lowongan pekerjaan untuk pertama kalinya sejak dua tahun terakhir.
“Rasio lowongan pekerjaan dengan pengangguran merupakan kunci.dan telah turun di bawah paritas (keseimbangan),” ujar Selena Ling, kepala bidang penelitian dan strategi Oversea-Chinese Banking Corp, seperti dikutip dari Bloomberg.
(Baca: Terancam Resesi, Singapura Negara Penanam Modal Terbesar di Indonesia)
Kelesuan ekonomi juga terasa ketika Katadata.co.id mengunjungi Orchard Road pada pekan lalu. Jalanan yang kerap disebut surga belanja itu tampak tak terlalu ramai. Banyak toko terlihat sepi pengunjung, meskipun merek papan atas tetap bertebaran di sana.
Hal ini pun diamini oleh seorang pejabat pemerintahan di sana. Menurut dia, sepinya pengunjung di kawasan pusat retail itu juga karena imbas menjamurnya perdagangan daring atau e-commerce.
Karena itu, pemerintah Singapura sejak 2017 berencana merevitalisasi kawasan Orchard. Tak lagi menghadirkan tempat berbelanja, tapi menjadi kawasan hiburan dan kuliner.
Skala ekonomi kecil selalu menjadi tantangan besar bagi negara mungil ini. Tapi kekuatan ekonominya tak bisa disepelekan. Singapura termasuk dalam negara maju dengan PDB per kapitanya, menurut Bank Dunia, mencapai level US$ 82,7 ribu pada 2018.
Keterbukaan selalu menjadi kunci utama di negara itu. “Kami berteman dengan siapa saja,” ucap Lin. Pemerintah di sana paham betul bagaimana menarik investor ke negaranya. Peringkat kemudahan berbisnisnya berada di peringkat dua dari 190 negara di dunia.
(Baca: Singapura Resesi, Target Pertumbuhan Ekonomi Jokowi Terancam)