PT PANN (Persero) mendadak jadi sorotan. Perusahaan yang dulunya bernama PT Pengembangan Armada Niaga Nasional tersebut masuk dalam daftar penerima penyertaan modal negara (PMN) bernilai jumbo. Perusahaan akan mendapatkan PMN non-tunai bernilai 3,8 triliun, tahun depan.
Meski PT PANN masuk dalam daftar penerima PMN jumbo, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui bahwa dirinya baru mendengar tentang perusahaan pelat merah tersebut. Pengakuan itu disampaikannya ketika menjawab pertanyaan Anggota Komisi Keuangan DPR Misbakhun soal “Apa itu PT PANN?”
"BUMN-nya sudah lama tapi tidak populer, maka Pak Misbakhun dan saya sama-sama tidak pernah dengar," kata Sri Mulyani dalam rapat membahas PMN dengan Komisi Keuangan DPR, awal Desember lalu. Setelah perbincangan itu, nama PT PANN yang disebut Sri Mulyani tak populer mendadak jadi populer.
(Baca: Jumlah BUMN Terlalu Banyak, Erick Thohir Buka Peluang Bubarkan PT PANN)
Bahasan mengenai PT PANN “berlanjut” dalam rapat antara Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dengan Komisi VI DPR di hari yang sama. Ia menyebut PT PANN sebagai contoh perusahaan pelat merah yang bisnisnya tidak fokus.”Bagaimana perusahaan leasing kapal ini bisa hidup,” ujarnya.
Ia mengatakan, perusahaan yang semula bergerak di bisnis penyewaan kapal laut itu sempat merambah bisnis penyewaan pesawat terbang, dan tiba-tiba berbisnis hotel. “Ini yang harus dimerger atau ditutup karena terlalu banyak (bisnisnya)," kata dia.
Yang menarik, Erick sempat menyoroti keberadaan anak usaha PT PANN yang disebutnya hanya “menggemukkan diri” dan diisi kroni-kroni oknum, dan bahkan pensiunan sehingga tidak membuka lapangan kerja.
(Baca: Erick Thohir Heran Banyak BUMN Punya Hotel, Berikut Sebagian Daftarnya)
PT PANN memang diketahui memiliki anak usaha, yaitu PT PANN Pembiayaan Maritim yang dipisahkan secara bisnis (di-spinn off) pada 2013 lalu. Perusahaan tersebut meneruskan bisnis PT PANN yang bersalin rupa menjadi perusahaan induk (holding company).
Sejarah PT PANN
Berdasarkan situs resmi PT PANN, pemerintah mendirikan perusahaan pada 16 Mei 1974. Ini artinya, perusahaan sudah beroperasi selama 45 tahun. Pada awal pendiriannya, perusahaan utamanya bergerak di bidang pembiayaan kapal laut, sebelum kemudian merambah pembiayaan lain, seperti pesawat terbang.
Pendirian perusahaan sesuai amanat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) II, yaitu agar pemerintah membentuk suatu badan yang bertugas di bidang pembiayaan dan pengembangan armada niaga nasional.
Pada 8 Agustus 2012, PT PANN mendirikan anak usaha yaitu PT PANN Pembiayaan Maritim yang kemudian di-spin off pada 19 Februari 2013. Dengan demikian, kegiatan bisnis inti PT PANN dialihkan kepada anak usaha, sedangkan PT PANN bertindak sebagai holding company.
(Baca: Sri Mulyani Baru Dengar PT PANN, BUMN Penerima Suntikan Rp 3,76 T)
Dalam situs perusahaan tertulis beberapa bisnis yang digarap perusahaan seperti penyewaan barang modal dengan opsi membeli maupun tidak, pembelian piutang (anjak piutang), manajemen perkapalan, pialang asuransi kapal, hingga penyewaan ruang kantor.
Keuangan PT PANN: Merugi Hingga Ekuitas Minus
Mengacu pada data Kementerian BUMN, perusahaan mengalami ekuitas negatif Rp 3,55 triliun per akhir 2018. Perusahaan hanya membukukan aset Rp 886,98 miliar, sedangkan total liabilitas Rp 4,44 triliun. Tak ayal, perusahaan membutuhkan suntikan modal.
Bila ditelusuri lebih jauh, perusahaan tercatat mengalami tekanan keuangan sejak lama. Perusahaan mencatatkan rugi setengah triliun pada 2015 dan 2016. Kerugian berlanjut pada 2017 meski dengan jumlah yang jauh menyusut, dan berbalik untung pada tahun lalu meski tipis yaitu Rp 2,35 miliar.
Seiring tekanan keuangan yang dialami perusahaan, OJK pun membekukan bisnis anak usaha penerus PT PANN yaitu PT PANN Pembiayaan Maritim pada Februari 2018.
Pembekuan terjadi lantaran perusahaan melanggar ketentuan rasio kesehatan yaitu rasio ekuitas dan gearing ratio sesuai Peraturan OJK 29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Namun, perusahaan tidak menyampaikan rencana pemenuhan ketentuan tersebut kepada OJK sesuai tenggat waktu.
Pembekuan bisnis berlangsung selama sembilan bulan. OJK mencabut pembekuan tersebut pada November 2018, seiring sudah diajukan dan disetujuinya rencana pemenuhan rasio-rasio kesehatan.
Tahun | Laba (Rugi) Tahun Berjalan yang Diatribusikan kepada Entitas Pengendali |
2018 (unaudited) | Rp 2,35 miliar |
2017 (unaudited) | (Rp 69,62 miliar) |
2016 (audited) | (Rp 559,93 miliar) |
2015 (audited) | (Rp 515,27 miliar)* |
2014 (audited) | Rp 48,67 miliar* |
*Laba (rugi) tahun berjalan
Sumber: Kementerian BUMN
Bila ditelusuri, ada beberapa problem yang sudah sempat terungkap dan menggerogoti keuangan PT PANN. Salah satu problem tersebut, seperti disinggung Erick, yaitu masalah di bisnis pembiayaan pesawat terbang yang dimulai pada era tahun 1990-an.
Pemerintah mengadakan pembelian pesawat impor Boeing 737-200 dan menugaskan PT PANN sebagai eksekutor. Pesawat tersebut di antaranya diberikan kepada Mandala Airlines dan Bouraq Airlines yang sama-sama berakhir gulung tikar.
Dengan Mandala Airlines, masalah utang-piutang sebetulnya sempat diselesaikan di pengadilan niaga. Mandala menghentikan operasi pada 2011 dan menjalani sidang pailit. Ketika itu, diputuskan penyelesaian utang melalui konversi utang menjadi saham.
Problemnya, ada peraturan yang melarang perusahaan pembiayaan menyertakan modal di perusahaan non-keuangan. Masalah ini disebut-sebut jadi alasan di balik langkah PT PANN melakukan spinn off anak usaha pada 2013, yaitu agar mekanisme penyelesaian utang tersebut memungkinkan.
Persoalannya, bisnis Mandala Airlines tidak berujung baik. Pada 2014, perusahaan dinyatakan pailit dan berhenti beroperasi, dengan jumlah aset yang di bawah kewajiban.
Selain tertekan bisnis pembiayaan pesawat, PT PANN diketahui sempat terbelit masalah anjak piutang fiktif. Masalah tersebut muncul dalam laporan hasil pemeriksaan BPK tahun 2014.
BPK menyebut PT PANN mengalami kerugian sebesar Rp 55,05 miliar dari pembiayaan anjak piutang yang ternyata fiktif, sehingga piutang tersebut macet. Penyebabnya, manajemen PT PANN dianggap kurang berhati-hati dalam menyusun skema anjak piutang, mengawasi pelaksanaan anjak piutang, serta menangani pelunasan anjak piutang yang bermasalah.
Atas masalah tersebut, BPK merekomendasikan Menteri BUMN untuk meminta pertanggungjawaban direksi PT PANN serta jajarannya yang diindikasikan sengaja dan terlibat dalam menyusun skema anjak piutang.
Meski Menteri Erick sempat menyinggung soal kemungkinan merger atau penutupan bisnis untuk menangani masalah BUMN yang tak fokus dan merugi, namun belum ada kepastian mengenai langkah yang akan diambil atas PT PANN. Yang jelas, sejauh ini, langkah yang disiapkan adalah pemberian PMN non-tunai Rp 3,8 triliun.
Jika mengacu pada penjelasan dalam buku nota keuangan dan APBN 2020, PMN untuk PT PANN diberikan dalam bentuk konversi atas pokok utang penerusan pinjaman kepada BUMN tahun 1993 dan 1994, menjadi modal. PMN ini bertujuan untuk memperbaiki struktur permodalan PT PANN dan rasio utangnya.
“Penambahan PMN tersebut diharapkan membuat PT PANN dan anak usahaannya menjadi bankable untuk mendukung kinerja keuangan dan operasional yang lebih optimal, serta dapat me-leverage kegiatan usahanya di bidang pembiayaan maritim dan lini bisnis lainnya,” demikian tertulis.