Beberapa tahun terakhir, perbankan asal Jepang dan Korea Selatan seakan berlomba masuk ke industri perbankan Tanah Air. Namun, baru-baru ini Bangkok Bank mengejutkan pasar dengan mengumumkan rencana untuk mengakuisisi 89,12% saham PT Bank Permata Tbk. 

Bangkok Bank memenangkan persaingan dengan sederet bank raksasa Asia, seperti Sumitomo Mitsui, DBS, dan Bank OCBC yang dikabarkan ikut menawar Bank Permata. Bank asal Negeri Gajah Putih ini telah meneken perjanjian pembelian bersyarat pada pekan lalu untuk mengambil alih saham Standard Chartered Bank dan PT Astra Internasional Tbk yang saat ini menguasai masing-masing 44,56% pada bank dengan kode saham BNLI.

Ketiganya juga menyepakati nilai akuisisi sebesar 1,77 kali nilai buku atau mencapai sekitar Rp 37,43 trilun jika mengacu buku kuartal III 2019. Penyelesaian transaksi ditargetkan rampung tahun depan.

Bangkok Bank kemudian akan melakukan tender offer untuk saham tersisa sehingga total nilai transaksi berpotensi mencapai sekitar Rp 42 triliun. Namun, nilai pasti akusisi akan disesuaikan dengan laporan keuangan terakhir sebelum penyelesaian transaksi.

(Baca: Rencana Besar Bangkok Bank Akuisisi Permata hingga Rp 42 Triliun)

Presiden Bangkok Bank Chartsiri Sophonpanich menyatakan ekspansi bisnis dilakukan karena melihat prospek ekonomi Indonesia yang positif. Hal ini mengacu pada pengalaman bisnis mereka selama ini di Indonesia.

Bank terbesar kedua di Thailand ini sebenarnya bukan pemain baru di Indonesia. Mereka sudah memiliki kantor cabang di Indonesia sejak 1968. 

"Permata menawarkan platform yang solid dan besar dengan kemampuan yang melengkapi tujuan strategis kami, termasuk memperluas jaringan distribusi, merek retail yang kuat, dan kemampuan digital yang maju,” kata Sophonpanich.

Mengutip laporan keuangan September 2019, Bangkok Bank menikmati pertumbuhan keuntungan yang cukup signifikan di Indonesia pada tahun ini. Laba kantor cabang bank asing ini naik hampir tiga kali lipat dibanding posisi September tahun lalu mencapai Rp 679,87 miliar.

Total aset Bangkok Bank di Indonesia mencapai Rp 36,08 triliun dengan penyaluran kredit sebesar Rp 22,31 triliun. Sementara itu, total aset Bangkok Bank secara keseluruhan mencapai US$ 105 miliar. Bank ini masuk dalam 10 besar bank beraset terbesar di ASEAN. 

Pada 2017, Bangkok Bank menempati posisi ketujuh, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.

Bangkok Bank sebenarnya tak diwajibkan menggabungkan kantor cabang bank asing miliknya dengan Permata. Hal ini lantaran kantor cabang bank asing dikecualikan dari kewajiban konsolidasi dalam aturan kepemilikan tunggal perbankan.

Namun, lain hal jika Bangkok Bank ingin memiliki mayoritas saham Bank Permata. Sesuai Peraturan OJK terkait kepemilikan saham bank umum, maksimal kepemilikan saham lembaga keuangan sebesar 40%.

Adapun pemegang saham dapat memiliki saham di atas 40% jika memperoleh kelonggaran dari OJK. Kelonggaran tersebut antara lain dapat diperoleh jika melakukan penggabungan atau konsolidasi bank.

Katadata.co.id sudah berupaya mengkonfirmasi perihal rencana akuisisi Bank Permata oleh Bangkok Bank kepada Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK Heru Kristiyanto, Deputi Pengawasan perbankan OJK Slamet Edi, serta Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Manajemen Strategis OJK Anto Prabowo. Namun, belum ada respons dari OJK terkait hal tersebut.

Dominasi Jepang dan Korsel

Aksi menguasai kepemilikan mayoritas melalui akuisisi dan merger pada perbankan nasional belakangan juga gencar dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan asing, terutama yang berasal Jepang dan Korea Selatan.

Awal tahun ini, Bank terbesar kedua di Jepang, Sumitomo Mitsui Banking Corporation resmi memiliki 96,9% saham PT Bank Tabungan pensiunan Nasional Tbk atau BTPN. Kepemilikan mayoritas tersebut diperoleh setelah meleburkan bisnis PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia ke dalam bank yang fokus pada bisnis pensiunan tersebut.

Menyusul pesaingnya, The Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ juga meningkatkan kepemilikan sahamnya pada PT Bank Danamon Indonesia Tbk hingga mencapai 94% melalui aksi merger. Namun, alih-alih menggabungkan kantor cabang bank asing-nya, BTMU justru menggabungkan Bank Danamon dengan PT Bank Nusantara Parahyangan atau BNP. Padahal, kepemilikan BTMU pada BNP hanya mencapai 7,9%.

Merger tersebut dimulai sejak awal tahun dan resmi rampung pada September lalu. Pada transaksi akuisisi dan merger tersebut, dana yang dikeluarkan BTMU mencapai Rp 49,6 triliun.

Saat ini, Bank Danamon bahkan telah memiliki modal inti mencapai Rp 33,57 triliun terutama setelah mendapat tambahan modal dengan melepas PT Asuransi Adira Dinamika. Bank tersebut sudah dapat masuk dalam kelompok bank umum kegiatan usaha IV atau bermodal di atas Rp 30 triliun sehingga dapat melakukan ekspansi bisnis lebih luas.

Adapun BTMU juga masih memiliki kantor cabang bank asing dengan aset per September mencapai Rp 166 triliun dan laba bersih Rp 3,97 triliun.

Selain bank asal Jepang, lembaga keuangan asal Korea Selatan juga belakangan masuk ke Indonesia secara masif meski pada bank dengan ukuran jauh lebih kecil.

Paling anyar, Industrial Bank of Korea atau IBK menggabungkan PT Bank Agris Tbk dan PT Bank Mitraniaga Tbk. IBK kini menggenggam 95,79% bank hasil merger yang kini telah berganti nama menjadi PT Bank IBK Indonesia Tbk

Sebelumnya, perusahaan keuangan asal Korsel, APRO Financial pada pertengahan tahun ini juga baru merampungkan merger antara Bank Oke Indonesia dan Bank Dinar. Sebelum diakuisisi APRO, Bank Oke Indonesia adalah Bank Andara. Setelah aksi merger tersebut, APRO Financial menguasai 91,33% saham. 

(Baca: Bank Asing Gencar Ekspansi ke RI, Pengamat Ingatkan Komitmen ke UMKM)

Aksi akuisisi dan merger untuk menguasai mayoritas saham pada bank di Indonesia juga sebelumnya dilakukan oleh investor Korsel lainnya, seperti KEB Hana, Shinhan Bank, dan Woori Bank.

Hal ini sesungguhnya sejalan dengan keinginan OJK untuk mendorong konsolidasi perbankan. Sejak era kepemimpinan sebelumnya, OJK sempat memberikan syarat bagi investor asing yang ingin masuk ke bisnis perbankan di Indonesia untuk membeli dua bank asing dan menggabungkan kedua bank tersebut.

Namun, syarat tersebut tak diatur dalam peraturan, melainkan supervision action atau tindakan sesuai kewenangan OJK sebagai pengawas perbankan.

Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan Heru Kritiyana sebelumnya menjelaskan jumlah bank di Tanah Air yang  mencapai 112 bank terlalu banyak. Apalagi, 71% di antaranya masuk dalam kelompok bank umum kegiatan usaha atau BUKU I atau bermodal inti di bawah Rp 1 triliun.

"Apakah mereka di tengah persaingan yang ketat terkait perkembangan ekonomi dunia maupun teknologi bisa survive?," ungkap dia.

Untuk itu, menurut dia, konsolidasi harus dilakukan bank-bank kecil agar lebih efisien dan memiliki pasar yang lebih luas. Dengan demikian, bank-bank tersebut dapat bertahan di tengah persaingan yang kian ketat.

Bersambung ke Halaman Berikut....

Berebut Ceruk Pasar dengan Margin Tinggi

Pengamat Perbankan Indonesia Banking School Batara Simatupang menjelaskan, pasar perbankan Indonesia saat ini masih sangat atraktif. Dengan demikian, tak heran banyak investor asing yang tertarik pada industri padat modal ini, termasuk Bangkok Bank yang ingin memperluas bisnis melalui akuisisi  Permata.

Meski Bangkok Bank memang sudah memiliki bisnis di Indonesia sejak 51 tahun lalu, menurut dia, bisnis kantor cabang bank asing tersebut sulit berkembang. Hal ini terlihat dari posisi rasio modal atau CAR per September 2019 yang mencapai 67,98%.

"Secara geopolitis, penting bagi Bangkok Bank untuk tumbuh signifikan. Cara mereka tentu hanya dapat didongkrak dengan tumbuh secara anorganik melalui akuisisi bank di Indonesia," jelas dia.

Menurut Batara, perekonomian Indonesia yang diperkirakan akan masuk dalam empat besar dunia pada 2045 menjadi daya tarik bagi investor. Apalagi, banyak penduduk Indonesia yang saat ini belum tersentuh layanan perbankan, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

Adapun Permata dinilai dapat menjadi pilihan yang tepat bagi Bangkok Bank karena telah memiliki nasabah lebih dari 3 juta orang di 62 kota.

"Bangkok Bank tentu tak ingin ketinggalan dan ingin ikut menjadi pemain seperti Singapura, Malaysia, Jepang, dan Korsel yang sudah lebih dulu," jelas dia.

Sementara itu, Analis Investa Sarana Mandiri Hans Kwee menjelaskan margin bunga bersih atau NIM perbankan di Indonesia turut menjadi daya tarik bagi investor asing. 

"NIM perbankan di Indonesia meski turun, masih salah satu yang cukup tinggi di dunia. Perbankan masih sangat prospektif terlebih dengan pasar Indonesia yang besar," jelas dia.

Berdasarkan data Statistik Perbankan OJK, rata-rata margin bunga bersih atau NIM perbankan pada September 2019 mencapai 4,9%, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 5,1%. Namun, NIM tersebut masih berada di atas perbankan Thailand, Malaysia, apalagi Singapura.

Adapun industri perbankan pada periode tersebut juga mencatatkan laba bersih tumbuh 6,6% menjadi Rp 117,59 triliun. Kenaikan laba bersih terutama ditopang oleh pendapatan nonbunga yang tumbuh mencapai 23,7%.

 (Baca: Ditopang Pendapatan Non Bunga, Laba Perbankan Tembus Rp 117 Triliun)

Kendati masih sangat menguntungkan, persaingan bisnis perbankan di Indonesia dinilai tak mudah. Apalagi, bank merupakan industri padat modal sehingga membutuhkan investor yang kuat.

"Bangkok Bank ini salah satu bank terbesar. Harapannya memang mereka bisa suntik modal ke Bank Permata supaya bisa ekspansi bisnis," ungkap Hans Kwee.

Rencana pergantian pemegang saham Permata sebenarnya sudah didengungkan sejak beberapa tahun lalu. Ini bermula saat Standard Chartered mengumumkan ingin melepas bisnisnya di Bank Permata setelah menjual Agricultural Bank of China Ltd pada 2015.

Hal tersebut sebenarnya merupakan bagian dari upaya bank asal Inggris tersebut mereformasi portofolio bisnisnya. Namun di sisi lain, kondisi Bank Permata pada 2015 juga mulai memburuk.

Pada tahun itu, laba Permata anjlok 84% dibanding tahun sebelumnya menjadi Rp 247 miliar. Kinerja keuangan bank tersebut bahkan memburuk pada 2016 dengan rugi bersih mencapai Rp 6,5 triliun, terlihat dalam databoks di bawah ini.

Namun, kinerja keuangan Permata perlahan pulih pada 2017 setelah restrukturisasi bisnis dan tambahan modal dari pemegang saham. Laba bersih pada 2017 mencapai Rp 748 miliar dan meningkat pada 2018 menjadi Rp 901 miliar. Adapun hingga kuartal III 2019, laba bersih perseroan telah mencapai Rp 1,1 triliun.

Pada awal 2019, rencana Standard Chartered melepas saham di Bank Permata pun kembali bergulir. PT Bank Mandiri Tbk bahkan sempat menyatakan minat membeli Permata, tetapi kemudian gugur di tengah jalan. 

Adapun setelah pengumuman akuisisi oleh Bangkok Bank, saham Astra Internasional bergerak naik, sedangkan sementara saham Bank Permata justru bergerak turun. "Ini memang sepertinya ada masalah, karena memang bisnis Bank Permata banyak yang terkait dengan Astra, sinerginya cukup besar," ungkap Hans Kwee.

Kendati demikian, Bangkok Bank sebelumnya telah memastikan bahwa Astra tetap akan menjalin sinergi dengan Bank Permata. "Astra tetap akan mendukung kelanjutan kerja sama bisnis yang sudah ada antara Permata dan Astra Group dalam berbagai platform dan produk," ujar Presiden Bangkok Bank Chartsiri Sophonich.

(Baca: Bakal Dikuasai Bangkok Bank, Saham Bank Permata Diburu Investor Asing)

Direktur Astra Suprano Jasmin menyatakan Astra akan memperkuat bisnis di sektor finansial terutama di segmen retail. Adapun saat ini Astra diketahui memiliki perusahaan pembiayaan, asuransi, hingga fintech.

Dari total laba bersih Astra hingga kuartal III 2019 sebesar Rp 15,86 triliun, sektor jasa keuangan memberikan kontribusi mencapai Rp 4,3 triliun.

Sementara itu, Direktur Utama Bank Permata menyebut akuisisi Bangkok Bank akan memberikan peluang bagi Bank Permata untuk memanfaatkan keahlian dan jaringan luas yang dimiliki Bangkok Bank dalam bisnis korporasi dan UKM.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami