Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menetapkan status tanggap darurat pandemi corona atau Covid-19 hingga 2 April mendatang, seiring meroketnya jumlah pasien. Spekulasi penutupan (lockdown) ibu kota negara semakin besar setelah Anies juga meminta perkantoran ditutup selama 14 hari ke depan. Ini mengikuti langkah sejumlah negara, seperti Malaysia,, Filipina dan Italia, yang mengunci diri dari luar.
Namun, pemerintah pusat tampak masih bimbang, bahkan enggan melakukannya. Hingga kini, Presiden Joko Widodo lebih memilih membatasi interaksi sosial atau social distancing untuk meredam penyebaran virus corona. "Bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah," kata Jokowi, Senin lalu (15/3).
Istilah social distancing memamg baru popular beberapa waktu terakhir ini. Jurnalis The Washington Post Harry Stevens menjelaskan konsep itu dalam artikelnya berjudul "Why outbreaks like coronavirus spread exponentially and how to 'flatten the curve'".
Di dalam artikel itu, Stevens menyajikan empat skenario dalam menangani pandemi corona. Skenario itu adalah tanpa pembatasan gerak sosial , isolasi penuh satu kawasan, pembatasan gerak sosial dua per tiga dari penduduk di suatu kawasan, dan social distancing dengan perbandingan satu banding delapan orang.
(Baca: Pandemi Corona Tak Cepat Diatasi, Pertumbuhan Ekonomi Terancam Stagnan)
Tulisannya berawal dari kondisi di AS saat ini. Jumlah kasus virus corona melonjak tajam. Dalam tampilan grafik, pertumbuhannya membentuk kurva eksponensial, menjulang seperti membentuk sisi gunung.
Semakin tajam grafik berarti semakin banyak kasus terjadi. Artinya, para penderita semakin sulit tertangani karena rumah sakit akan kewalahan dengan jumlah pasien yang membludak.
Hal ini sempat terjadi ketika kota Wuhan di Provinsi Hubei mulai mengalami kurva eksponensial pada Januari lalu. Karena itu, pemerintah Tiongkok membuat keputusan lockdown atau karantina penuh pada 23 Januari 2020 kepada kota tempat wabah Covid-19 bermula.
Setelah keputusan tersebut , Beijing lalu membangun rumah sakit khusus virus corona hanya dalam hitungan hari. Rumah sakit dua lantai ini mampu menampung hingga seribu pasien. Tenaga medis dikerahkan dari seluruh daratan China. Beberapa pabrik difokuskan memproduksi alat kesehatan, terutama masker.
(Baca: Pasien Positif Corona Capai 369, Kasus Baru Terbanyak dari Jakarta)
Tidak hanya itu, Tiongkok juga menerapkan karantina untuk semua penduduk. Aktivitas sehari-hari masyarakat dibatasi, begitu pula akses keluar-masuk Wuhan. Akibatnya, 15 kota di sekitarnya dan hampir 60 juta orang terkenda dampak.
Pemerintah di sana juga melakukan tes virus corona hampir ke semua penduduk. Setiap orang yang keluar dari tempat tinggalnya harus memakai masker penutup hidung dan mulut. Masker menjadi perangkat wajib karena Covid-19 mudah menular melalui droplets atau percikan ludah ketika seorang penderita bersin dan batuk.
Grafik secara perlahan melandai. Jumlah kasus mulai berkurang. Presiden Xi Jinping bahkan telah datang ke Wuhan pada 11 Maret lalu sebagai tanda berakhirnya wabah virus corona di sana.
Tiongkok kemarin mencatat tidak ada kasus baru virus corona di Wuhan. Rekor ini merupakan yang pertama kalinya terjadi sejak Komisi Kesehatan setempat mempublikasikan angka kasus dan korban yang meninggal pada Januari lalu.
Per hari ini, mengutip situs Worldometers.info, jumlah kasus Covid-19 di Tiongkok mencapai 80.967 orang. Total yang meninggal 3.248 orang dan yang sembuh 71.150 orang.
(Baca: Pasar Panik, Rupiah Anjlok ke Rp 16 Ribu per Dolar AS)
Apakah Lockdown Tepat untuk Indonesia?
Isolasi yang ketat, seperti di Tiongkok, menjadi gambaran skenario kedua penanganan virus corona pada tulisan Stevens. Jumlah korban banyak, begitu pula yang pulih. Semua beriringan dan harus diimbangi fasilitas kesehatan dan logistik yang memadai.
Yang menarik, skenario ini ternyata membuktikan tak ada karantina penuh yang mutlak. Selalu saja ada potensi orang positif menularkan ke yang lain di luar area isolasi. Hal ini yang kemudian membuat grafiknya cenderung tidak terlalu landai dibandingkan tiga skenario lainnya.
(Baca: Kisah Ignaz Semmelweis, Pelopor Cuci Tangan yang Berakhir Tragis)
Kembali ke AS. Situasi di sana sedang genting. Presiden AS Donald Trump telah melarang wisatawan dari Eropa, kecuali Inggris, masuk ke negaranya. Perbatasan AS dengan Kanada pun ditutup sementara.
Beberapa pemerintah di negara bagian juga sudah menutup sekolah dan mengimbau warganya untuk tetap berada di rumah guna mencegah penyebaran berlanjut. Jumlah kasus di negara adidaya itu telah mencapai lebih 14 ribu kasus dengan jumlah kematian 217 orang.
Yang paling parah saat ini adalah kasus Covid-19 di Italia. Kurva eksponensial itu menukik tinggi sampai belum kelihatan di mana puncaknya. Padahal, jumlah kasus di sana sudah mencapai lebih 40 ribu orang, dengan kasus kematian 3.405 orang. Angka tersebut melebihi jumlah pasien Covid-19 yang meninggal di Tiongkok.
Indonesia mungkin jumlah kasusnya masih sedikit. Hingga Jumat ini (20/3), pemerintah menyebut kasus positif Covid-19 sebanyak 369 orang. Namun rasio kematiannya tergolong tinggi.
Dengan jumlah kasus yang meninggal mencapai 32 orang, negara ini memiliki fatality rate sebesar 8,67%. Padahal, angka rata-ratanya secara global adalah 3,4%, menurut hitungan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.
Laju pertumbuhan kasusnya, menurut grafik Databoks di bawah ini, tergolong sangat cepat dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Lima puluh kasus pertama tercatat hanya dalam waktu 12 hari.
Namun, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menilai karantina wilayah (lockdown) bukan kebijakan tepat. Apalagi kalau karantina itu dilakukan di kota dengan jumlah kasus terbanyak saat ini, yaitu Jakarta.
Lembaga think tank itu memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa turun 0,5% jika lockdown terjadi di Jakarta selama dua pekan. “PDB tahunan Indonesia akan bekurang 1% jika (lockdown) berlangsung selama sebulan,” ujar Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri dalam artikelnya berjudul Tepatkah Lockdown dalam Menghadapi Covid-19? yang dirilis Senin lalu.
Jakarta saat ini menyumbang 25% pendapatan domestik bruto nasional dan menentukan lebih dari 60% perekonomian nasional. Meskipun ada pekerjaan bisa dilakukan secara virtual di rumah masing-masing, namun 80% aktivitas kerja masih membutuhkan lalu lintas manusia dan pertemuan.
(Baca: Jokowi Minta APBN Fokus untuk Tangani Corona, Bantuan Sosial, dan UMKM)