Virus corona baru merebak sejak awal bulan ini di Tanah Air. Namun dampaknya telah memukul berbagai sudut ekonomi. Indeks bursa saham rontok, rupiah terperosok, dan pelaku di sektor riil berteriak susah berusaha. Lembaga keuangan dunia, ekonom, dan otoritas pemerintah membuat sejumlah prediksi. Ekonomi Indonesia bisa masuk dalam skenario terburuk jika tidak mengatasi dengan benar pandemi ini.

Pada perdagangan Selasa kemarin (24/3), indeks harga saham gabungan ditutup turun 1,3 % di level 3.937. Sepanjang pekan ini, IHSG telah menyentuh posisi terendahnya sepanjang delapan tahun terakhir. IHSG sempat jatuh di level 3.000 yakni pada 24 Juni 2012 di posisi 3.955,58.

Untuk membendung meluasnya dampak Covid-19 di pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis beberapa kebijakan. Di antaranya, trading halt atau pembekuan selama 30 menit jika IHSG turun 5 %. Trading halt pertama kali sepanjang sejarah pasar modal Indonesia berlangsung pada Kamis (12/3) dan telah terjadi lima kali sejak itu.

Kemudian, OJK meminta PT Bursa Efek Indonesia, PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia, dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia untuk memangkas waktu operasional. Langkah ini sebagai adaptasi dari kebijakan Bank Indonesia yang mempersingkat jam operasional BI Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).

Mulai 30 Maret 2020, waktu perdagangan di bursa efek dibagi menjadi dua sesi. Transaksi perdagangan pertama mulai pukul 09.00 hingga 11.30 dan sesi kedua dimulai dari pukul 13.30 hingga 15.00. Sedangkan hari kerjanya tetap dari Senin sampai Jumat.

(Baca: Pandemi Corona Dalam Negeri Meluas, IHSG Diramal Kembali Anjlok)

Tak hanya merontokkan pasar modal, virus corona juga menjatuhkan nilai tukar rupiah. Pada Senin (23/3), harga jual dolar Amerika Serikat di lima bank besar menembus Rp 17 ribu. Sementara kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dolar Rate atau JISDOR menempatkan nilai rupiah di posisi 16.608 per dolar Amerika.

Mengutip Bloomberg, pelemahan rupiah menjadi yang terdalam di Asia. Angka itu juga merupakan yang terendah sejak krisis pada Juli 1998. Hari berikutnya, rupiah hanya menguat 0,45 % ke level 16.500 per dolar AS.

Bank Indonesia mencatat, aliran modal asing yang keluar dari Indonesia sejak awal tahun mencapai Rp 125,2 triliun di tengah kekhawatiran pandemi virus corona. “Bulan ini saja terjadi outflow Rp 104,7 triliun dari total Rp 125,2 triliun,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, Selasa (24/3).

Kemerosotan ini tampaknya belum akan berhenti karena wabah Covid-19 di Indonesia semakin luas. Kasus dan korban corona terus berjatuhan di berbagai daerah.

7 Skenario Ekonomi dan Potensi Resesi Akibat Virus Corona

Dalam riset bertajuk “The Global Macroeconomic Impacts of Covid-19” ekonom Australian National University, Warwick McKibbin dan Roshen Fernando meramalkan kegawatan luar biasa. Keduanya menyebutkan dampak virus corona jauh lebih buruk ketimbang Flu Spanyol yang pada 1918-1919 menjadi pandemi paling mematikan sepanjang sejarah dengan menelan 40 juta korban jiwa.

(Baca: Resesi Ekonomi yang Lazim Mengiringi Pandemi Besar di Dunia)

Dampak ekonomi Covid-19 diperkirakan bisa mencapai US$ 2,4 triliun atau sekitar Rp 39.304 triliun. Jauh lebih besar ketimbang penyakit pernapasan akut SARS yang pada 2003 memangkas ekonomi dunia sebesar US$ 40 miliar atau Rp 656,72 triliun.

Kedua ekonom itu membuat  tujuh skenario berdasarkan tingkat sebaran virus corona, kasus, dan jumlah korban tewas. Skenario satu sampai tiga jika corona hanya terjadi di Tiongkok dan bersifat sementara. Skenario empat hingga enam jika corona menyebar ke seluruh dunia dan bersifat sementara. Sedangkan pada skenario tujuh yaitu ketika wabah corona meluas ke seluruh dunia dan skala ringan, namun berulang pada tahun-tahun mendatang.

Mereka membuat prognosis berdasarkan lima faktor guncangan (shock). Yang pertama adalah equity risk premium atau guncangan pasar modal. Kemudian ada suplai tenaga kerja, biaya produksi, permintaan konsumsi, dan belanja pemerintah.

Secara garis besar, Indonesia menghadapi risiko kenaikan equity risk premium, penurunan suplai tenaga kerja, kenaikan biaya produksi, penurunan permintaan, dan kenaikan anggaran belanja.

Berdasarkan simulasi itu, keduanya memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 akan terkoreksi 1,3 % pada skenario empat; 2,8 % pada skenario lima; 4,7 % pada skenario enam, dan 1,3 % pada skenario tujuh.

Tabel: Dampak Virus Corona terhadap Tenaga Kerja dan Ekonomi Indonesia 2020

SkenarioJumlah korbanKoreksi PDB (%)
46471,3
51.6162,8
62.9094,7
76471,3

Sebelumnya, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3 %. Dengan skenario empat saja, pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia akan jatuh di kisaran 4 %.

Hingga Selasa (24/3), jumlah pasien positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 686 orang, 55 di antaranya meninggal dunia. Meski masih jauh dari angka 647 korban pada skenario empat, pemerintah harus berusaha keras untuk menekan korban.

McKibbin dan Fernando menyebutkan dampak terjadinya wabah penyakit terhadap pasokan tenaga kerja tak sebatas kematian. Sebab, selain penderita menjadi tak produktif, kinerja anggota keluarga yang merawat mereka akan terdampak. Apalagi, sekitar 70 % pekerja perempuan juga bertanggung jawab atas kelangsungan rumah tangga, termasuk kesehatan anggota keluarganya.

Dalam kasus Covid-19, masa karantina yang disarankan adalah selama 14 hari, lebih dari jatah cuti tahunan karyawan. Semakin banyak pekerja yang terinfeksi, semakin tinggi pula biaya produksi yang ditanggung perusahaan. Kondisi tersebut diperparah dengan kendala impor bahan baku dan barang modal dari Tiongkok yang menjadi epicentrum pandemi. Ujung-ujungnya, harga barang pun naik.

Kenaikan harga barang, ditambah penghasilan yang menurun akibat penyakit (jika tidak di-PHK) adalah kombinasi fatal pemukul daya beli. Pemerintah harus mengantisipasi merosotnya konsumsi yang selama ini jadi penyokong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Maka, kuncinya adalah realokasi anggaran. Pemerintah perlu mempercepat pengajuan rancangan APBN Perubahan 2020 dan mendorong pemerintah daerah melakukan hal yang sama. Jika itu tak dilakukan, praktis pemerintah hanya bisa memakai dana tanggap darurat sebesar Rp 5 triliun.

Melihat berbagai skenario tersebut, ekonomi Indonesia pada 2020 dan tahun-tahun mendatang akan sangat bergantung pada penanganan pandemi virus corona. Makin buruk penanganan, korban akan terus berjatuhan dan sulit membendung dampak ekonominya.

Halaman selanjutnya: Proyeksi Suram Menteri Sri Mulyani

Proyeksi Suram Menteri Sri Mulyani

Pemerintah bukan tak memahami besarnya dampak virus corona terhadap perekonomian. Presiden Joko Widodo telah memerintahkan relokasi anggaran.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun memaparkan beberapa skenario. Menurutnya, skenario paling moderat yaitu ketika pandemi Covid-19 bisa segera ditangani sehingga ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh di atas 4 %.

Namun, ia juga bersiap menghadapi kondisi yang lebih buruk jika durasi pandemi mencapai 3 – 6 bulan. Menurutnya, pembatasan penerbangan dan kegiatan perdagangan internasional yang terganggu akan berdampak besar terhadap ekonomi Indonesia.

Jika itu terjadi, “Pertumbuhan ekonomi bisa di kisaran 2,5 %, bahkan 0 %,” kata Sri Mulyani ketika memberikan keterangan pers hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melalui video conference di Jakarta, Jumat (20/3) lalu.

(Baca: Jaga Daya Beli Masyarakat, Jokowi Rilis Sembilan Kebijakan Bantuan)

Pemerintah pun membahas perubahan anggaran negara melalui konferensi video bersama pemimpin Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Kami membahas revisi dalam pelaksanaan APBN terkait penangan kesehatan, jaring pengaman sosial alias social safety net, dan insentif ekonomi untuk UMKM akibat dampak dari virus corona,” kata Anggota I BPK Hendra Susanto, Senin (23/3).

Dalam konferensi tersebut, ada Presiden Jokowi, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sekretariat Negara Pratikno, dan Sekretaris Kabinet Pramono Agung.

Sehari kemudian, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan, Sri Mulyani telah bersiap untuk segera membuat APBN Perubahan. Pemerintah menyiapkan perubahan besar akibat pandemi corona. “Baik mengenai asumsi makro maupun implikasi  anggaran, dan tentunya bagaimana komunikasinya dengan DPR,” kata Perry.

Kelesuan Global Akibat Covid-19 

Indonesia tak sendiri. Pada Februari lalu, Bank Pembangunan Asia atau ADB telah memperingatkan potensi kerugian ekonomi global sebesar US$ 347 miliar atau Rp 5.697 triliun akibat virus corona.

Kepala Ekonom ADB Yasuyuki Sawada menjelaskan, ada banyak ketidakpastian terkait penyebaran tentang virus corona termasuk dampak ekonominya. Untuk itu dibutuhkan beberapa skenario agar memberikan lebih jelas gambaran kelamnya akibat covid-19.

ADB membuat sejumlah skenario terkait kerugian yang dapat timbul akibat virus corona. Pada skenario dasar, virus ini diperkirakan menimbulkan kerugian US$ 77 miliar dan memangkas pertumbuhan ekonomi global 0,1 %.

(Baca: Bayang-bayang Resesi di Asia Tenggara dan Ekonomi Indonesia Tumbuh 0%)

Pada skenario moderat, kerugian ekonomi diperkirakan mencapai US$ 156 miliar dan mengikis pertumbuhan ekonomi dunia 0,2 %. Sementara pada skenario terburuk, kerugian ekonomi dapat mencapai US$ 347 miliar dan memangkas pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 0,4%.

“Kami berharap analisis ini dapat mendukung pemerintah saat mereka mempersiapkan tanggapan yang jelas dan tegas untuk mengurangi dampak manusia dan ekonomi dari wabah ini,” kata Sawada dalam keterangan resmi, Jumat (6/3).

Begitu pula The Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global. OECD memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 0,5 % menjadi 2,4 %. Pertumbuhan itu melambat dari tahun 2019 yang berada di angka 2,9 %. Berikut datanya:

Sementara itu, Lembaga Pemeringkat Global S&P memproyeksikan pandemi virus corona yang menyebar cepat di seluruh dunia menimbulkan kerugian ekonomi mencapai US$ 211 miliar atau sekitar Rp 3.463 triliun. Ekonomi Jepang, Hong Kong, Singapura, dan Australia disebut paling terdampak penyakit itu.

S&P memangkas perkiraan pertumbuhan tahun ini untuk Tiongkok menjadi 4,8 % dari perkiraan sebelumnya 5,7 %. Pertumbuhan Australia diramal melambat menjadi hanya 1,2 % dari tahun lalu 2,2 %. Sementara Jepang dan Korea Selatan akan terdampak perlambatan pertumbuhan ekonomi masing-masing 0,5 dan 1 %.

“Neraca risiko tetap downside karena transmisi lokal, termasuk di negara-negara dengan kasus yang dilaporkan rendah, transmisi sekunder di Tiongkok ketika orang kembali bekerja dan kondisi keuangan semakin ketat,” kata S&P dikutip dari Reuters.

Reporter: Agatha Olivia Victoria, Rizky Alika, Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami