Banyak yang buyar diterjang Covid-19. Satu di antaranya target besar pembagian laba saham perusahaan negara. Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir hampir memastikan rencana dividen Rp 49 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020 tak terpenuhi. Kinerja BUMN terseok imbas virus corona. Utang pun membelit cukup serius.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR pada awal bulan ini, Erick Thohir mengungkapkan keresahannya. BUMN kemungkinan hanya menyetor separuh dari target dividen karena terpukul pandemi corona. PT Garuda Indonesia Tbk menjadi salah satu yang paling terdampak. Armadanya tak bisa beroperasi secara normal di tengah berbagai pembatasan gerak manusia untuk mencegah penularan covid-19.

Advertisement

Perusahaan dengn kode emiten GIAA ini sedang lesu. Pada 5 Maret 2020, Wakil Presiden Garuda Mitra Piranti menyatakan kepada Nikkei Asian Review bahwa pihaknya harus memangkas sejumlah rute penerbangan internasional. Upaya mengejar pendapatan dengan memaksimalkan perjalanan haji dan umrah pun tak bisa terlaksana setelah pemerintah Arab Saudi menghentikan dua kegiatan tersebut.

Apalagi, jika ditengok ke belakang, kondisi Garuda memang tak terlalu bersinar. Maskapai ini pada tahun lalu mencatatkan kerugian US$ 669 juta dan modal usahanya minus US$ 2,1 miliar per 31 Desember. Dengan kondisi saat ini, kerugian terancam terulang bahkan semakin membengkak sampai akhir 2020.

Sejauh ini, langkah manajemen untuk membenahi kinerja Garuda melalui efisiensi pada 17 April kemarin dengan memotong gaji karyawan sampai Juni mendatang. Keputusan ini berdasarkan Surat Edaran Nomor JKTDZ/SE/70010/2020 tentang Ketentuan Pembayaran Take Home Pay Kondisi Pandemi Covid-19.

(Baca: Turbulensi Bisnis Penerbangan di Pusaran Pandemi Corona)

Selain GIAA, Erick dalam kesempatan itu menyatakan Pertamina, PLN, dan sejumlah perusahaan pariwisata pelat merah turut terdampak, yakni PT ASDP Indonesia Ferry dan PT Pelni. Kinerja BUMN yang menangani operasional bandara, PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II pun turut minus. Begitupun BUMN karya.

Masalah kinerja tersebut masih diperparah dengan tanggungan utang BUMN. Merujuk data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia yang dikeluarkan Bank Indonesia, utang luar negeri BUMN pada Februari kemarin meningkat. Angkanya mencapai US$ 55,4 miliar atau sekitar 5,4 % Produk Domestik Bruto Indonesia pada 2019 dan setara dengan 48,9 % APBN 2020. Jumlah tersebut naik 17,1 % dibanding tahun lalu pada bulan yang sama. Porsinya terhadap utang luar negeri swasta dalam negeri mencapai 27,1 %.

Utang luar negeri BUMN pada Februari paling banyak disumbang perusahaan plat merah non-keuangan (78,3%), disusul dengan bank (15%) dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (7%).

Bahkan sebelum corona mewabah, PT Krakatau Steel telah mengajukan restrukturisasi utang kepada 10 bank. Perusahaan ini mulai mengajukan restrukturisasi pada 22 Desember 2018. Akhirnya pada 12 Januari 2020 restrukturisasi senilai US$ 2 miliar didapatkan.

Dirut PT Krakatau Steel, Silmy Karim dalam Public Expose di kantor Kementerian BUMN pada 28 Januari menyatakan, “melalui restrukturisasi ini total beban bunga selama sembilan tahun utang dapat diturunkan secara signifikan dari US$ 847 juta menjadi US$ 466 juta.” Ia menambahkan, penghematan biaya dari restrukturisasi ini US$ 685 juta.

(Baca: Bisnis Tertekan Pandemi Corona, Garuda Potong Gaji Staf Hingga Direksi)

Deretan BUMN Ditunggu Jatuh Tempo Utang Tahun Ini

Kami pun mencatat beberapa BUMN memiliki utang jatuh tempo dalam waktu dekat. GIAA dalam laporan keuangannya pada 2019 memiliki kewajiban jangka pendek mencapai US$ 3,26 miliar—terdiri dari utang obligasi US$ 498,99 juta dan pinjaman jangka pendek US$ 984,85 juta. masih harus menanggung jatuh tempot utang sebesar US$ 500 juta pada Juni mendatang.

Direktur Utama Garuda, Irfan Setiaputra pada Maret lalu menyatakan utang tersebut berupa sukuk global dengan rasio liabilitas terhadap ekuitas perusahaan mencapai 3,84 kali. Saat itu ia menyatakan berharap kepada Kementerian BUMN dan kreditur agar bisa mengupayakan restrukturisasi utang.

Selain itu, April ini GIAA memiliki utang jatuh tempo kepada PT Bank Negara Indonesia Tbk dan PT Bank Permata Tbk senilai US$ 152,28 juta. Perihal ini, kemarin (20/4) kami mencoba menghubungi pihak GIAA melalui Humas Dicky Irchamsyah. Namun, sampai berita ini ditulis ia belum memberikan jawaban.

Lalu PT Timah Tbk yang menurut laporan keuangannya di laman Bursa Efek Indonesia memiliki utang mencapai Rp 8,79 triliun dengan jatuh tempo tahun ini. Rinciannya, utang dalam kurs rupiah kepada MUFG Rp 1,08 triliun, PT Bank Central Asia Rp 1,5 triliun, PT CIMB Niaga Rp 1 triliun, PT Bank Permata Rp 500 miliar.

Kemudian dalam kurs US$ kepada MUFG setara Rp 875,6 miliar, Bank Tabungan Pensiun Nasional setara Rp 556,04 miliar, PT CIMB Niaga setara Rp 396,18 miliar, dan Bank DBS Indonesia setara Rp 139 miliar. Sementara utang ke pihak berelasi dalam kurs rupiah sebesar Rp 2,07 trilun dan dalam kurs US$ setara Rp 668 miliar.

Waktu jatuh tempo utang emiten berkode TINS ini bervariasi. Kepada Bank Mandiri cabang Eropa dan Hongkong jatuh tempo mulai Februari, Mei dan Juni 2020. Utang TINS ke Bank Mandiri merupakan modal kerja sebesar Rp 1,53 triliun dan US$ 85 juta yang akan jatuh tempo pada 28 Juni 2020 dengan bunga antara 3,5 % sampai 8,6 % per tahun. Jumlah ini belum termasuk utang di Bank Mandiri cabang Hongkong dan Eropa, pun surat utang ke Bank Mandiri Syariah sebesar Rp 500 miliar.

Kepada Bank Central Asia akan jatuh tempo pada 28 Juli 2020 dengan tingkat suku bunga 7,7 % dan ke Bank Tabungan Pensiun Nasional jatuh tempo pada 30 November 2020 dengan bunga 7,98 sampai 8,08 % dan bunga 3,15 sampai 3,25 % atas utang dalam kurs dolar Amerika. Lalu utang ke Bank Permata jatuh tempo pada 27 Juni 2020 dengan bunga 8,2 %, dan utang obligasi serta sukuk yang masuk kewajiban jangka pendek jatuh tempo pada 28 September 2020.

Perihal ini, melansir Kontan.co.id, Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rully setiawan menyatakan status debitur TINS tergolong lancar atau tak memiliki tunggakan pembayaran. Maka, pihaknya belum memiliki rencana untuk merestrukturisasi TINS. “Mereka sudah ada perbaikan dalam model bisnisnya sehingga bisa menurunkan biaya produksi dan menaikkan profit margin di tahun 2020,” katanya, Minggu (19/4).

(Baca: Erick Thohir Sedih Hanya 10% BUMN yang Sudah Mandiri)

Perum Bulog turut memiliki utang jangka pendek ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dikarenakan keterbatasan kas dan penumpukan inventori. Hal ini diketahui dari presentasi Kementerian BUMN kepada Komisi VI DPR pada 3 April. Sekretaris Perusahaan Bulog Awaludin Iqbal kepada Katadata.co.id, kemarin (20/4), membenarkannya.

Namun, ia tak berkenan menyebutkan waktu jatuh tempo dan kepada bank mana saja utang tersebut dilakukan. “Tidak perlu sedetail itu lah,” kata Iqbal.

Lebih lanjut Iqbal menyatakan, utang tersebut dilakukan untuk memenuhi tugas utama Bulog sebagai penjaga cadangan pangan dan stabilitas harga di tingkat produsen dan konsumen. Bukan untuk investasi.

“Kami harus menyerap hasil panen di hulu, itu butuh biaya. Kami dapat dari utang,” kata Iqbal menjelaskan. “Nanti kami bayar setelah pemerintah membayar selisih dari barang yang disalurkan. Utangnya ada, barangnya juga ada.”

Saat ini, menurut Iqbal, stok di gudang Bulog masih besar karena terhambat distribusi selama pandemi corona. Sehingga pembayaran belum bisa dilakukan pemerintah. Meskipun begitu, menurutnya, pihaknya tetap melakukan distribusi melalui jalur daring dan operasi pasar. “Tapi operasi pasarnya bukan mengumpulkan orang dalam jumlah banyak loh,” kata Iqbal.

Utang Bulog sesungguhnya, dia melanjutkan, telah berkurang dari tahun lalu sekitar Rp 26 triliun menjadi sekira Rp 20 triliun. Ia menyatakan tahun ini Bulog kemungkinan tak menambah utang baru. “Aman pokoknya. Kalau komoditi berjalan utangnya turun. Kami stabil,” klaim Iqbal.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement