Sejumlah badan usaha milik negara menerbitkan obligasi global atau global bond di tengah pandemi corona. Aksi korporasi ini sebenarnya sudah direncanakan oleh Menteri BUMN Erick Thohir sejak Maret lalu.

Ia mendorong agar perusahaan pelat merah mencari sumber alternatif pembiayaan di tengah pelemahan ekonomi dunia yang terdampak Covid-19. “Tidak hanya mengandalkan kucuran dana dari perbankan. Penerbitan obligasi dalam bentuk dolar ini patut ditiru,” katanya dalam konferensi veideo pada Rabu (6/5).

PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menerbitkan surat utang dalam dolar Amerika Serikat senilai US$ 500 juta atau sekitar Rp 7,5 triliun. Tingkat bunganya 4,75% dengan tenor lima tahun.

Ketika ditawarkan, surat utang ini kebanjiran peminat dan mencatatkan kelebihan permintaan (oversubscribed) hampir lima kali lipat. Total permintaan investor mencapai US$ 2,4 miliar. Pembelinya mayoritas dari Asia. Sisanya adalah investor dari Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan AS.

(Baca: Bank BUMN Gencar Terbitkan Surat Utang Valas untuk Perkuat Likuiditas)

PEMBAHASAN RPJMN 2020-2024
Menteri BUMN Erick Thohir mendorong perusahaan pelat merah mencari alternatif pendanaan, termasuk global bond atau obligasi global. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Lalu, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI mengumumkan akan menawarkan surat utang jangka menengah berdenominasi euro atau EMTN. Target perolehan dananya US$ 2 miliar atau Rp 30 triliun.

EMTN tersebut akan terdaftar di Singapore Stock Exchange. “Rencana penerbitan surat utang akan berdampak positif bagi perseroan karena ditujukan antara lain untuk ekspansi bisnis dan pembiayaan kembali utang yang telah ada (debt refinancing),” ucap Sekretaris Perusahaan BNI Meiliana.

PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk telah menerbitkan junior global bond pada awal 2020. Nilainya US$ 300 juta dan mengalami kelebihan permintaan 12,3 kali. Perusahaan menawarkan tingkat bunga 4,25% per tahun dalam jangka waktu lima tahun.

Tak hanya perbankan, BUMN konstruksi dan pertambangan pun mencari pendanaan dari luar negeri. PT Hutama Karya (Persero) mengeluarkan surat utang dalam denominasi dolar AS. Nilainya US$ 600 juta atau sekitar Rp 9 triliun.

(Baca: Hutama Karya Jual Obligasi Global Rp 9 T untuk Proyek Trans Sumatera)

Obligasi tersebut mengalami kelebihan permintaan hingga 5,8 kali. “Bisa dilihat kupon kami sangat kompetitif, bahkan di tengah situasi cukup sulit ini,” kata Direktur Utama Hutama Karya Bintang Perbowo.

Tenor global bonds itu hingga 10 tahun dengan kupon 3,75%. Penerbitannya merupakan bagian dari program global medium term note (GMTN) senilai US$ 1,5 miliar yang dijaminkan oleh pemerintah Indonesia. Investor yang banyak menyerapnya terutama dari Asia (42%), Eropa (30%), dan AS (28%).

Yang teranyar adalah penerbitan surat utang PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) Tbk alias Inalum. Nilainya US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 27,5 triliun. Induk usaha atau holding BUMN pertambangan itu menawarkan tiga tenor investasi. Untuk jangka waktu lima tahun kuponnya 4,75%, 10 tahun 5,45%, dan 30 tahun 5,8%.

“Dengan ini terbukti bahwa dunia usaha internasional masih mempercayai perusahaan BUMN yang sekarang terus berbenah demi meningkatkan daya saiingnya serta semakin transparan,” kata Erik dalam keterangan resminya pada 12 Mei lalu.

(Baca: Inalum Kantongi Rp 37 T dari Penjualan Obligasi Valas Bunga Lebih 4%)

Risiko Terbitkan Obligasi Valas

Virus Covid-19 yang menginfeksi hampir 4 juta orang telah membuat perekonomian global ikut terpuruk. Dunia mengalami perlambatan ekonomi. Badan Moneter Internasional atau IMF memperkirakan banyak negara yang pertumbuhan ekonominya pada 2020 berada dalam kondisi minus. Angkanya secara global minus 3%, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.

Di saat krisis, perusahaan kesulitan mencari dana di dalam negeri karena likuiditas yang seret. Tapi kegiatan usaha harus tetap berjalan dan hutang dibayar. Apalagi beberapa BUMN pada tahun ini memiliki utang jatung tempo. BTN memiliki utang obligasi terbanyak.

Associate Director of Research and Investment Pilarmas Sekuritas Maximilianus Nico Demus menyebut pilihan para BUMN mencari dana di luar negeri dapat dipahami. Para investor dari AS dan Eropa memang sedang mencari instrumen alternatif. Mereka mengalihkan uangnya ke negara berkembang, termasuk Indonesia.

Penyebabnya, imbal hasil (yield) US Treasury atau surat utang pemerintah AS, yang menjadi acuan global bond, sedang dalam posisi rendah. Di saat yang sama, bank sentral di AS dan Eropa belum berkeinginan memangkas suku bunga ke posisi negatif.

(Baca: The Fed Ramal Resesi Ekonomi akibat Pandemi Corona di AS Bakal Panjang)

Obligasi global para BUMN menjadi menarik karena tingkat risikonya terukur. “Kalau sampai terjadi sesuatu, pemerintah tidak mungkin membiarkan BUMN gagal bayar,” ucap Nico Demus ketika dihubungi Katadata.co.id.

Bahkan ketika lembaga pemeringkat Moody’s memberikan outlook negatif Inalum, obligasinya tetap kebanjiran permintaan. “Ini holding (pertambangan). Prospeknya kurang bagus saat ini, tapi kalau kuponnya manis dan ini BUMN, why not?,” ucapnya.

Halaman:
Reporter: Ihya Ulum Aldin, Muchammad Egi Fadliansyah, Agung Jatmiko

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami