Badan Konsumen Minta Jokowi Kembali Terapkan HET Minyak Goreng Kemasan

Tia Dwitiani Komalasari
7 April 2022, 13:34
Pekerja mengontrol kualitas kemasan minyak goreng di dalam pabrik pengolahan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil) PT Berkah Sumber Emas Terang disela pantauan Tim Satgas Pangan Polda Jawa Tengah dan Forkopimda Kota Semarang di Semarang, Jawa Tengah, Selas
ANTARA FOTO/Aji Styawan/tom.
Pekerja mengontrol kualitas kemasan minyak goreng di dalam pabrik pengolahan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil) PT Berkah Sumber Emas Terang disela pantauan Tim Satgas Pangan Polda Jawa Tengah dan Forkopimda Kota Semarang di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (29/3/2022).

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengembalikan kebijakan Harga Eceran Tetap (HET) minyak goreng. Rekomendasi HET itu adalah minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium Rp14.000 per liter.

Pemerintah telah mencabut kebijakan HET minyak goreng sejak 16 Maret 2022. Kebijakan tersebut membuat harga minyak goreng kemasan melambung. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga rata-rata minyak goreng kemasan nasional mencapai Rp26.150 per Kg pada Kamis (7/4).

Kepala BPKN Rizal E Halim mengatakan, harga keekonomian yang digaungkan saat ini perlu diluruskan kembali.  Menurut dia, harga CPO global seharusnya tidak mendikte harga minyak goreng domestik. Sebab, Indonesia merupakan produsen sekaligus eskportir CPO terbesar dunia.

“Kita tidak mengimpor dari luar seperti halnya BBM fosil atau kedelai. Idealnya kitalah yang menentukan harga. Walaupun ada keterkaitan antara pasar domestik dan global, tapi kita tidak tergantung pada CPO dunia,” ujarnya saat konferensi pers di Jakarta, Kamis (7/3).

 Dia mengatakan, Harga Eceran Tetap yang direkomendasikan BPKN sudah dihitung dengan memperhatikan dinamika pasar, biaya produksi minyak goreng sawit, inflasi yang mempengaruhi daya beli, kenaikan harga pupuk, dan margin yang selama ini diterapkan industri.

“Kami hitung berdasarkan input produksi dalam negeri. Tidak ada gangguan cuaca, hama, bencana alam pada kebun sawit. Faktor tenaga kerja buruh pun murah dan melimpah, yang naik hanya harga pupuk di kisaran 5-6 persen,“ujar Rizal.

Menurut Rizal, yang terjadi saat ini adalah pelaku usaha memanfaatkan peluang untuk meraih keuntungan dalam kenaikan CPO. “Namun kita tidak bisa menyalahkan pelaku usaha karena tujuan mereka memang mencari profit sebesar-besarnya. Yang bisa dilakukan adalah memagari situasi ini dengan kebijakan,”tuturnya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...