Rebut Pasar Indonesia, Ekspor Minyak Sawit Malaysia Diramal Naik 30%
Produksi dan ekspor minyak sawit Malaysia diperkirakan meningkat 30% pada akhir tahun ini. Peningkatan itu dipengaruhi naiknya permintaan minyak sawit dari Malaysia setelah Indonesia menerapkan kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya.
Sebagai produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia, Malaysia mendapatkan keuntungan dari krisis minyak nabati global. Krisis itu diperparah oleh kebijakan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya.
Selan itu, peningkatan produksi minyak sawit Malaysia juga dipengaruhi oleh pembukaan kembali perbatasan negara bagi pekerja migran untuk perkebunan sawit Malaysia. Sebelumnya, Malaysia sempat mengalami krisis tenaga kerja akibat pembatasan yang dilakukan untuk mengendalikan penularan Covid-19.
"Dengan kembalinya pekerja, tingkat produksi akan meningkat dan Malaysia berada di jalur yang tepat untuk memenuhi permintaan global," kata Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia, Zuraida Kamaruddin, seperti dikutip dari Nikkei Asia, Rabu (11/5).
Zuraida mengatakan, petani dan produsen minyak sawit Malaysia harus menuai keuntungan dari “kekosongan" yang ditinggalkan oleh Indonesia. Dia memperkirakan akan terjadi koreksi harga yang tajam pada Juli 2022, ketika larangan ekspor diperkirakan akan dicabut.
Sementara itu, berdasarkan survei Reuters, stok minyak sawit Malaysia pada akhir April kemungkinan naik untuk pertama kalinya dalam enam bulan terakhir. Stok terlihat naik 5,2% dari bulan sebelumnya menjadi 1,55 juta ton berdasarkan estimasi dari delapan pekebun, pedagang, dan analis yang disurvei.
Permintaan untuk minyak sawit Malaysia akan meningkat setelah produsen utama Indonesia melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya. “Kebijakan Indonesia akan sangat kritis untuk bulan Mei," kata Ronny Lau, Trader dari perusahaan perdagangan komoditas Four Bung yang berbasis di Singapura seperti dikutip dari Reuters.
Malaysia berencana untuk memanfaatkan kekurangan minyak nabati global dan ketegangan politik di Eropa untuk mendapatkan kembali pangsa pasar minyak sawit. Sebelumnya, Eropa cenderung menghindari komoditas sawit karena isu lingkungan dan tenaga kerja paksa.
Minyak sawit digunakan untuk membuat berbagai macam produk mulai dari lipstik hingga mi. Namun, produsen utama Indonesia dan Malaysia menghadapi boikot setelah dituduh membuka hutan hujan dan mengeksploitasi pekerja migran untuk ekspansi perkebunan sawit yang cepat.
Beberapa perusahaan global telah memperkenalkan "produk bebas minyak sawit" dalam beberapa tahun terakhir. Uni Eropa (UE) yang merupakan importir terbesar ketiga di dunia, telah memutuskan untuk menghapus biofuel berbasis minyak sawit secara bertahap pada tahun 2030.
Namun, peritel di Eropa terpaksa kembali ke komoditas kontroversial itu dalam beberapa bulan terakhir. Sebab, pasar kekurangan minyak nabati global yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina serta larangan ekspor Indonesia.
Zuraida mengatakan bahwa pemerintah Malaysia tidak ingin menyia-nyiakan kondisi kekurangan minyak nabati global tersebut. “Sudah saatnya kita meningkatkan upaya untuk melawan propaganda yang merugikan untuk merusak kredibilitas minyak sawit. Ini kesempatan bagi kita untuk menunjukkan banyak manfaat kesehatan yang ditawarkan minyak ini," katanya seperti dikutip dari Reuters.
Zuraida mengatakan harga minyak nabati global kemungkinan akan tetap tinggi pada paruh pertama tahun 2022. Permintaan Uni Eropa diperkirakan akan meningkat dalam waktu dekat karena terbatasnya pasokan minyak bunga matahari dan kedelai.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia pada 2021 sebesar 46,88 juta ton atau turun 0,31% dari capaian 2020 yang sebesar 47,03 juta ton.