Jaga Minyak Goreng Sesuai HET, Pemerintah Perlu Perkuat Peran BUMN
Pemerintah perlu memperbaikin tata kelola minyak goreng agar bisa didistribusikan dan dijangkau masyarakat dengan baik. Salah satu caranya yaitu dengan memperkuat peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam tata kelola minyak goreng.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengatakan, mengatakan, industri minyak sawit saat ini dikuasai oleh swasta dari hulu ke hilir. Padahal seperti halnya beras, minyak goreng merupakan bahan pokok pangan yang menyangkut hajat hidup orang.
“Jika (tata niaga minyak goreng) dikuasai oleh BUMN, ini akan membuat subsidi minyak goreng disalurkam secara efektif. Selain itu pemerintah juga bisa melindungi petani (jika harga sawit anjlok),” ujarnya kepada Katadata.co.id, Selasa (24/5).
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, pemerintah seharusnya menguasai distribusi minyak goreng curah secara aturan dan fisik. Hal ini dinilai penting agar harga minyak goreng curah bisa sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET), yakni Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram (Kg).
Sahat mengatakan, saat ini pemerintah meminta distributor swasta untuk menyalurkan minyak goreng ke konsumen. Penyaluran tersebut tercatat dalam Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (Simirah). Namun, banyak distributor swasta yang enggan menyalurkan minyak goreng curah tersebut.
"Mereka (distributor swasta) lari, nggak mau bayar pajak, nggak mau diawasi," kata Sahat kepada Katadata.co.id Selasa (24/5).
Hal ini menyebabkan harga minyak goreng di lapangan sulit turun sesuai HET. Oleh sebab itu, Sahat mengusulkan agar BUMN yaitu Bulog dan PT RNI memimpin distribusi minyak goreng curah.
Menurut sahat, Bulog memiliki banyak titik distribusi pangan. Namun, mereka belum bisa menyalurkan minyak goreng curah secara optimal karena belum menerima surat penugasan.
"(Perum) Bulog ada 81 titik (distribusi) di 31 provinsi, PT RNI juga punya (banyak titik distribusi). Mari kita pakai jalur mereka, tinggal ada surat penugasan," kata Sahat.
Dia mengatakan, negara seharusnya menyalurkan minimal 85% dari volume konsumsi minyak goreng curah per bulan. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), konsumsi minyak goreng curah secara nasional adalah 194.634 ton per bulan.
Sahat mengusulkan agar sebanyak 97.317 ton atau 50% dari konsumsi minyak goreng curah nasional per bulan disalurkan oleh Bulog. Sementara itu, RNI ditugaskan untuk menyalurkan 68.121,9 ton atau 35% dari konsumsi nasional per bulan.
Sementara itu, Perum Bulog telah menyalurkan 1,5 juta kiloliter minyak goreng seharga Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram (Kg) selama tiga pekan terakhir. Namun demikian, penyaluran tersebut bukan termasuk dalam program minyak goreng curah bersubsidi.
Direktur Bisnis Bulog Febby Novita mengatakan penyaluran oleh Bulog saat ini merupakan hasil skema bussiness-to-bussiness (B2B). Artinya, penyaluran minyak goreng tersebut menggunakan skema komersial, bukan penugasan hasil dari larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan sebagian turunannya.
"Itu dijual ke pengecer langsung. Itu baru dibuka kemarin, dua minggu sebelum lebaran," kata Febby.
Febby mengatakan pihaknya baru mampu menyalurkan minyak goreng curah tersebut ke seluruh Pulau Jawa, sebagian Pulau Sumatra, dan sebagian Pulau Sulawesi. Menurut dia, penugasan oleh pemerintah menjadi penting agar wilayah dengan biaya logistik tinggi dapat terjangkau. Beberapa wilayah yang dimaksud Febby adalah Pulau Nias, Kepulauan Riau, dan Pulau Kalimantan.
"(Distribusi minyak goreng curah dengan skema B2B ke) Kalimantan, di data saya, ongkosnya masih nggak dapet," kata Febby.
Di sisi lain,Febby mengatakan pihaknya masih menunggu penugasan distribusi minyak goreng curah subsidi dari pemerintah. Salah satu alasan belum turunnya penugasan tersebut adalah belum ada payung hukum yang mengizinkan Bulog bisa mendapatkan penugasan menyalurkan minyak goreng.
Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), produksi minyak dalam negeri pada Februari 2022 diperkirakan sebesar 3,8 juta ton, turun 9,3% dari bulan sebelumnya yang sebesar 4,2 juta ton.