Harga BBM Meroket, Tarif Bus AKAP Bisa Naik hingga 40%

Andi M. Arief
5 September 2022, 17:17
Calon penumpang berjalan menuju ke dalam bus di Terminal Cicaheum, Bandung, Jawa Barat, Senin (5/9/2022).
ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/aww.
Calon penumpang berjalan menuju ke dalam bus di Terminal Cicaheum, Bandung, Jawa Barat, Senin (5/9/2022).

Organisasi Angkutan Darat atau Organda menyatakan tarif angkutan umum akan naik seiring dengan peningkatan harga bahan bakar minyak atau BBM. Namun demikian, hal itu berpotensi mengurangi okupansi angkutan umum dalam waktu dekat.

Sekretaris Jenderal Organda Ateng Aryono mengatakan harga BBM berkontribusi sekitar 35% - 40% dari struktur biaya angkutan umum. Artinya, tarif angkutan umum akan naik yang pada akhirnya akan menurunkan okupansi angkutan umum.

"Sebelumnya kami sudah usulkan kepada pemerintah untuk menahan kenaikan harga BBM, karena pertama kami sedang masa perbaikan dari pandemi Covid-19. Kedua, okupansi kami pasti turun, tapi belum tahu berapa persen penurunan okupansi yang akan terjadi," kata Ateng kepada Katadata.co.id, Senin (5/9).

Ateng mengatakan, pelaku usaha angkutan umum baru pulih beberapa bulan terakhir setelah terdampak pandemi Covid-19 sekitar 2 tahun terakhir. Badan Pusat Statistik atau BPS mendata pertumbuhan ekonomi transportasi dan pergudangan mencapai 21,27% secara tahunan pada kuartal II-2022.

 Pada akhir 2021, sektor transportasi darat belum pulih total lantaran pertumbuhan ekonomi angkutan darat baru mencapai 4,55% secara tahunan sepanjang tahun. Sementara itu, pandemi Covid-19 membuat pertumbuhan angkutan darat pada 2020 anjlok 5,34% secara tahunan.

"Beberapa bulan ini kami sedikit senyum, melihat sedikit harapan. Tiba-tiba kami dihantam kenaikan harga BBM," kata Ateng.

Ateng menghitung kenaikan tarif angkutan penumpang akibat kenaikan BBM kali ini dapat mencapai 40%. Pasalnya tarif bus AKAP belum naik sejak 2016. Sementara itu, tarif angkutan barang dapat tumbuh hingga 27%.

Ateng mengatakan, tarif bus angkutan kota antar provinsi atau AKAP dapat naik hingga 40% akibat kenaikan harga solar bersubsidi. Kenaikan tersebut lebih tinggi dari kenaikan harga solar sebesar 32% dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter.

Di sisi lain, tarif taksi di DKI Jakarta dapat naik hingga 20% akibat kenaikan harga Pertalite. Namun demikian, Ateng mengatakan kenaikan harga taksi di Ibu Kota akan bergantung pada kondisi pasar karena transportasi tersebut tidak bergantung pada trayek.

Selain itu, tarif angkutan kota atau angkot di Jakarta yang tidak masuk dalam program buy the service (BTS) di DKI Jakarta dapat naik hingga 15%. Namun demikian, Ateng menyatakan tarif angkutan umum yang tergabung dalam program BTS tidak akan mengalami penyesuaian dalam waktu dekat.

Ateng menjelaskan angkutan umum yang masuk dalam program BTS bisa mendapatkan subsidi selisih antara nilai keekonomian dan kenaikan biaya operasional dari tumbuhnya harga BBM. Subsidi tersebut bersumber dari anggaran pemerintah pusat maupun daerah dan disalurkan pada operator program BTS.

"Akhirnya program BTS akan membantu mobilitas masyarakat. Mungkin beberapa bulan ke depan baru ditinjau penyesuaian tarif, itu sesuatu yang wajar," kata Ateng.

Pada 2022, layanan bus BTS dapat ditemui di 10 kota, yakni Medan, Surakarta, Denpasar, Yogyakarta, dan Palembang, Bandung, Surabaya, Makassar, Banjarmasin, dan Banyumas.

Program BTS atau pembelian layanan untuk angkutan massal perkotaan, dilakukan dengan membeli layanan angkutan massal perkotaan kepada operator dengan mekanisme lelang. Prinsip dasar program pembelian layanan adalah pemerintah mengalokasikan anggaran guna membeli layanan jasa angkutan yang disediakan oleh perusahaan angkutan umum (BUMN, BUMD, ataupun swasta) dengan kriteria tertentu.

Pihak perusahaan penyedia jasa menjalin kontrak kerja dengan pemerintah yang menyediakan anggaran. Pemerintah akan memberikan subsidi biaya operasional kendaraan sebesar 100% agar Standar Pelayanan Minimal (SPM) terjamin, sehingga masyarakat dapat menikmati fasilitas  tersebut secara maksimal.

Laporan Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, mayoritas masyarakat Indonesia menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan 58,7% masyarakat menilai sebaiknya harga BBM tidak dinaikkan meskipun hal itu berpotensi menambah beban utang pemerintah.

Reporter: Andi M. Arief
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...