Negara G20 Belum Sepakati Kredit Karbon, Bahlil: Ada Standar Ganda

Andi M. Arief
26 September 2022, 17:08
Banyak tantangan dalam mencapai target nol emisi. Kalangan industri berpacu untuk segera menggapai standar netralitas karbon.
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Banyak tantangan dalam mencapai target nol emisi. Kalangan industri berpacu untuk segera menggapai standar netralitas karbon.

Kementerian Investasi atau BKPM menyatakan sebagian negara anggota G20 masih memiliki standar ganda dalam penerapan kebijakan kredit karbon. Oleh karena itu, belum ada kata sepakat dalam pembahasan kredit karbon di pertemuan tingkat menteri investasi, industri, dan perdagangan G20 belum lama ini.

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan terdapat perbedaan logika perhitungan kredit karbon antara negara maju dan negara berkembang anggota G20. Maka dari itu, Bahlil menilai isu tersebut akan berlanjut pada Konferensi Tingkat TInggi atau KTT G20 2023 di India.

"Pada November 2022 saat KTT G20 di Bali pun akan tetap jadi isu, tapi kalau akan ada kesepakatan atau tidak terkait isu tersebut, saya belum bisa berikan jaminan. Perdebatannya sangat kencang," kata Bahlil di Kantor Kementerian Investasi, Senin (26/9).

Secara sederhana, negara maju anggota G20 menghitung nilai kredit karbon berdasarkan biaya produksi dan investasi pembangunan fasilitas penyerapan karbon saat ini. Sebagai informasi, kawasan hutan di negara-negara maju G20 telah susut akibat industrialisasi di abad 20.

 Alhasil, negara-negara maju harus melakukan reboisasi kawasan hutan maupun membangun fasilitas penyerapan karbon. Kegiatan tersebut membuat biaya produksi penyerapan karbon membuat tinggi dan dinilai membuat nilai karbon di negara maju lebih tinggi atau senilai US$ 100 per ton saat ini.

Bahlil berpendapat pola pikir tersebut tidak adil lantaran kesalahan negara maju pada masa lalu tidak dapat dijadikan perhitungan nilai kredit karbon saat ini.

Sementara itu, negara berkembang anggota G20 berargumen nilai kredit karbon harus dihitung berdasarkan kemampuan penyerapan karbon saat ini. Artinya, negara dengan kawasan hutan atau fasilitas penyerapan karbon yang lebih besar harus memiliki nilai kredit karbon yang lebih tinggi.

Negara maju anggota G20 menilai minimnya biaya produksi maupun investasi yang dikeluarkan negara berkembang membuat nilai kredit karbon di negara berkembang menjadi rendah atau hanya sekitar US$ 10 per ton.

"Jadi, yang negara maju anggota G20 lihat adalah proses mendapatkan fasilitas penyerap karbonnya, tapi mereka tidak melihat kenapa sampai sesusah itu. Itu substansi yang diperdebatkan," kata Bahlil.

Di sisi lain, Bahlil mengakui pembeli kredit karbon saat ini hanya dilakukan oleh pihak swasta. Namun demikian, hal yang menjadi perhatian Bahlil saat ini adalah lokasi perdagangan karbon milik Indonesia.

Bahlil mengatakan, perdagangan karbon Indonesia tidak dibuka di dalam negeri. "Kalau orang mau beli kredit karbon Indonesia, beli di Indonesia. Negara tetangga kita sudah buka bursa karbon, ini yang mau di switch," kata Bahlil.

 Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan kesiapannya apabila ditunjuk sebagai penyelenggara perdagangan karbon di Indonesia.

Direktur Utama BEI Iman Rachman menyatakan, BEI saat ini dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang melakukan kajian bersama mengenai mekanisme perdagangan karbon mengingat ini adalah yang pertama kali di Indonesia. Diharapkan, dalam sepuluh pekan ke depan, kajian ini sudah rampung.

BEI juga menunjuk konsultan untuk melakukan kajian bagaimana perdagangan karbon dilakukan di negara-negara lainnya, termasuk mengaji dari sisi penawaran (supply) dan permintaan (demand).

"SRO siap apabila ditunjuk untuk melaksanakan carbon trading, apakah kita siapkan sistem yang ada, (melalui) penjaminan KPEI-KSEI. Apakah langsung dilakukan bursa atau terpisah di bursa efek, semua kajian itu kita lakukan SRO dengan OJK," kata Iman, dalam konferensi pers secara daring, Rabu (10/8).

Sebagaimana diketahui, perdagangan emisi karbon merupakan bentuk perdagangan emisi yang dengan khusus menargetkan karbon dioksida dalam satuan ton dan sudah menjadi perdagangan emisi terbesar. Perdagangan tersebut bekerja dengan menetapkan batas secara kuantitatif yang dihasilkan oleh penghasil emisi.

Melalui program ini, suatu negara yang memproduksi emisi karbon lebih banyak dapat mengeluarkan emisi tersebut dari negaranya. Sedangkan negara yang memiliki emisi lebih sedikit bisa menjual hak menghasilkan emisi sesuai batasnya ke negara atau wilayah lainnya.

Reporter: Andi M. Arief
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...