Terus Rugi, Produsen Minyak Goreng Enggan Produksi Minyakita

Nadya Zahira
7 Februari 2023, 20:01
Sejumlah warga mengantre untuk membeli minyak goreng kemasan saat peluncuran minyak goreng kemasan rakyat (MinyaKita) di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (6/7/2022). Kementerian Perdagangan meluncurkan minyak goreng curah kemasan sederhana de
ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU
Sejumlah warga mengantre untuk membeli minyak goreng kemasan saat peluncuran minyak goreng kemasan rakyat (MinyaKita) di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (6/7/2022). Kementerian Perdagangan meluncurkan minyak goreng curah kemasan sederhana dengan harga Rp14.000 per liter.

Produsen minyak goreng mengakui enggan memproduksi Minyakita karena biaya produksi lebih tinggi dari harga jual yang ditetapkan pemerintah. Sementara harga minyak sawit mentah atau CPO global sedang turun sehingga tidak bisa menutupi kerugian karena memproduksi Minyakita.

Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia sekaligus Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia, Sahat Sinaga, mengatakan para produsen minyak goreng enggan memproduksi Minyakita lantaran tidak menyanggupi biaya produksi. Pemerintah juga tidak memberikan subsidi bagi produsen untuk menutupi kekuramgan biaya produksi. 

"Minyakita ini langka karena mereka tidak ada cuannya," ujar Sahat dalam Konferensi Pers Tantangan dan Perkembangan Industri Hilir Sawit 2023, di Kantor DMSI, Jakarta, Selasa (7/2).

Sebagai informasi, pemerintah menetapkan Minyakita dijual dengan Harga Eceran Tertinggi atau HET yakni hanya Rp.14.000 per liter atau Rp 15.500 per kg. Bahan baku Minyakita berasal dari  kewajiban eksportir untuk memenuhi aturan domestic market obligation atau DMO. 

Sahat mengatakan, kerugian yang dirasakan oleh produsen minyak goreng biasanya bisa ditutupi dengan adanya keuntungan dari ekspor minyak sawit. Namun, produsen minyak goreng atau pelaku usaha saat ini enggan untuk melakukan ekspor karena harga crude palm oil atau CPO sedang turun di pasar global. Beban eksportir juga bertambah dengan adanya biaya Bea Keluar (BK).

"Jadi untuk ekspor CPO sendiri mereka malas, karena harus ada BK dan harga CPO di pasar global sedang anjlok. Tapi kalau mereka tidak ekspor, tidak ada keuntungannya," ujarnya.

Oleh sebab itu, Sahat menyarankan Kementerian Keuangan gotong royong untuk membantu permasalahan ini, dengan tidak menetapkan BK untuk sementara waktu.

"Jadi sementara waktu BK di 0 kan dulu biar pengusaha sawit bisa ekspor tanpa harus dibebani dengan biaya keluar, karena harga ekspor sudah turun, di tambah ada biaya keluar, jelas rugi mereka," tegas Sahat.

Halaman:
Reporter: Nadya Zahira
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...