12.000 Pekerja Tekstil Terancam di PHK, Ini Tiga Penyebabnya

Nadya Zahira
22 Juni 2023, 09:46
Pekerja menyelesaikan produksi kain di PT Trisula Textile Industries di Cimahi, Jawa Barat, Rabu (1/3/2023). Bank Indonesia Jawa Barat memprediksi akan terjadi gejolak pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menyusul kondisi geopolitik global dan k
ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc.
Pekerja menyelesaikan produksi kain di PT Trisula Textile Industries di Cimahi, Jawa Barat, Rabu (1/3/2023). Bank Indonesia Jawa Barat memprediksi akan terjadi gejolak pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menyusul kondisi geopolitik global dan kenaikan upah serta perlambatan ekonomi akibat inflasi tinggi di negara tujuan ekspor.

Sebanyak 12.000 buruh terancam terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK tahun ini. Setidaknya ada tiga penyebab PHK buruh TPT masih berlanjut di 2023.

“Kurang lebih ada lima perusahaan yang akan merasionalisasikan para pekerjanya pada kuartal ketiga tahun ini sampai Agustus-September,” ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia atau API, Danang Girindrawardana, saat ditemui di Jakarta, Rabu (21/6).

Langkah rasionalisasi para buruh tersebut lewat tiga jenis. Pertama, memutuskan hubungan kerja atau PHK. Kedua, tidak memperpanjang hubungan kontrak, dan ketiga melakukan pemangkasan jam kerja.

“Ini situasi yang paling akhir yang harus kita lakukan yaitu melalui rasionalisasi karyawan,” kata dia.

Danang mengatakan, terdapat setidaknya tiga penyebab industri TPT masih tertekan hingga melakukan rasionalisasi tahun ini. Tiga penyebab itu adalah;

1.  Ekspor Berkurang 50%

Menurut Danang, perusahaan TPT saat ini sedang mengalami kesulitan permintaan pasar ekspor terutama ke Amerika Serikat dan Eropa belum pulih. Kondisi tersebut menyebabkan ekspor berkurang hingga mendekati 50%.

"Sebuah kapal kita bisa berlayar terus apabila beban muatannya terlalu besar apalagi bocor maka harus dikurangi bebannya,"ujarnya. 

Pengurangan permintaan tersebut menyebabkan utilisasi mesin-mesin industri tekstil berkurang sampai 40%. Danang memprediksi, akan terjadi pengurangan jam kerja yang cukup tinggi pada Semester II 2023. 

"Jadi dari situasinya memang cukup tidak bagus, tidak baik baik saja dan kita berharap pemerintah benar benar melahirkan solusi yang lebih berpihak lagi kepada industri padat karya,"ujarnya.

2.  Penjualan Baju Impor Bekas Masih Merajalela

Danang mengatakan, asosiasi melakukan berbagai upaya agar tidak terjadi gelombang PHK yang lebih besar lagi. Namun demikian, dia berharap pemerintah  membantu industri lokal dengan menindaklanjuti larangan impor baju bekas. Impor baju bekas bila terus berlanjut bakal menggerogoti industri TPT.

Larangan impor baju bekas yang sempat dicanangkan pemerintah bisa membantu mengerek industri TPT. "Kami berharap efek dominonya itu sampai ke hulu," kata dia.

3. Biaya Energi Tinggi

Selain pegawai,  Danang mengatakan, salah satu biaya paling besar industri padat karya adalah biaya energi yang tinggi. Oleh sebab itu, pelaku usaha memohon untuk memberikan keringanan biaya energi bagi industri padat karya.

"Kami sudah mengirim surat pada Dirut PLN agar membahas hal ini terutama untuk tarif listrik di industri padat karya agar dikurangi sedikit. Paling tidak dalam jangka waktu satu sampai dua tahun ke depan," ujarnya.

Namun demikian, Danang mengatakan, permohonan tersebut belum mendapat respons dari PLN dan Kementerian BUMN.

Danang mengatakan, sejumlah pelaku usaha saat ini sedang berupaya beralih ke energi hijau untuk menghemat biaya listrik. Namun demikian, mereka masih mengalami kendala dalam bentuk perizinan memasang solar panel.

"Masih banyak sekali menggunakan mekanisme on grid, ini masalah yang sedang kita hadapi," ujarnya.

Kinerja ekspor industri tekstil Indonesia melemah pada awal tahun ini. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang kuartal I 2023 industri tersebut mencatatkan ekspor seberat 380,4 ribu ton, turun 14,98% dibanding kuartal I 2022.

Dalam periode sama, nilai ekspornya juga turun 25,44% menjadi US$ 934,6 juta. Berikut grafiknya: 

Kendati begitu, jika dirinci berdasarkan sub kategori industrinya, penurunan kinerja ini tidak merata.

Pada kuartal I 2023, penurunan volume ekspor paling besar terjadi pada industri serat tekstil (-38,85%), kain rajutan (-24,89%), benang pintal (-20,23%), serat/benang/strip filamen buatan (-18,53%), dan barang tekstil lainnya (-16,94%).

Penurunan lebih kecil dialami industri serat stapel buatan (-7,33%) dan kain tenunan (-6,95%).

Sedangkan, volume ekspor meningkat signifikan di industri kain rajutan (+41,73%) dan sutra (+30,68%). Namun, permintaan ekspor dua produk ini sangat kecil, sehingga tak mampu mengerek kinerja industri tekstil secara keseluruhan.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...