Ini Kelebihan Bioenergi Dibandingkan PLTS dan EBT Lainnya
Kementerian Enegeri dan Sumber Daya Mineral atau ESDM terus mendorong implementasi bioenergi untuk mengejar target bauran energi baru dan terbarukan atau EBT sebesar 23% di 2025. Penerapan bioenergi dinilai menjadi alternatif di tengah akselerasi input suplai energi terbarukan yang masih belum optimal.
Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal EBT dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Edi Wibowo, mengatakan bahwa sumber daya bioenergi biasanya diperoleh dari hutan tanam energi, tanaman minyak nabati, serta limbah atau sampah.
Edi mengatakan, pemanfaatan bioenergi bisa lebih optimal karena berada langsung di bawah kontrol manusia. Hal ini berbeda dengan sifat energi terbarukan yang sangat bergantung pada kondisi alam, seperti sumber energi matahari, hidro, angin, arus laut dan panas bumi.
Diamenuturkan, penggunaan bioenergi bisa menjadi opsi bahan bakar, terutama untuk memasak dan sumber pemanas. Selain itu, bioenergi juga bisa digunakan untuk sektor transportasi dan pembangkit listrik sehingga mampu menekan karbon dioksida dari penggunaan bahan bakar fosil.
"Kalau bioenegi sumber dayanya sangat tergantung pada pengusahaan oleh manusia. Kalau kita mau mengembangkannya, maka sumber dayanya akan tetap terjaga dengan baik," kata Edi dalam agenda bertajuk 'Soft Launching Pilot Project Kemitraan Pengusahaan Biomassa dan Batubara Sumatera Selatan' pada Kamis (22/12).
Menurut catatan Kementerian ESDM, potensi pemanfaatan bioenergi domestik mencapai 57 giga watt (GW) dengan realisasi hingga saat ini baru di angka 3.073 mega watt (MW). Adapun sumber utama dari bioenergi adalah hutan tamanam energi yang umumnya terdiri dari kayu pohon akasia, pongam, eucalyptus, kaliandra, turi, dan lamtorogung.
Selain itu ada sumber lain dari tanaman penghasil minyak nabati seperti kelapa sawit, bunga matahari, tebu, kedelai, jarak, jagung dan olive. Kemudian ada limbah yang datang dari berbagai sumber seperti limbah hutan, pertanian, perternakan, sampah kota hingga kotoran manusia.
"Bioenergi ini juga dipengaruhi oleh karakteristik wilayah setempat, dan ini terus berkembang," ujar Edi.
Pemanfaatan bioenergi yang paling terlihat yakni penyediaan bahan bakar nabati biodiesel 30 atau B30 yang merupakan campuran dari 30% minyak sawit dan 70% solar. Selain itu juga ada campuran biomassa sebagai campuran bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Sejauh ini, Kementerian ESDM mengklasifikasikan pemanfaatan bioenergi pada empat sektor, yakni sektor pembangkit listrik, bahan bakar nabati atau biofuel, biomassa, dan biogas. Dari catatan kementerian, kontribusi bioenergi di sektor pembangkit listrik saat ini masih berada di angka 3 GW dari target tahun 2025 sebesar 5,5 GW.
Di sektor pemanfaatan bahan bakar nabati, capaian pemerintah masih berada di angka 9,7 juta kili liter (kl) dari target tahun 2025 sebanyak 13,9 juta kl. Lebih lanjut, pemerintah juga mematok target pada pemanfaatan biomassa sebesar 10,2 juta ton di 2025, dengan realisasi saat ini baru mencapai 0,45 juta ton.
Sedangkan realisasi pemanfaatan biogas di angka 37 juta m3 dari target tahun 2025 sebanyak 490 juta m3. "Diharapkan selama tiga tahun kedepan akan meningkat sigifikan lewat adanya mandatori B30 dan co-firing biomassa pada PLTU," kata Edi.
Sebelumnya diberitakan, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana, mengatakan pemerintah mulai konsisten untuk mendorong input listrik bersih sebesar 500 megawatt (MW) per tahun. Angka input ini relatif kecil jika mengacu pada bauran listrik EBT yang baru berada di kisaran 12,6% dari total bauran energi nasional pada 2022.
"Dari sisi persentase memang angkanya tidak terlalu baik, tapi dari sisi pembangkit kami nambah terus, tiap tahun rata-rata 500 MW masuk dari pembangkit EBT," kata Dadan Kamis (22/12).
Penggunaan energi terbarukan di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan komitmen pemerintah dalam mengejar target net-zero emission.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2015 porsi energi terbarukan baru 4,9% dari bauran energi nasional. Kemudian angkanya terus naik hingga mencapai 12,16% pada 2021, seperti terlihat pada grafik.