Pendapatan Negara Berpotensi Naik Rp 108 Triliun dari Cukai Rokok

Andi M. Arief
3 Agustus 2022, 12:57
Pekerja menunjukkan Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) Desa Megawon, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (9/6/2022). Pengusaha rokok kecil atau rokok golongan tiga setempat mengatakan setelah terpuruk dan produksi rokok turun hing
ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/rwa.
Pekerja menunjukkan Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) Desa Megawon, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (9/6/2022). Pengusaha rokok kecil atau rokok golongan tiga setempat mengatakan setelah terpuruk dan produksi rokok turun hingga 75 persen akibat pandemi COVID-19, saat ini industri rokok kecil mulai bergeliat dengan ditandai meningkatnya permintaan pasar dan produksi naik hingga 5 persen atau mencapai 120.000 batang rokok per hari.

Southeast Asia Tobacco Control Alliance atau Seatca mengungkapkan pendapatan negara berpotensi naik Rp 108 triliun dari Rp 188,8 triliun menjadi Rp 297,19 triliun dari cukai rokok. Hal itu terjadi jika penhitungan cukai rokok disederhanakan jadi dua tier dan tarif cukai rokok naik 25%.

Anggota Seatca, Anton Javier, mengatakan bahwa negara-negara di Asia Tenggara kehilangan pendapatan senilai US$ 4,81 miliar dari pajak produk tembakau. Dari seluruh nilai tersebut, Indonesia kehilangan pendapatan dari industri tembakau hingga US$ 3,46 miliar atau Rp 51,51 triliun.

"Estimasi kehilangan pendapatan ada di nilai yang luar biasa. Pendapatan negara yang drastis bisa didapatkan jika penyederhanaan cukai di Indonesia bisa diterapkan," kata Anton dalam webinar "Cukai Rokok di Indonesia: Menghitung Rupiah yang Hilang", Rabu (3/8).

Dalam simulasi pertama penyederhanaan yang dibuat Anton mengungkapkan pendapatan dari cukai rokok bisa naik menjadi Rp 274,89 triliun dari realisasi cukai rokok 2021 senilai Rp 188,8 triliun. Angka tersebut didapatkan setelah menaikkan tarif cukai sebanyak 20% dan menyederhanakan jenis tarif cukai menjadi enam tier dari posisi saat ini delapan tier.

Pada simulasi kedua, tarif cukai rokok tetap naik setidaknya 20%, tapi jenis tarif cukai disederhanakan menjadi 5 lapis. Dalam simulasi ini, seluruh tarif produsen sigaret putih mesin (SPM) dijadikan satu.

Jumlah perokok susut 0,8% poin dan konsumsi rokok turun 5,54% pada tahun pertama kedua simulai tersebut dijalankan. Namun demikian, jumlah perokok dan konsumsi rokok mendekati kondisi sebelum perubahan cukai dilakukan pada tahun kedua.

Anton menemukan penurunan jumlah perokok dan konsumsi rokok konsisten menurun pada tahun-tahun setelahnya di simulasi ketiga. Simulasi yang dimaksud adalah menaikkan tarif cukai setidaknya 25% dan menyederhanakan jenis tarif cukai menjadi dua tier.

Pada simulasi ketiga, jenis tarif cukai hanya dua, yakni rokok yang dibuat dengan mesin dan rokok yang dibuat oleh pekerja. Simplifikasi ini membuat pendapatan cukai rokok menjadi Rp 279,19 triliun dan terus menekan jumlah perokok maupun konsumsi rokok pada tahun kedua.

Harus Hati-hati
Analis Kebijakan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febri Pangestu mengatakan setidaknya ada dua kelemahan dalam simulasi penyederhanaan cukai oleh Seatca. Pertama, studi tersebut tidak memperhitungkan dampak perpindahan ke produk rokok yang lebih murah dari peningkatan cukai rokok.

Selain itu, Febri menilai studi tersebut tidak memperhatikan kompleksitas industri rokok di dalam negeri. Febri mencatat total pabrik rokok di dalam negeri saat ini mencapai 603 unit, sedangkan pabrik yang berskala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mencapai 503 unit.

"Artinya, pemerintah perlu berhati-hati dalam isu menyederhanakan tarif, karena tidak semudah itu. Kalau di Filipina, 80%-90% pabrik rokok berafiliasi dengan satu perusahaan, sedangkan di Indonesia pemainnya sangat banyak. Mereknya saja ada 4.000 merek," kata Febri.

Halaman:
Reporter: Andi M. Arief
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...