BRIN Diharapkan Berfungsi Mirip Bappenas
JAKARTA – Center for Innovation Policy and Governance (CIPG), grup konsultan berbasis riset di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, inovasi, dan tata kelola, berharap badan riset dan inovasi nasional, atau dikenal dengan sebutan BRIN, bisa berfungsi sebagai koordinator dan fasilitator.
Sebab, menurut Co-Founder & Advisor CIPG Irsan Pawennei, fungsi yang paling dibutuhkan itu adalah fungsi arah riset dan pendanaan riset. “Dengan adanya Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2018, arah riset sudah jelas dan dasar hukumnya juga sudah bagus. Tinggal dari fungsi pendanaannya,” kata Irsan.
Karena itu, dia mengusulkan BRIN yang nanti melekat pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemeristekdikti) akan berfungsi seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang melekat dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN). Dengan melekat ke jabatan Menristekdikti, Kepala BRIN bisa berfungsi setingkat Menteri.
“Yang pasti, masalah pendanaan ini harus menyeluruh. Jangan sampai hanya mendanai penelitiannya saja, tapi misalkan tidak boleh membeli peralatan. Sebab kalau tidak boleh, ini akan selalu menjadi masalah yang akan tetap ada terus dan tidak pernah selesai. Kalau pendanaan ini semua disatukan, anggaran iptek bisa untuk membeli alat dan mendanai penelitiannya,” dia menambahkan.
Selain itu, dalam BRIN nanti sebaiknya ada beberapa direktorat menangani klaster-klaster pangan, transportasi, dan lainnya. Mereka ini nanti yang akan memetakan siapa saja yang memiliki penelitian dan pengembangan (litbang) bidang riset prioritas, sehingga BRIN nanti berfungsi sebagai koordinator
Dari segi pendanaan, dilakukan melalui skema kompetisi nasional, tidak seperti sekarang. “Kalau sekarang karena ada lembaga yang memiliki banyak balai penelitian, dananya diecer-ecer, semua balai penelitian akan mendapat uang, entah itu besar atau kecil. Peneliti-peneliti kecil juga akan dapat meskipun dia tidak kompeten. Memang misalkan hanya Rp 5 juta, tapi Rp 5 juta dikalikan puluhan ribu kan angkanya jadi lumayan besar. Hal-hal ini yang ingin kita hindari dengan adanya BRIN ini,” kata Irsan.
Irsan menjelaskan, dengan adanya skema kompetisi nasional, ada pemisahan antara orang yang melakukan aktivitas riset dengan lembaga yang memberikan arah dan pendanaan, sehingga peneliti harus mengajukan proposal. Jangan seperti sekarang, tidak melakukan apa-apa, tetap mendapatkan dana. Dia khawatir, jika BRIN adalah penggabungan dari berbagai lembaga litbang sebagai satu lembaga besar, saya khawatir praktek-praktek seperti itu tetap akan terjadi. Peneliti seharusnya diberikan dana sesuai kompetensi. Kalau memang bagus, dikasih dana lebih banyak.
Terkait pengelolaan dana, tidak masalah seandainya nanti dana riset dikelola oleh lembaga-lembaga pengelola dana seperti Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) atau Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI). Namun, pengambilan keputusan tetap berada di BRIN. Jangan sampai nanti BRIN nanti hanya mengurusi masalah-masalah administrasi yang bukan menjadi kompetensinya.
Dengan adanya BRIN, menurut Irsan, lembaga-lembaga penelitian yang lain tetap saja dibiarkan seperti yang ada sekarang. Lewat skema kompetisi nasional, dengan sendirinya nanti akan terjadi mekanisme pasar. Lembaga yang tidak kompeten tidak mendapat dana.
“Kalau nanti ada lembaga yang tidak perform mau dilebur, ya silakan saja. Bukan dilebur sekarang tanpa berdasarkan fokus riset misalnya,” kata Irsan.
Saat ini sebagai Kementerian yang bertanggung jawab atas penguasaan dan pengembangan iptek, Kemenristekdikti tidak memiliki wewenang untuk melakukan fungsi koordinasi dengan Balitbang Kementerian/Lembaga (K/L) serta LPNK lain di luar koordinasi mereka. Perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil kegiatan litbang dilakukan di internal K/L. Wajar jika kemudian terjadi tumpang tindih. Belum lagi, mekanisme evaluasi belum melihat pemanfaatan dana dari hasil dan keluaran litbang.
Menjawab permasalahan itu, BRIN haruslah merupakan lembaga yang melaksanakan fungsi koordinasi perencanaan, program dan anggaran secara transparan dan akuntabel. BRIN bukanlah pelaksana riset oleh karena akan mempengaruhi proses pengawasan dan evaluasi.
Selain itu, BRIN memiliki fungsi strategis menetapkan arah pemajuan iptek dalam mencapai pembangunan nasional.
Terkait fungsi pendanaan, lembaga baru itu nantinya bisa menjalankan fungsi membuat perencanaan; menyusun dan menetapkan anggaran seperti yang dilakukan Bappenas bersama Kementerian Keuangan; serta melakukan pengawasan atau evaluasi dalam ekosistem riset nasional.
Fungsi seperti itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Namun demikian, mekanisme pendanaan sebaiknya tidak menggunakan sistem pengadaan yang cenderung kaku, tidak fleksibel dan tidak sesuai karakteristik kegiatan litbang.
Kemampuan untuk memberikan dana di luar skema APBN menjadi penting bagi peran pendanaan BRIN, disamping praktik seleksi yang kompetitif dan menjaga keseimbangan insentif riset dari hulu ke hilir; riset dasar maupun terapan.
Terlepas dari fungsi koordinasi BRIN, lembaga litbang LPNK dan K/L tetap memiliki otoritas untuk pemenuhan kegiatan spesfik bidang selaras pembangunan nasional. Namun dengan pengkuran kinerja lembaga litbang yang jelas. Sedangkan litbang yang tidak memiliki fungsi penguasaan dan pengembangan iptek menjadi unsur pendukung fungsi menyusun kebijakan di bawah perencanaan dan anggaran Direktorat Jenderal.
Sementara itu, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho menyebutkan bahwa dari yang terakhir dia dengar, BRIN ini nantinya akan melekat ke Kemenristekdikti seperti Bappenas yang melekat ke Kementerian PPN.
Menurut Yanuar, litbang yang ada di kementerian juga tidak perlu dibubarkan. Namun, harus lebih fokus pada kebijakan yang dihasilkan oleh kementerian tersebut. “Begitu masuk ke riset terapan, lempar saja ke BPPT (badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) atau LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) atau lembaga-lembaga lainnya yang lebih kompeten,” kata Yanuar.
Yanuar mengungkapkan, salah satu tugas utama dari BRIN adalah untuk menciptakan ekosistem riset bagi para peneliti. Ini terdiri dari setidaknya empat komponen, yakni manusia, dana, kelembagaan, dan tata kelola. Tugas BRIN mencakup mengoordinasikan agenda dan penggunaan dana riset agar lebih efektif dan bermanfaat.
Rapat Paripurna di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 16 Juli 2019 lalu telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (RUU Sisnas Iptek) untuk disahkan menjadi undang-undang.
Dalam salah satu pasal UU Sisnas Iptek, yakni Pasal 48, disebutkan bahwa untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional. Badan riset dan inovasi nasional ini akan dibentuk oleh presiden. Sedangkan ketentuan mengenai badan riset dan inovasi nasional diatur dengan peraturan presiden.
Undang-undang itu juga menyebutkan yang dimaksudkan dengan terintegrasi adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan, antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi dan inovasi. Ini sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional.
Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kemenristekdikti, Jumain Appe, mengungkapkan sedikitnya akan ada 22 peraturan pemerintah dan dua peraturan presiden sebagai turunan dari UU tersebut. Peraturan presiden itu tentang rencana induk pemajuan riset nasional dan pembentukan badan riset dan inovasi nasional.
Prinsip-prinsip ekosistem riset, termasuk peran BRIN dalam penyelenggaraan litbang, melalui berbagai kerangka regulasi, kewenangan, pendanaan, sumber daya, serta monitoring dan evaluasi perlu dibangun dan diperkuat dalam regulasi turunan UU Sisnas Iptek secara holistik dan integratif . (*)