Mendukung Pengetahuan, Memampukan Inovasi dan Memajukan Bangsa

Image title
Oleh Tim Publikasi Katadata - Tim Publikasi Katadata
3 Juni 2020, 15:41
KSI
Katadata

Tiga bulan berjalan, pandemi Covid-19 jelas benar telah menguji keuletan, kesiapan serta kelincahan sebuah komunitas dan bangsa. Ujian ini harus dijawab dengan sinergitas oleh semua lini kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Apabila ditambah dengan tingginya tingkat ketidaktahuan kita tentang virus, wabah, dan vaksinnya serta ketidakpastian kapan wabah ini akan berakhir, kemampuan riset dan inovasi menjadi salah satu tumpuannya.

Ekosistem pengetahuan dan inovasi Indonesia, seperti juga negara-negara lain di dunia, seperti sedang berada di dalam cawan petri.

Semua terkondisikan oleh pandemi dan kebutuhan untuk merespon cepat dan tepat. Dalam hitungan pekan, berbagai institusi yang digerakkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi/ Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/ BRIN) melalui Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 telah menghasilkan berbagai purwarupa alat pelindung diri bagi tenaga medis, alat deteksi dan berbagai luaran lainnya yang dapat langsung menjawab kebutuhan menghadapi pandemi. Bedanya dengan suasana sebelumnya adalah bahwa produk-produk purwarupa tersebut mendapat perlakuan khusus untuk diproduksi dan diperbanyak oleh industri, baik BUMN maupun swasta.

Dan dalam eksperimen di cawan tersebut, kita dapat mengobservasi dan memetik pelajaran dalam tiga aspek penting. Aspek pertama adalah pentingnya memupuk lumbung basis pengetahuan (stock of knowledge). Aspek kedua dan ketiga yang harus berjalan beriringan adalah orkestrasi ekosistem inovasi serta konsistensi birokrasi.

Lumbung Pengetahuan

Ukuran mudah untuk mengukur akumulasi pengetahuan adalah angka-angka statistik. Walaupun masih jauh dari ideal dan masih terpusat di beberapa lembaga, jumlah peneliti yang benar-benar melakukan penelitian di Indonesia meningkat dari 40 orang per satu juta penduduk di tahun 2015 menjadi 89 orang per satu juta penduduk di tahun 2019 atau apabila angka tersebut dimasukkan para dosen akan menjadi 1.071 peneliti per satu juta penduduk. Produktivitasnya pun meningkat dua kali lipat yang tercermin dari melonjaknya jumlah publikasi scopus (level menengah), dari 8.475 publikasi pada tahun 2015 menjadi 45.936 pada tahun 2019.

Pun capaian ini baru merupakan langkah awal dari perbaikan-perbaikan yang harus diupayakan terkait kualifikasi, infrastruktur serta peningkatan efektivitas lembaga penghasil pengetahuan menjadi penghasil invensi dan inovasi.

Ukuran kuantitatif ini lalu seolah diuji kualitas dan relevansinya dalam merespon wabah. Jika kita mengesampingkan dahulu seluruh permasalahan terkait SDM Iptek, dengan kekuatan yang ada punyakah kita pengetahuan yang cukup mengenai epidemiologi, fitofarmaka, rekayasa alat kesehatan yang dapat diproduksi dengan cepat dan relatif murah, atau strategi perubahan perilaku masyarakat?

Menilik luaran yang dihasilkan Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 dalam waktu singkat, saya cukup optimis bahwa secara kualitas pun lumbung pengetahuan kita cukup layak.

Namun secara jujur dapat dikatakan bahwa pekerjaan rumah yang masih cukup besar masih menanti untuk terus berupaya memahami dinamika sosial masyarakat kita, sehingga inovasi bukan hanya menghasilkan produk, tetapi juga intervensi, strategi perubahan perilaku serta kebijakan publik yang komprehensif.

Orkestrasi Ekosistem Inovasi

Akumulasi pengetahuan tidak serta merta otomatis menjadi bermanfaat - menjadi invensi dan inovasi. Prosesnya pun tidak linier. Ada sejumlah aktor kunci dalam ekosistem inovasi dengan kompleksitas dinamika keterhubungan satu sama lain yang mau tidak mau harus diorkestrasi.

Laporan Global Innovation Index 2019 mencatat lemahnya hubungan ekosistem riset dan industri serta rendahnya daya serap perusahaan lokal terhadap hasil inovasi sebagai masalah yang umum ditemui di negara berkembang seperti Indonesia.

Peran orkestrasi ini idealnya dilakukan oleh negara. Mengutip Mariana Mazzucato dalam bukunya The Entrepreneurial State (2014), ‘jika dilakukan secara efektif, peran negara adalah secara tegas – tapi tidak otoriter – mengarahkan visi dan memberikan dorongan untuk mewujudkannya.’ Dalam konteks ini, negara bukan hanya sebagai fasilitator, namun secara aktif menjadi mitra kunci sektor swasta dan memiliki kemampuan mengarahkan berbagai kepentingan.

Dalam keadaan normal, mesin birokrasi punya cukup pemahaman mengenai peran di atas. Namun penerapannya butuh lebih dari sekedar pemahaman. Perwujudan keterhubungan n-helix, dari yang paling sederhana – pemerintah, akademisi dan swasta – saja, membutuhkan kelincahan memahami motivasi dasar setiap pemangku kepentingan dan (secara positif) mengatur dinamikanya. Harus diakui, sampai saat ini, di luar konteks pandemi, orkestrasi keterhubungan yang diharapkan belum sepenuhnya terjadi.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...