Perseteruan antara Greenpeace dan KLHK soal Isu Deforestasi

Image title
18 November 2021, 21:50
deforestasi, Greenpeace, KLHK
ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/hp.
Panorama tutupan hutan Gunung Kerinci (3805 mdpl) yang sebagian kawasannya telah beralih fungsi menjadi perkebunan terlihat dari Kayu Aro, Kerinci, Jambi, Sabtu (1/8/2020).

Perseteruan wacana deforestasi antara Greenpeace dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus berlanjut. Teranyar, KLHK menuding Greenpeace pernah berkolaborasi dengan beberapa perusahaan sawit dan kertas yang melakukan penggundulan hutan pada periode 2011-2018.  

Greenpeace mengklaim sebagai lembaga yang mempunyai komitmen untuk menghentikan laju deforestasi di Indonesia. Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Kiki Taufik mengakui pernah bekerja sama dengan Grup Sinar Mas, seperti Golden Agri-Resources (GAR) dan Asia Pulp & Paper (APP).

Kerja sama ini bertujuan dalam rangka menghentikan laju deforestasi. "Greenpeace melakukan pengawasan agar komitmen nol deforestasi terlaksana, kegiatan yang seharusnya dilakukan dan dipastikan oleh KLHK," kata Kiki kepada Katadata.co.id, Kamis (18/11).

Kiki mengatakan Greenpeace tidak pernah meminta dan menerima kompensasi apapun dari Sinar Mas dalam kerja sama yang berakhir pada 2018. Program tersebut sebagai dukungan agar Sinar Mas (GAR & APP) berhenti melakukan deforestasi.

Meski mereka bekerja sama, Greenpeace Internasional mencatat melalui analisis pemetaan terbaru, hampir 8.000 hektare hutan dan lahan gambut ditebangi di dua konsesi yang terkait dengan APP dan perusahaan induknya Sinar Mas sejak 2013.

Bermula dari Kritik Greenpeace Terhadap Pidato Jokowi

Perseteruan wacana deforestasi bermula dari kritik Greenpeace Indonesia terhadap pidato Presiden Jokowi dalam perhelatan COP 26 di Glasgow, Senin (1/11). Greenpeace menilai Indonesia seharusnya bisa menjadi contoh bagi banyak negara berkembang untuk memutus ketergantungan terhadap energi kotor, mewujudkan nol deforestasi, serta tidak bergantung pada dukungan internasional.

Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak, mengatakan Indonesia yang menjadi bagian dari 20 ekonomi terbesar di dunia dan 10 negara pengemisi terbesar, seharusnya berkomitmen dan melakukan aksi nyata untuk dekarbonisasi ekonominya.

"Yaitu dengan berkomitmen untuk mencapai karbon netral pada 2050, menghentikan dominasi batubara pada sektor energi, dan tidak menggantungkan diri pada perdagangan karbon yang merupakan solusi palsu terhadap krisis iklim," kata Leonard dikutip dalam siaran pers (2/11).

Greenpeace menyoroti mengenai pernyataan Presiden Jokowi salah satunya mengenai laju deforestasi. Presiden Jokowi menyebutkan, laju deforestasi turun signifikan terendah dalam 20 tahun terakhir.

Namun, Greenpeace mencatat deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019).

Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Tren penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021, tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi yang terjadi di Indonesia sehingga aktivitas pembukaan lahan terhambat.

Faktanya dari 2002-2019, terdapat deforestasi hampir 1,69 juta hektar dari konsesi HTI dan 2,77 juta hektar kebun sawit. Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi.


Deforestasi di masa depan, akan semakin meningkat saat proyek food estate, salah satu proyek PSN dan PEN dijalankan. Akan ada jutaan hektar hutan alam yang akan hilang untuk pengembangan industrialisasi pangan ini.

Menanggapi hal tersebut, Sekjen KLHK Bambang Hendroyono mengungkapkan mengenai kerja sama Greenpeace dengan sejumlah perusahaan sawit dan kehutanan di Indonesia, dalam kurun waktu tahun  2011 hingga 2018.  

Bambang juga menyoroti permintaan Greenpeace agar KLHK mencabut izin-izin usaha di lahan gambut. Namun, Bambang menganggap Greenpeace bersikap tebang pilih. Sebab, Greenpeace tak menjadikan aktivitas produksi di luar lahan gambut sebagai syarat ketika bekerja sama dengan sejumlah perusahaan tersebut. "Greenpeace juga tidak mensyaratkan agar perusahaan itu  menyerahkan izin-izin usahanya di lahan gambut kepada pemerintah untuk dicabut," kata Bambang.

Bambang menyebut selama bertahun-tahun berkolaborasi dengan Greenpeace, grup sawit dan pulp/kertas itu tetap beroperasi di lahan gambut. "Mengapa Greenpeace sekarang mendesak pemerintah untuk mencabut izin-izin usaha di lahan gambut? Ini menunjukkan posisi Greenpeace yang tidak konsisten," ujarnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...