Perbandingan Krisis Ekonomi 2008 dan 2013
KATADATA ? Dalam sepekan terakhir, masyarakat dihebohkan oleh kekhawatiran bakal terjadinya krisis terhadap perekonomian Indonesia. Publik setidaknya melihat dua indikator, yakni Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang mengalami pelemahan.
Jika melihat kedua indikator tersebut, pelemahan IHSG dan rupiah saat ini masih lebih kecil kalau dibandingkan dengan situasi pada 2008. Namun jika membandingkan dengan indikator lainnya, seperti neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan, situasi saat ini justru lebih buruk ketimbang kondisi saat itu. Padahal kedua indikator tersebut yang paling mencerminkan kinerja perekonomian nasional.
Katadata menghimpun sejumlah data untuk membandingkan sejumlah indikator yang dapat menggambarkan situasi perekonomian pada 2008 dan 2013. Indikator-indikator tersebut meliputi, IHSG, kurs rupiah, neraca perdagangan, cadangan devisa, dan neraca transaksi berjalan.
IHSG
2008:
Dalam satu pekan, indeks turun 22 persen dari 1.426,94 pada 20 Oktober ke level terendah 1.111,39 di 28 Oktober. Jika dihitung selama tiga bulan, telah terjadi pelemahan sebesar 40 persen. Indeks terus mengalami fluktuasi dan berada level 1.355,41 pada penutupan akhir 2008, atau turun 51 persen dari posisi awal tahun.
2013:
Pada Selasa (20/8), IHSG ditutup 4.174,98, turun 11 persen atau 524,75 poin selama sepekan. Indeks pernah mencapai rekor tertinggi 5.214,97 pada 20 Mei. Jika dibandingkan dengan posisi tertinggi tersebut atau selama tiga bulan, IHSG telah merosot 19,94 persen. Namun jika dilihat sejak awal tahun, indeks hanya turun 3,28 persen.
Kurs Rupiah
2008:
Rupiah mulai terdepresiasi pada awal September 2008 dari Rp 9.161 menjadi Rp 9.506 per dolar AS pada akhir September. Per 31 Oktober, rupiah kembali melemah menjadi Rp 11.050 per dolar AS. Puncak pelemahan rupiah terjadi pada 24 November menjadi Rp 12.650 per dolar AS, atau terdepresiasi 38 persen selama tiga bulan.
2013:
Di pasar spot, rupiah Selasa (20/8) diperdagangkan di posisi Rp 10.723 per dolar AS, melemah 5,86 persen dalam sebulan. Ini posisi terendah sejak Mei 2013. Jika dilihat sejak awal tahun, rupiah telah terdepresiasi 9,47 persen.
Neraca Perdagangan
2008:
Pada 2008, neraca perdagangan Indonesia masih mengalami surplus US$ 7,8 miliar, meski mengalami penurunan sekitar 80 persen dibandingkan surplus tahun sebelumnya. Ini disebabkan meningkatnya impor sebesar 73 persen dari US$ 74,5 miliar menjadi US$ 129,2 miliar. Penurunan surplus disebabkan melemahnya harga komoditas global akibat krisis di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa.
2013:
Sepanjang semester I, defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$ 3,31 miliar. Total ekspor Indonesia sebesar US$ 91,05 miliar, turun 6,09 persen dibandingkan semester I-2012. BPS menyebutkan, penurunan ekspor terutama akibat turunnya nilai ekspor nonmigas, terutama batubara dan minyak sawit. Padahal keduanya merupakan kontributor terbesar masing-masing mencapai 17 persen dan 13 persen terhadap total ekspor.
Cadangan Devisa
2008:
Pada awal 2008, cadangan devisa tercatat sebesar US$ 56,9 miliar setara dengan 5,3 bulan impor. Di akhir tahun, jumlahnya melorot menjadi US$ 51,6 miliar atau setara 4,8 bulan impor. Cadangan devisa sempat naik ke US$ 60,6 pada Juli, dan mencapai level terendah pada November sebesar US$ 50,2 miliar atau turun 17 persen akibat melemahnya nilai rupiah dan naiknya harga minyak mentah dunia. Penurunan bulanan tertinggi terjadi pada Oktober sebesar 11 persen dari US$ 57,1 miliar pada September menjadi US$ 50,6 miliar.
2013:
Dalam dua bulan, cadangan devisa Indonesia terkuras hingga US$12,5 miliar atau berkurang 12 persen menjadi US$ 92,7 pada akhir Juli. Jumlah itu setara dengan 5,9 bulan impor. Sepanjang tahun ini, cadangan devisa berkurang 18 persen dari posisi akhir 2012 sebesar US$112,8 miliar (7,2 bulan impor). Berkurangnya cadangan devisa itu digunakan untuk penyelamatan rupiah, selain pembayaran impor dan utang luar negeri.
Neraca Transaksi Berjalan
2008:
Kecuali pada kuartal I yang mengalami surplus US$ 2,7 miliar, neraca transaksi berjalan Indonesia pada 2008 mengalami defisit. Pada kuartal II, defisit mencapai US$ 1 miliar atau 0,77 persen terhadap PDB. Pada kuartal berikutnya, defisit berkurang menjadi US$ 967 juta (0,69 persen) pada kuartal III dan US$ 637 juta (0,55 persen) di kuartal IV. Defisit tidak berlanjut di 2009 karena harga minyak mentah dunia mulai turun yang mengurangi beban impor minyak.
2013:
Data Bank Indonesia menyebutkan, neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II-2013 mengalami defisit US$ 9,9 miliar atau sekitar 4,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Jumlah ini mengalami peningkatan 69 persen dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 5,8 miliar. Defisit tersebut sekaligus melanjutkan defisit transaksi berjalan selama tujuh kuartal terakhir sejak kuartal IV-2011.