ANALISIS DATA

EV-DCI : Menilik Daya Saing Digital
Daerah di Indonesia


Tim Riset dan Analis Katadata

Foto: 123rf

Hasil pemetaan daya saing digital Indonesia melalui East Ventures - Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2020 menunjukkan bahwa secara daya saing digital Indonesia masih terbilang rendah. Artinya, Indonesia memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital.

05/03/2020, 10.00 WIB


Tak berbeda dengan tren dunia, Indonesia saat ini sedang memasuki era digitalisasi di berbagai sektor. Dunia industri telah berubah dan bergeser seiring dengan perkembangan internet dan revolusi digital melalui perkembangan inovasi dan otomatisasi di berbagai sektor. Kehadiran internet telah menciptakan internet economy atau ekonomi digital di berbagai belahan di dunia.

Terus meningkatnya penetrasi internet di seluruh wilayah Nusantara seiring dengan pembangunan proyek infrastruktur telekomunikasi Palapa Ring membuat Indonesia menjadi pasar yang sangat menarik. Apalagi, Indonesia merupakan negara dengan jumlah populasi terbesar keempat di dunia yang memiiki 264 juta penduduk dan 171 juta pengguna internet pada 2018.

Potensi besar ekonomi digital Indonesia tersebut terefleksi dari hasil riset East Ventures – Digital Competitiveness Index (EV-DCI). Riset ini dilakukan oleh East Ventures bekerja sama dengan Katadata Insight Center (KIC). Hasilnya, menunjukkan bahwa daya saing Indonesia secara umum berada pada skor 27,9. Dengan skala 0-100, angka ini memperlihatkan bahwa daya saing digital Indonesia masih terbilang rendah. Artinya, dengan jumlah populasi yang besar dan tingkat penetrasi internet yang tinggi, Indonesia memiliki peluang besar mengembangkan ekonomi digital guna mendorong pertumbuhan ekonomi digital.

Riset ini memaparkan daya saing digital 34 Provinsi, serta mengulas peluang dan tantangan mengenai perkembangan ekonomi digital di Indonesia. EV-DCI atau Indeks Daya Saing Digital ini mengukur kondisi ekonomi di wilayah Indonesia berdasarkan tiga aspek. Ketiganya adalah aspek input yang mencakup sejumlah pilar utama yang mendukung terciptanya ekonomi digital, aspek output yang menggambarkan sejumlah pilar terkait ekonomi digital yang dihasilkan, serta aspek penunjang yang mendukung secara tidak langsung pengembangan ekonomi digital.

Berdasarkan pada 9 pilar yang menjadi alat ukur EV-DCI, kesiapan Indonesia dalam ekonomi digital terlihat dari pilar penggunaan ICT (Information Communication and Technology). Sebagai aspek input, penggunaan ICT mendapatkan nilai tertinggi dibandingkan 8 pilar lainnya.

Penggunaan ICT yang dimaksud terdiri dari kepemilikan handphone, komputer, hingga besarnya akses pada internet dari masing-masing daerah. Besarnya peran pilar penggunaan ICT ini juga didukung oleh kesiapan infrastruktur digital yang merupakan bagian dari aspek penunjang dan menjadi pilar dengan posisi kedua tertinggi.

Untuk pilar SDM dan kewirausahaan merupakan dua pilar dengan skor terendah sebagai pembentuk EV-DCI Indonesia. Artinya, Indonesia masih menghadapi persoalan keterbatasan SDM yang terampil dalam ekonomi digital. Kewirausahaan di bidang ekonomi digital juga masih perlu terus dikembangkan.

Lebih jauh, terlihat bahwa aspek output memiliki skor yang lebih rendah dibandingkan input. Hal tersebut mengindikasikan daerah-daerah di Indonesia belum dapat mengoptimalkan input dalam hal SDM, penggunaan dan pengeluaran ICT, menjadi output dalam hal perekonomian, kewirausahaan, dan tenaga kerja. Padahal, jika dimanfaatkan secara optimal, input tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya sektor digital di level daerah maupun nasional.

Pulau Jawa Unggul, DKI Jakarta Memimpin Jauh

Foto: Arief Kamaludin | KATADATA

Jika dilihat berdasarkan kawasan atau regional, pulau Jawa memimpin hampir pada semua pilar pembangun EV-DCI. Wilayah Jawa hanya kalah sedikit dari Kalimantan, khususnya pada pilar Penggunaan ICT. Sedangkan wilayah lainnya terlihat mengumpul pada skor yang sama dengan Indonesia.

Wilayah Jawa memiliki daya saing digital terbaik dengan semua provinsi di pulau ini menempati posisi 10 besar dan Jawa Tengah menjadi provinsi dengan skor terendah di kawasan ini. Sedangkan, daerah lain di luar Jawa memiliki daya saing lebih rendah dibandingkan daerah-daerah di pulau Jawa.

Berdasarkan provinsi, DKI Jakarta memimpin semua (34) provinsi dengan skor EV-DCI 79,7 atau memiliki daya saing digital terbaik. Perbedaan skor yang cukup lebar antara posisi pertama dengan posisi kedua dan seterusnya memperlihatkan bahwa iklim dan ekosistem digital masih terpusat di ibu kota negara. Sedangkan, wilayah lain masih belum cukup bersaing secara digital.

Sebagai provinsi dengan skor tertinggi, DKI Jakarta memiliki poin tertinggi pada 6 dari 9 pilar penilaian. Penyumbang poin terbesar, terutama bersumber dari pilar perekonomian dan pengeluaran ICT yang hampir sempurna. Namun, dalam hal pendidikan di bidang digital, DKI Jakarta masih rendah (63) dan memiliki ruang untuk berkembang. Implikasinya, pertumbuhan mahasiswa berkemampuan digital juga masih tergolong rendah (31,7).

Meski begitu, provinsi ini mampu menyerap tenaga kerja dari luar DKI Jakarta. Hal tersebut wajar, mengingat provinsi ini merupakan pusat bisnis dan ekonomi Indonesia, sehingga menarik para pebisnis dan pekerja di bidang ICT atau Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Posisi kedua dipegang Jawa Barat dengan skor 55,0 diikuti Jawa Timur dan DI Yogyakarta. Posisi 2 hingga 10 besar memiliki skor yang tidak jauh berbeda dengan rentang antara 40-50. Beberapa wilayah memiliki daya saing yang melebihi ekspektasi, seperti Kalimantan Timur bercokol di posisi 6 dan Kepulauan Riau di posisi 10.

Secara nasional, provinsi dengan peringkat rendah tidak terkonsentrasi di wilayah tertentu, tetapi tersebar merata di semua wilayah, kecuali Jawa. Hal ini juga mengindikasikan bahwa sebaran ketimpangan daya saing digital bukan terjadi antara wilayah Barat dan Timur Indonesia, atau antara kota besar dan kota kecil. Namun, ketimpangan lebih terjadi antara wilayah Jawa dan non-Jawa. Pasalnya, wilayah selain Jawa memiliki sebaran yang cukup merata untuk daya saing digital.

Peluang dan Tantangan Ekonomi Digital

Foto: Arief Kamaludin | KATADATA

Selain memaparkan peta daya saing digital daerah di Indonesia, hasil riset ini juga menggambarkan mengenai peluang dan tantangan ekonomi digital Indonesia. Peluang dan tantangan yang dihadapi ini tidaklah ringan mengingat pertumbuhan ekosistem digital di negara ini cukup pesat. Ekosistem digital bukan hanya berdampak pada perubahan aktivitas sehari-sehari, melainkan juga berdampak bagi perekonomian dan tenaga kerja.

Sejatinya, secara struktur ekonomi pada 2018, porsi sektor yang terkait ekonomi digital masih terbilang kecil. Sektor Informasi dan Komunikasi dan Jasa Keuangan masing-masing berkontribusi sebesar 3,77 % dan 4,15 % terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sedangkan Subsektor Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan Kurir hanya 0,88%.

E-Commerce (ANTARA FOTO/APRILLIO AKBAR)

Cashless (ANTARA FOTO/Feny Selly)

Namun demikan, ada hal menarik yang terjadi pada sektor-sektor tersebut. Meski porsinya terhadap PDB terbilang kecil, pertumbuhan ketiga sektor ini cukup agresif. Rata-rata pertumbuhan sektor terkait ekonomi digital selalu di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, setidaknya terlihat dalam lima tahun terakhir.

Ke depan, ekonomi digital diperkirakan akan tumbuh semakin pesat. Berdasarkan kajian Google, Temasek, dan Bain Company bertajuk “e-Conomy SEA 2019”, nilai ekonomi digital ASEAN-6 pada 2015 mencapai US$ 32 miliar atau setara dengan 1,7 persen PDB kawasan. Pada 2019, nilainya meningkat menjadi US$ 100 miliar atau sekitar 3,7 persen PDB dan diperkirakan akan meningkat menjadi US$ 300 miliar atau 8,5 persen PDB kawasan pada 2025.