Menanti Berkah Biodiesel untuk Petani

Program biodiesel menjadi harapan bagi perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit dan peningkatan kesejahteraan petani swadaya. Tiga tahun program ini berjalan, berbagai tantangan masih dihadapi untuk menjadikan biodiesel benar-benar bermanfaat bagi petani.

Tim Riset dan Publikasi Katadata

8/5/2020, 7.35 WIB

Hamparan pohon sawit setinggi lima meter membentang di area seluas lebih dari 1.000 hektare. Belantara sawit yang sudah mulai berbuah itu tumbuh di Desa Lubuk Bendahara, Kecamatan Rokan IV Koto, Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Perkebunan tersebut merupakan milik warga yang dikelola secara mandiri.

Riau memang istimewa. Provinsi ini merupakan pemilik perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia. Kementerian Pertanian mencatat, 20 persen dari total luas kebun sawit nasional berada di wilayah ini. Terlebih, setengah dari total kebun sawit di Riau merupakan kebun rakyat yang dikelola secara swadaya.

Jumlah Petani Sawit Perkebunan Rakyat Menurut Provinsi 2019 (Angka Sementara)

Pada Februari lalu, Katadata mendatangi area perkebunan di Desa Lubuk Bendahara untuk bertemu dengan petani sawit swadaya dan melihat proses tata niaga kelapa sawit. Jalan tanah berundak masih licin akibat hujan pada malam sebelumnya. Dari jalan raya, Tim Katadata masih harus berjalan kaki sejauh dua kilometer menuju kebun yang dituju.

Sesampainya di kebun, tampak seorang petani sedang menjulurkan galah yang di ujungnya terdapat celurit untuk memotong buah sawit atau biasa disebut tandan buah segar (TBS). Pangkal buah sawit dari pohon setinggi delapan meter itu kemudian dipotong hingga tandannya jatuh ke tanah.

Dengan sigap, si petani kemudian mengangkat tandan sawit dan memasukkannya ke dalam keranjang yang dipasang di kedua sisi sepeda motor. Seusai memasukkan tandan terakhir ke keranjang, petani itu menyapa Tim Katadata. Sembari duduk istirahat dan meminum air bekalnya, ia kemudian berbagi cerita.

Reno, petani mandiri kelapa sawit memanen Tandan Buah Segar (TBS) di perkebunan sawitnya. Arief Kamaludin|Katadata

Petani itu bernama Reno, warga Desa Lubuk Bendahara yang selama 15 tahun menjadi petani swadaya. Ia merupakan kepala keluarga dari satu orang istri dan dua orang anak. Anak pertamanya duduk di kelas 4 SD dan anak keduanya baru berumur tiga tahun.

Reno memiliki 1,5 hektare kebun sawit yang ia kelola sendiri seluruh prosesnya, mulai dari pemupukan hingga panen. Rata-rata, kebun reno dapat menghasilkan satu ton per panen dalam dua minggu sekali. Dari hasil tersebut ia mendapat penghasilan Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta.

Selain mengurus kebunnya sendiri, sehari-hari Reno juga menjadi buruh panen kelapa sawit di kebun orang lain. “Saya bisanya begini, ngurus sawit sendiri sama jadi buruh panen di kebun orang. Seperti sekarang, kebun saya panen, sekalian saya membantu panen kebun tetangga. Lumayan, bisa buat makan sama kebutuhan sehari-hari,” tutur Reno.

Reno dengan kendaraan roda dua mengangkut TBS dari setiap pohon sawit yang dipanen. Arief Kamaludin|Katadata
Petani mandiri, Reno, sedang mengumpulkan TBS nya untuk dijual ke tengkulak. Arief Kamaludin|Katadata
TBS dari pohon sawit dikumpulkan untuk ditimbang petugas tengkulak. Arief Kamaludin|Katadata

Reno menceritakan, selama menjadi petani sawit swadaya, ia belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah baik modal maupun pendampingan. “Pemerintah belum ada tindakan untuk membantu kami. Tidak ada bantuan bibit, pupuk, pendampingan, apalagi modal. Harga sawit tidak menentu, jalanan rusak juga dibiarkan,” kata Reno.

Menurutnya, biaya perawatan sawit masih belum sebanding dengan hasil yang didapatkan. Itu disebabkan harga pupuk dan harga jual TBS yang terus berubah. “Saya tahu sawit juga butuh makan (dikasih pupuk). Sekarang pupuk mahal, harga sawit naik turun, kalo pupuk harganya tidak pakai turun, naik terus. Uang saya gak cukup kalo harus beli pupuk yang bagus. Jadi saya beli (pupuk) seadanya saja,” ujar Reno.

Kondisi yang dihadapi Reno merupakan gambaran para petani swadaya di Riau maupun daerah lain di Indonesia. Mereka menggantungkan hidup dari hasil jual sawit dari kebun sendiri maupun dari hasil memanen di kebun milik orang lain. Meski demikian, hasil yang didapat masih jauh dari cukup akibat minimnya bantuan pupuk dan pendampingan pemerintah maupun akibat harga jual yang berfluktuasi.

Jalan Panjang Tandan Sawit Menjadi CPO

Selang 20 menit berbincang dengan Reno, sebuah mobil pick up datang. Mobil itu ditumpangi pekerja yang ditugasi toke atau tengkulak untuk mengambil TBS yang baru dipanen. TBS milik Reno kemudian ditimbang dan Reno diberi secarik kwitansi tanda jual beli. Kwitansi itu nantinya harus dibawa setiap petani saat mengambil uang hasil sawit ke tengkulak.

Herman, pekerja tengkulak setempat mengatakan total tandan sawit yang dikumpulkan hari itu mencapai 787 kilogram dari rata-rata satu ton. TBS milik Reno kemudian diberi harga Rp 1.800 per kilogram. “Harganya lumayan mahal karena sedang musim trek (jumlah panen menurun). Di mana-mana TBS hanya sedikit, sehingga harga dinaikkan,” ucap Herman.

Petani sawit menimbang TBS untuk dijual ke tengkulak. Arief Kamaludin|Katadata

Dengan menggunakan mobil pick up, Herman bertugas mengangkut TBS dari kebun-kebun yang jaraknya jauh dari jalan besar. Selanjutnya, TBS itu akan dikumpulkan pada truk yang menunggu di jalan besar untuk kemudian dibawa ke rumah tengkulak untuk didata.

Bergeser dari rumah tengkulak, truk kemudian menuju peron pengumpulan TBS atau biasa dikenal dengan ramp untuk ditimbang. Pada saat itu Katadata berkesempatan mengikuti truk sawit menuju ramp Persada Nusantara milik Kencana Grup di Kecamatan Rokan IV Koto. Tempat itu merupakan tujuan sebagian besar tengkulak di Desa Teluk Bendahara menjual TBS. Jaraknya sekitar lima kilometer dari rumah tengkulak.

Setibanya di ramp, tampak tertulis angka “Rp 1.900” di depan gerbang yang menandakan harga jual yang berlaku saat itu. Menurut mandor ramp, Ahmad Junaidi atau biasa disapa Bejo, TBS yang dijual harus yang berkualitas baik. Selain itu, penjual TBS juga harus mengikuti harga yang telah ditetapkan perusahaan.

Tulisan harga harian TBS di secarik kertas di gerbang depan ramp/peron Persada Nusantara milik Kencana Grup di Kecamatan Rokan IV Koto, Riau. Arief Kamaludin|Katadata

“Setiap hari bisa ganti. Kadang turun, kadang naik. Tergantung keputusan dari pabrik,” tuturnya. Siapapun dapat menjual TBS-nya ke tempat tersebut, termasuk tengkulak ataupun petani itu sendiri. “Tapi sangat jarang, hampir tidak ada petani langsung yang bawa sendiri.”

Pemilik kebun kecil seperti Reno punya kesulitan menjual langsung ke perusahaan. Ia memilih menjual TBS hasil panennya ke tengkulak daripada harus langsung ke ramp. “Saya hanya punya motor. Kalau harus mengangkut tandan-tandan ini ke ramp, saya harus bolak-balik berulang kali. Jaraknya lumayan jauh, apalagi kalau lagi musim hujan, berat, jalannya susah”, katanya.

Setelah ditimbang dan dibeli oleh ramp, perjalanan TBS berlanjut ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Di tempat itu, TBS akan diolah menjadi minyak sawit atau crude palm oil (CPO). Masih di hari yang sama, Katadata kemudian melanjutkan perjalanan ke PKS PT Lubuk Bendahara Palma Industri (LBPI).

TBS yang terlepas dari janjangannya saat proses pemanenan di perkebunan sawit mandiri di Desa Lubuk Bendahara, Kecamatan Rokan IV Koto, Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Arief Kamaludin|Katadata

Jarak dari ramp ke PT LBPI sekitar empat kilometer. Di sepanjang jalan, terlihat lapak warga yang menerima penjualan sawit rusak atau reject. Dari jalan raya, mobil yang ditumpangi Katadata berbelok ke jalanan bertanah. Jalan itu cukup lebar, cukup untuk dilewati truk pengangkut sawit maupun CPO yang keluar masuk PKS.

Memasuki gerbang PKS, tampak asap hitam mengepul dari cerobong pusat pengolahan. Deru mesin penggiling buah sawit terdengar dari kejauhan. Tampak truk pengangkut TBS, truk CPO, serta pekerja pabrik keluar masuk di area yang tertutup untuk umum itu.

PT LBPI merupakan pabrik kelapa sawit independen. Perusahaan pengolahan sawit ini tidak memiliki kebun yang menjadi sumber bahan baku. Dari total produksi minyak kelapa sawitnya, 20 persen di antaranya didapatkan dari kerja sama dengan perusahaan perkebunan. Sementara 80 persen lainnya berasal dari petani mandiri.

Proses pemilahan TBS sebelum diproses menjadi CPO di PKS PT Lubuk Bendahara Palma Industri (LBPI), Riau. Arief Kamaludin|Katadata

Hanya saja, memang terdapat perbedaan harga beli TBS antara petani mandiri dengan petani plasma atau perkebunan milik perusahaan. Manajer PKS LBPI, Sagita Roni Sinulingga menjelaskan perbedaan harga disebabkan adanya perbedaan jenis bibit yang mempengaruhi kualitas buah yang dihasilkan. “Jenis bibitnya beda, kualitasnya beda, jadi harganya pun beda. Harga TBS petani mandiri lebih murah Rp 50 dibanding perusahaan perkebunan yang sudah terikat kontrak”, jelas Roni.

Bersama Roni, Katadata kemudian berjalan ke area belakang pabrik, tempat TBS dari truk-truk pengangkut diturunkan. Di tempat itu, para pekerja memisahkan tandan berdasarkan kriteria yang baik dan kurang baik. Dari tempat itu tercium aroma minyak sawit yang pekat, yang berasal dari mesin penggilingan yang sedang beroperasi.

Masuk ke dalam pabrik, tampak mesin-mesin besar yang saling terhubung bekerja memproses buah sawit. Proses pengolahan dimulai dari melepaskan buah dari tandan hingga memisahkan serabut dan kernel atau minyak inti kelapa sawit.

Proses produksi CPO di PKS LBPI. Arief Kamaludin|Katadata
CPO yang sudah melewati proses produksi di PKS PT LBPI. Arief Kamaludin|Katadata

Tahap selanjutnya adalah pemisahan minyak dari cairan lainnya yang berada di lantai dua. Lantai satu dan dua pabrik itu dihubungkan oleh tangga yang hanya bisa dilewati satu orang. Pijakan dan pegangan tangga licin dan lengket, berlumur minyak yang sudah menghitam.

Sesampainya di lantai dua, suhu terasa semakin panas dan udara semakin pengap akibat mesin yang beroperasi terus-menerus. Di tahap ini, pemisahan cairan berlangsung selama lima hingga enam jam. Hasilnya berupa 99 persen minyak, kadar air maksimal 0,5 persen, kadar asap maksimal 0,5 persen, dan kotoran maksimal 0,3 persen.

“CPO yang dihasilkan merupakan 19-20 persen dari TBS yang diproses. Dengan kapasitas maksimal 700 ton TBS per hari, PT LBPI menghasilkan 130-140 ton CPO per hari”, jelas Roni.

CPO yang telah dihasilkan kemudian dialirkan melalui pipa-pipa besar ke mobil pengangkut CPO. Semua CPO yang dihasilkan PT LBPI dipasok ke pabrik pengolahan di Dumai. Pada tahap itu, CPO kemudian diolah untuk berbagai kebutuhan, termasuk untuk pangan maupun bahan bakar.

Tata Niaga Rumit, Petani Swadaya Kian Sulit

Proses tandan sawit dari petani swadaya untuk menjadi CPO terbilang panjang. Kondisi yang terjadi di Riau ini juga merupakan cerminan kondisi daerah penghasil sawit lain di Tanah Air.

Riau masih belum dapat dikategorikan sebagai daerah maju meski merupakan daerah utama penghasil sawit. Berdasarkan Indeks Desa Membangun yang dirilis Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi pada 2019, dari total 229 desa berperusahaan sawit di Riau, sebanyak 146 desa atau 64 persen masih berstatus desa berkembang.

Sementara itu, Riau hanya memiliki 14 desa maju dan 2 desa mandiri. Selebihnya, sebanyak 61 desa atau 27 persen dari desa sawit masih berstatus desa tertinggal. Dengan demikian, kemiskinan masih membayangi masyarakat Riau, termasuk petani sawit swadaya di wilayah ini.

Sumber: Tim Penetapan Harga TBS diolah Ditjen Perkebunan

Untuk menggali informasi lebih lanjut, Katadata menyambangi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perkumpulan Elang di Pekanbaru, Riau. Sejak 2001, lembaga ini aktif membagun kesadaran masyarakat terkait penyelamatan lingkungan. Pendampingan petani sawit mandiri merupakan salah satu kegiatan tersebut.

Direktur Perkumpulan Elang, Janes menyatakan petani swadaya memiliki peran penting dalam menjamin pasokan CPO di Tanah Air. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, pada tahun 2018 petani mandiri Indonesia sejumlah 2,7 juta kepala keluarga. Mereka mengelola 41 persen dari total lahan perkebunan sawit di Indonesia.

Meski jumlahnya signifikan, petani swadaya masih mengalami banyak kendala. Salah satunya alur rantai pasok CPO yang terbilang panjang. Setelah panen di kebun, petani biasanya menjual TBS ke tengkulak. Setelahnya, tengkulak akan membawa TBS ke pengumpul atau ramp untuk ditimbang dan dijual. Baru kemudian ramp memasok TBS tersebut ke PKS.

Panjangnya alur rantai pasok tidak menguntungkan bagi petani. Itu disebabkan petani mendapat harga yang lebih rendah dengan menjual TBS-nya ke tengkulak. Makin panjang perjalanan kelapa sawit dari petani hingga pabrik, makin besar pula ‘pendapatan’ petani yang hilang. Biasanya, harga yang diterima petani lebih murah Rp 100 hingga Rp 300 dari harga TBS yang berlaku di PKS.

“Biasanya masyarakat tingkat tapak hanya menerima harga yang ditetapkan pengumpul. Mereka tentu akan menurunkan harga untuk biaya mobilisasi dan mencari keuntungan. Dari harga yang ditetapkan PKS biasanya berkurang Rp 100 sampai Rp 200 bahkan 300 kalau jaraknya jauh dari PKS,” ujar Janes.

Penulis / Koordinator

Jeany Hartriani, Fitria Nurhayati, Viva Budy Kusnandar

Editor

Sapto Pradityo

Konten Kreatif

Muhamad Yana, Cicilia Sri Bintang Lestari, Aris Luhur Setiawans

Produser

Desi Dwi Jayanti

Editor Foto

Arief K. Rachmad Laksono

Illustrator

Joshua Parningotan Siringo Ringo

Desain Web

Firman Firdaus, Heri Nurwanto

Programmer

Bayu Mahdani, Maulana