Indonesia terus menyiapkan diri untuk menjadi negara maju pada 2045. Namun, upaya untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah. Banyak tantangan yang menghadang dalam proses pembangunan di Tanah Air.

Seperti yang terjadi pada 2020. Ini merupakan periode berat bagi berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Hantaman pandemi COVID-19 merontokkan berbagai sendi perekonomian. Pada kuartal I 2020 pertumbuhan ekonomi nasional tercatat sebesar 2,97 persen. Kemudian merosot menjadi minus 5,32 persen pada kuartal berikutnya.

Indonesia pun resmi mengalami resesi dengan pertumbuhan ekonomi kuartal minus 3,49 persen pada kuartal III. Adapun pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan pada 2020 diperkirakan minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen.

Dampak melambatnya perekonomian tergambar dari banyaknya pemutusan hubungan kerja. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan, sebanyak 2,8 juta pekerja terkena dampak langsung COVID-19. Banyaknya jumlah orang yang menganggur tentu perlu diwaspadai sebab dapat mengganggu produktivitas negara.

Padahal menurut jurnal yang bertajuk “The Political Economy of the Middle-Income Trap: The Challenges of Advancing Innovation Capabilities in Latin America, Asia and Beyond”, kunci utama menuju negara maju adalah produktivitas yang tinggi. Produktivitas juga memiliki peran vital untuk menghindari perangkap pendapatan menengah (middle income trap).

Pemerintah mengupayakan berbagai cara untuk meredam dampak yang ditimbulkan. Program pemulihan ekonomi nasional (PEN) dengan anggaran Rp 695,2 triliun pun digulirkan. Dana itu digunakan untuk sektor kesehatan, perlindungan sosial, sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah, korporasi, insentif usaha, serta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Ilustrasi kegiatan UMKM pembuatan alat pelindung diri (APD) di tengah pandemi COVID-19. Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

Dalam jangka pendek reaksi cepat guna meminimalisir guncangan perekonomian memang diperlukan. Namun, pandemi ini juga dapat menjadi momentum evaluasi untuk pemulihan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Salah satunya peran riset dalam manajemen krisis seperti yang diungkapkan Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Ali Ghufron Mukti saat wawancara virtual dengan Tim Riset dan Publikasi Katadata.

“Kita upayakan harus bisa mandiri dalam menghasilkan riset dan inovasi, karena tidak ada bangsa yang bisa merdeka dan berdaulat tanpa itu,” katanya.

Bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen krisis ialah sense of crisis and emergency. Sebelum membentuk Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19, Ali menyadari jejaring dan kolaborasi antaraktor yang kuat merupakan jalan pembuka. Kemauan untuk menghilangkan sekat-sekat kelembagaan pun jadi kuncinya.

Kolaborasi tersebut tercermin dari kegiatan riset dasar dan pengembangan yang dilakukan perguruan tinggi, lembaga riset pemerintah, dan swasta. Selain kolaborasi, sinergi antara riset sosial humaniora (soshum) dengan sains dan teknologi (saintek) pada proses penelitian juga penting.

Ali mencontohkan, salah satunya adalah pengembangan UMKM agar mampu bertahan di tengah pandemi. Kegiatan ini melibatkan peneliti ilmu ekonomi, komunikasi, sosial, dan humaniora yang berkolaborasi dengan peneliti ilmu bidang ICT (information and communication technology) untuk menemukan strategi agar UMKM dapat bertahan dengan memanfaatkan teknologi. Ia berharap kolaborasi seperti ini dapat menjadi contoh dan bisa segera dilembagakan.

Selain itu, Ali mengatakan, hal yang perlu ditingkatkan adalah kemudahan akses untuk mendapatkan produk penelitian. Salah satu upayanya adalah melalui badan layanan umum pelayanan teknologi (BLU Yantek) yang berada di bawah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

Lebih lanjut, Ali mengungkapkan, para aktor, khususnya pembuat kebijakan, juga harus mampu menyesuaikan pola pikirnya terhadap dinamika yang terjadi. Utamanya terkait kehadiran isu yang tak terduga (emerging issue). Dengan begitu cara mereka bekerja menjadi lebih tanggap dan tidak berbelit-belit. Selain itu, jejaring yang kuat dan interaksi positif tanpa ego sektoral mampu menyelesaikan masalah dengan cepat.

Ali menambahkan, pemerintah harus bersama-sama memetakan regulasi mana yang perlu disesuaikan atau justru menghambat. Selanjutnya, para pemangku kebijakan harus duduk bersama untuk memperkuat komunikasi, koordinasi, dan sinkronisasi data. “Sebuah negara juga institusinya harus memiliki suatu antisipasi terhadap sebuah kemungkinan apapun yang terjadi dan mampu mendeteksinya,” tuturnya.

Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 yang dibentuk oleh Kementerian Riset dan Teknologi / Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) berupaya memitigasi pandemi COVID-19 dengan riset dan inovasi. Ini sekaligus sebagai jalan bagi Indonesia untuk dapat menghasilkan solusi yang berkelanjutan.

Dampak Emerging Issue bagi Pembangunan

Ilustrasi wujud pembangunan di Ibukota. Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

Menurut lembaga riset independen dalam riset inovatif, RTI International, ada berbagai hal yang bisa digolongkan sebagai emerging issue. Di antaranya Virus Zika, keamanan kesehatan global, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), hingga tata kelola terintegrasi (integrated governance) dalam sebuah sistem yang melibatkan pemerintah dan swasta. Persoalan yang terjadi secara tiba-tiba bisa datang kapan saja dan dari berbagai macam bentuk.

Adapun berdasarkan Global Sustainable Report tahun 2016 yang dipublikasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penilaian dan pemetaan emerging issue bisa dilakukan dengan langkah awal horizontal scanning. Proses pemeriksaan ini dilakukan secara sistematis mencakup ancaman, peluang, dan kemungkinan perkembangannya di masa depan.

Masih menurut laporan tersebut, frasa emerging dapat didasarkan pada “kebaruan”. Namun, kebaruan disini bukan sekadar masalah yang belum pernah terdengar atau yang muncul sebagai kejutan. Kebaruan bisa merupakan hasil dari ilmu pengetahuan baru, perkembangan teknologi, semakin meningkatnya tingkat kesadaran akan suatu isu, skala baru dari dampak, dan cara baru merespon isu tersebut. Munculnya pemahaman baru akan penyebab dan konsekuensi yang ditimbulkan membuat emerging issue menjadi persoalan pelik dan mampu menghambat pembangunan suatu negara.

Ketika dikaitkan dengan kebijakan, emerging issue dapat diukur dari beberapa poin kunci. Salah satunya ialah dampak besar yang ditimbulkan bagi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Hadirnya permasalahan baru perlu disikapi pemangku kebijakan dengan mengandalkan pemahaman ilmiah sebagai solusi serta memiliki pengaruh besar bagi sosial budaya, khususnya kelompok rentan dan marjinal.

Aktivitas masyarakat di Kampung Akuarium, Jakarta Utara. Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia Roby Muhamad berpendapat bahwa beberapa emerging issue, seperti COVID-19, sebenarnya sudah dapat diprediksi sebelumnya. “Ancaman pandemi ini sudah banyak disuarakan, terutama di kalangan ilmuwan,” katanya.

Namun banyak aktor kunci, khususnya lembaga ilmiah global, yang tidak mengantisipasinya dengan baik. Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) ini menerangkan, lembaga ilmiah semestinya memiliki peran besar untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi fenomena yang berdampak besar (high impact). Dengan begitu aktor lain mampu bersiap jika negara harus tertimpa persoalan semacam ini.

Menurut Roby, kasus pandemi di Indonesia dapat menjadi momentum untuk mengejar ketertinggalan atas ketidaksiapan menghadapi fenomena yang berdampak besar. Pasalnya pandemi atau emerging issue lainnya dapat mempengaruhi upaya Indonesia menuju negara maju yang tertuang pada Visi Indonesia 2045. Persoalan tersebut bisa diatasi melalui pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

“Menurut saya bukan hanya sains kedokteran tapi (diintegrasikan dengan) ilmu sosial,” tuturnya.

Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) Pungky Sumadi mengakui bahwa pandemi membuat perjalanan menuju Visi Indonesia 2045 menjadi tidak lancar. Dampaknya terasa pada sektor ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Titik beratnya pada persoalan kecepatan persebaran penduduk yang tidak diikuti kecepatan persebaran tenaga dan fasilitas kesehatan.

Petugas Palang Merah Indonesia (PMI) menyemprotkan cairan disinfektan kepada kru pengangkut setibanya pesawat Hercules A-130 pembawa alat kesehatan dari Shanghai, China tiba di Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur, Senin (23/3/2020). Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

“Makanya dalam rencana kerja pemerintah tahun depan, pemerintah mengusulkan reformasi sistem kesehatan nasional,” katanya.

Dalam Visi Indonesia 2045 terdapat perbaikan sistem kesehatan nasional. Ke depannya, rumah sakit harus tersebar merata di seluruh Indonesia dengan biaya yang terjangkau. Kapasitas tenaga kerja mulai dari bidan hingga dokter spesialis akan diperkuat. Asuransi kesehatan pun dibuat lebih terjangkau agar masyarakat dapat mengakses pelayanan kesehatan dengan mudah.

Pungky mengatakan, pemerintah juga mengevaluasi perencanaan kebijakan sistem bantuan sosial mengingat banyaknya bantuan yang telah disalurkan. Tujuannya agar jaring sosial yang digulirkan bisa tepat sasaran. Hal tersebut akan dibarengi dengan perbaikan data kemiskinan agar data di daerah dan pusat selalu sinkron. “Perlu memperbaikinya dalam dua kali dalam setahun,” ujarnya.

Selain itu, penguasaan teknologi untuk pencegahan dan pengendalian penyakit secara responsif akan ditingkatkan. Hal ini untuk mengantisipasi perkembangan penyakit lain yang butuh penanganan cepat selain COVID-19.

Menakar Peran Riset dalam Mengatasi Emerging Issues

Petugas medis menujukan sampel tes Swab COVID-19 di KRL Commuter Line di Stasiun Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, Senin (11/5). Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

Menurut Penasihat Senior CIPG Yanuar Nugroho, negara belum memprioritaskan riset. Itu mengapa penelitian dasar maupun terapan di perguruan tinggi atau lembaga riset minim dukungan. Alhasil, ketika dibutuhkan, riset dan inovasi kewalahan untuk menyelesaikan persoalan yang ada.

Seperti kehadiran emerging issue pandemi COVID-19. Minimnya peran ilmu pengetahuan dalam pembangunan dan proses pembuatan kebijakan membuat keputusan yang diambil menjadi tidak optimal. Menurutnya, jika pengetahuan sudah mengakar di masyarakat dan pemerintah maka keputusan yang dibuat jauh lebih baik dari saat ini.

“Sebetulnya kita tidak butuh me-restart ekonomi kita, tapi butuh me-restart cara berpikir negara ini,” ujarnya.

Secara spesifik dalam konteks penguatan ilmu pengetahuan, Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia Roby Muhamad menilik pentingnya mengembangkan ilmu dasar. Tak hanya riset dasar di bidang ilmu alam seperti fisika, matematika, dan biologi tapi juga sosial humaniora seperti psikologi, sosiologi, dan ekonomi.

Menurutnya, hal tersebut berguna untuk penanganan berbagai isu yang datang dengan cepat dan membutuhkan solusi cepat. Namun, riset dasar masih belum menjadi prioritas pada kelompok makro riset (KMR) yang tertuang di Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2017 - 2045.

Alokasi anggaran riset dasar masih minim. Porsi riset dasar juga hanya berada pada Riset Rintisan Terdepan. Ini didefinisikan sebagai kajian riset yang belum bisa langsung diaplikasikan, serta ditujukan untuk menjawab keingintahuan ilmiah. Sedangkan riset terapan berada pada kategori lainnya seperti riset terapan dan riset maju yang keduanya mencakup kajian riset rekayasa pendukung proses manufaktur.

Anggaran kelompok makro riset 2019

“Karena harus ada orang-orang yang siap untuk kembali ke whiteboard untuk merancang segala sesuatu dari nol. Kalau masalahnya baru muncul di dunia, belum pernah ada seorangpun yang menghadapi masalah tersebut, mau tidak mau kita cari solusi nya dari nol, nah itu kemampuan riset dasar,” katanya.

Selain meningkatkan kapasitas riset dasar, pembuat kebijakan merupakan salah satu aktor kunci untuk mengantisipasi emerging issue. Agar penanganan efektif, penting bagi pemangku kebijakan untuk menghasilkan regulasi yang berbasis bukti dan riset.

Pada esai ISEAS – Yusof Ishak Institute yang bertajuk “Urgent Need to Strengthen State Capacity: Learning from Indonesia’s COVID-19 Crisis”, Yanuar Nugroho dan Siwage Dharma Negara menjelaskan langkah-langkah yang perlu dilakukan negara untuk menangani emerging issue, khususnya isu COVID-19.

Data yang akurat dan dapat diandalkan menjadi solusi utama segala permasalahan bagi negara modern. Sayangnya, Indonesia minim informasi dan kesiapan yang terlihat dari buruknya tata kelola data. Ini yang mengakibatkan penanganan COVID-19 menjadi lambat, terfragmentasi, dan bersifat sementara (ad-hoc). Masalah lainnya, infrastruktur kesehatan publik masih terbatas.

Menurut esai tersebut, ada enam aspek kapasitas negara yang harus dipertimbangkan dalam penanganan pandemi. Pertama, memperkuat sistem kesehatan publik. Kedua, meningkatkan mekanisme penetapan sasaran yang kredibel dengan dukungan data penerima manfaat yang akurat dari program jaring pengaman sosial (social safety net). Ketiga, membenahi Aparatur Sipil Negara (ASN) karena birokrasi yang tidak efisien memperlambat respon suatu krisis.

Keempat, meningkatkan kapasitas instansi pemerintah agar lebih gesit dan akuntabel. Kelima, membentuk regulatory sandbox berupa strategi pembuatan kebijakan dengan menguji inovasi kebijakan pada skala yang lebih kecil. Keenam, memperkuat tata kelola data dan kerangka e-government.

Penanganan Pandemi Sebagai Hal Baru

Petugas medis sedang beristirahat setelah melakukan tes Swab COVID-19 di KRL Commuter Line di Stasiun Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, Senin (11/5). Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

Associate Professor Institute for Population and Social Research (IPSR) Mahidol University Rosalia Sciortino berpendapat, belum ada negara yang sepenuhnya mengimplementasikan riset dan inovasi dalam penanganan pandemi. Seluruh aktor masih belajar memahami sang virus.

Rosalia melihat, ada dua faktor yang mempengaruhi penanganan di masing-masing negara. Pertama, ilmu pengetahuan yang tidak atau minim diikutsertakan. “Banyak bidang belum establish karena banyak situasi yang tidak menentu,” ujarnya dalam wawancara virtual dengan Katadata.

Kedua, adanya kepentingan politik dari kelompok tertentu atau pemangku kebijakan. Ini membuat penanganan pandemi tidak murni didasari ilmu pengetahuan. Padahal, peran ilmu pengetahuan sangat penting. Dia mencontohkan Jerman sebagai negara yang dapat menempatkan riset dan inovasi pada pembuatan kebijakan penanganan pandemi secara komprehensif.

Jerman saat ini memiliki komite khusus penanganan COVID-19 yang bernama Außerparlamentarischer Corona Untersuchungsausschuss atau Komite Ekstra-Parlemen Investigasi Corona. Komite tersebut diisi beragam ahli. Tak hanya dari sisi riset kesehatan, tapi juga sosial humaniora bahkan bidang kemanusiaan. Sudut pandang yang komprehensif dalam melihat pandemi bisa menghasilkan kebijakan yang tepat sasaran.

Selain itu, Rosalia mengatakan, ketepatan penempatan aktor dalam penanganan emerging issue akan meminimalisir risiko penanganan yang buruk dan dampak yang lebih panjang . “Yang menarik, ilmu tidak dianggap secara sempit bahwa hanya science, eksakta, virologi, atau medis. Karena jika mereka sendiri, tidak akan bisa menyelesaikan masalah,” ucapnya.

Ekosistem Riset dan Inovasi yang Berkelanjutan

Peneliti melakukan pengembangan Biodiesel B40 di Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Rabu (26/8/2020). Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

Membudayakan riset dan inovasi di setiap sendi kehidupan menjadi kunci untuk mengatasi persoalan. Hal tersebut perlu didorong dengan menciptakan ekosistem riset dan inovasi yang berkelanjutan serta terintegrasi. Terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan untuk mewujudkannya.

Dikotomi ilmu sosial humaniora (soshum) dengan sains teknologi (saintek) seringkali menjadi masalah yang menghambat munculnya solusi berkelanjutan. Kandidat PhD University of Amsterdam Fajri Siregar dalam artikel opini yang berjudul “Pandemi yang Memicu Inovasi Inklusif”, mengatakan, perlu adanya pergeseran ke arah inovasi inklusif. Dengan begitu tercipta pendekatan lintas disiplin yang dapat mengatasi tantangan aktual di masyarakat.

Menurutnya, perlu ada penggabungan riset soshum dan saintek ke dalam seluruh rencana riset dan pembangunan. Sebab, pada dasarnya sosial humaniora bukan hanya pelengkap riset sains. Integrasi perspektif kedua bidang tersebut dapat terwujud melalui kedeputian khusus yang mewadahi riset-riset dalam disiplin sosial humaniora.

“Seandainya sudah ada, tugasnya adalah memastikan bahwa riset sosial bukan hanya tercantum dalam anggaran,” katanya.

Ilustrasi sasaran riset soshum yang menyasar seluruh lapisan masyarakat. Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

Tidak hanya itu, Fajri melihat bahwa masukkan dari para peneliti perlu menjadi pertimbangan dalam proses dan hasil riset, juga kebijakan. “Tata kelola ini yang perlu dibangun,” imbuhnya. Jika ini terwujud, kata inovasi yang sering didengungkan bukan hanya menyangkut hilirisasi dan komersialisasi produk, namun juga model atau konsep yang datang dari ilmu soshum.

Hal yang sama disorot oleh Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Manneke Budiman. Ia melihat bahwa saintek dan soshum masih berjalan sendiri-sendiri padahal keduanya saling melengkapi. Oleh karenanya, perlu ada keseriusan negara untuk memasukkan riset soshum ke dalam perumusan kebijakan.

“Saintek berpikir bahwa mereka menciptakan produk atau desain tapi di situ mereka berhenti. Lalu kita (riset soshum) mulai bergerak karena kemudian kita lah yang menguji kebermanfaatan produk ini kepada manusia,” katanya.

Riset soshum sendiri memiliki dua peran penting dalam penanganan emerging issue, yaitu memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah dan model yang mempengaruhi perilaku masyarakat. Persoalan baru dan terus berubah membuat pemerintah harus fleksibel dalam menyesuaikan. Di sini peran riset sangat besar agar pemerintah dapat mengalihkan arah kebijakan dengan tepat berbasis pengetahuan.

Begitu pun dengan perilaku masyarakat. Hasil penelitian dapat menjadi acuan ketika isu yang tidak terduga terjadi. Misalnya bagaimana perilaku yang perlu dipertahankan dan diubah ketika menghadapi emerging issue. Ketika masyarakat dapat mengikutinya, persoalan akan terselesaikan dengan baik. Riset soshum bahkan mampu menyentuh kelompok rentan dan marjinal.

Anggaran Prioritas Riset Nasional 2020 - 2024

Manajemen Pengetahuan

Inovasi inklusif perlu ditopang oleh manajemen pengetahuan untuk untuk membuat pengetahuan berkelanjutan. Manajemen pengetahuan dapat diartikan sebagai proses mengelola pengetahuan secara kritis untuk memetakan dan memanfaatkan pengetahuan sebagai aset, serta mengembangkan peluang baru.

Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Laksono Trisnantoro berpendapat, COVID-19 menyadarkan pentingnya manajemen pengetahuan, khususnya pada sistem kesehatan nasional.

Dia mengatakan, virus Corona merupakan hal yang baru, bahkan bagi dunia medis sehingga masih minim pengetahuan dan pengalaman. Namun, ketika suatu negara memiliki manajemen pengetahuan maka penanganan akan lebih mudah. Dengan membudayakan manajemen pengetahuan, kita dapat bersiap menghadapi persoalan besar dan tak terduga.

Belajar dari keterbatasan pengetahuan terkait penanganan COVID-19, negara sebagai aktor kunci harus mampu menghadirkan satu wadah penyimpanan ilmu pengetahuan sebagai sarana sharing knowledge. Dengan adanya repository pada manajemen pengetahuan, riset dan inovasi yang sudah ada sebelumnya dapat disimpan dan diakses oleh siapapun yang membutuhkan.

Khususnya pada sistem kesehatan nasional, riset-riset terdahulu dapat membantu para tenaga medis untuk menemukan penanganan yang tepat sebagai hasil pembelajaran. “Tidak semua orang bisa membedakan pengetahuan yang baik atau yang benar dengan yang salah,” kata Laksono.

Petugas medis menujukan sampel tes Swab COVID-19 di KRL Commuter Line di Stasiun Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, Senin (11/5). Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

Selain itu, ia menuturkan, manajemen pengetahuan dapat menjadi solusi pemerataan pengetahuan. Pusat penyimpanan data yang dapat diakses secara gratis akan mendistribusikan penemuan-penemuan baru hingga ke pelosok negeri. Sehingga, penanganan pandemi dapat terkomando dengan baik dan merata. “Kalau kita tidak mau menangani kompleksitas ini ya kita akan tidak ke mana-mana,” tuturnya.

Adapun menurut Yanuar Nugroho dalam tulisannya bertajuk “Membangun Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi untuk Kebijakan Publik di Indonesia”, terdapat lima elemen penting pendukung ekosistem pengetahuan dan inovasi. Lima elemen tersebut adalah kerangka regulasi, mekanisme insentif atau pendanaan, tata kelembagaan, akuntabilitas, dan pembangunan sumber daya manusia (SDM).

Apabila kelima elemen tersebut saling terintegrasi maka akan terwujud penelitian yang memiliki nilai tambah, dapat dikomersialisasikan, dan memiliki kebermanfaatan sosial. Lalu, ada perbaikan proses bisnis dari hasil penelitian yang berkelanjutan dari segi tata kelola dan pendanaan. Selain itu memungkinkan open innovation serta menghasilkan kebijakan publik yang komprehensif dan berbasis bukti.

Dalam ekosistem riset dan inovasi, kolaborasi menjadi jalan utama. Menurut paparan LIPI yang berjudul “Peran Penelitian Bidang Sosial Humaniora melalui Riset Kebijakan: Membangun Sinergi dan Kolaborasi dalam Prioritas Riset Nasional 2020 – 2024”, kolaborasi antar lima aktor (penta helix) menjadi bentuk ideal terciptanya integrasi. Aktor utama tersebut ialah pemerintah, dunia akademik, lembaga think tank dan organisasi masyarakat sipil (CSO), dunia usaha, dan masyarakat.

CSO secara spesifik mempunyai peran penting untuk memastikan penelitian tersampaikan dengan baik kepada masyarakat. CSO berperan besar untuk mendampingi dan membantu memperbaiki tata kelola atau persoalan yang perlu diubah oleh masyarakat di lapangan. Ini sering kali berlaku bagi riset soshum yang menyasar masyarakat sebagai objek penelitiannya. Sehingga kapasitas, resiliensi, dan akses CSO terhadap sumber daya iptek perlu menjadi perhatian dalam pengembangan ekosistem sektor pengetahuan.

Empat Komponen

Menurut Kepala Bagian Pemantauan dan Evaluasi Program dan Anggaran Kementerian Riset dan Teknologi /Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yudho Baskoro, ketika berbicara mengenai ekosistem riset dan inovasi, tentu perlu membahas empat komponen di dalamnya. Pertama, knowledge producer sebagai penghasil riset dan inovasi, contohnya ialah organisasi pelaksana penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap).

Kedua, intermediaries sebagai aktor yang menjembatani hasil riset untuk dapat dikomersialisasikan atau diterapkan, contohnya ialah media dan organisasi masyarakat sipil. Ketiga, enablers sebagai aktor penguat sistem dan jejaring yang akan membuat ekosistem berkelanjutan, contohnya adalah pemerintah yang membuat regulasi dan mengalokasikan anggaran. Keempat, users yang menggunakan hasil riset dan inovasi tersebut seperti masyarakat dan dunia usaha.

Empat elemen ini dapat menjadi rancangan strategis untuk terciptanya integrasi keilmuan dan riset berkelanjutan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Gagasan ini juga didukung oleh rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang yang sedang digodok sebagai turunan Undang-Undang (UU) Sisnas Iptek. “Ini akan menjadi pertimbangan dalam merancang Rencana Strategis (Renstra) BRIN ke depan,” tambahnya.

Pada penanganan emerging issue, Yudho menitikberatkan peran intermediaries. Sebab, aktor ini menjadi orang Pertama yang bergerak mendengarkan kebutuhan publik. Setelah itu sang aktor akan menyampaikannya kepada produsen untuk menghasilkan penelitian yang menjawab kebutuhan masyarakat dengan cepat.

Ilustrasi peneliti berdiskusi saat melakukan pameran produk inovasi. Credit: Ajeng Dinar Lutfiana

Ke depannya pemerintah juga akan menguatkan integrasi dari fokus-fokus riset yang ada, termasuk aspek kelembagaan dan kepastian pemanfaatan sampai ke masyarakat. Strateginya adalah meningkatkan teknologi tepat guna (TTG), peran enablers dan intermediaries ke dalam proses litbangjirap, dan menentukan aktor yang bertugas menjaga ekosistem tersebut.

Pada sisi kebijakan, pengetahuan (knowledge-to-policy (K2P)) juga menjadi elemen penting untuk dilekatkan pada proses pembuatannya. Sehingga kebijakan yang muncul akan tepat sasaran.

Menurut Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/ Bappenas Bambang Prijambodo, ada empat tahap untuk mewujudkan K2P. Pertama, negara harus menetapkan tujuan dan komitmen terkait aspek yang ingin dicapai. Kedua, merancang perencanaan yang tepat dan berkelanjutan berlandaskan pengetahuan. Ketiga, menentukan strategi yang akan digunakan. Keempat, konsisten dengan strategi yang sudah dipilih.

Selain itu, ia mengungkapkan, K2P juga erat kaitannya dengan knowledge-based economy. Demi mewujudkan negara yang kebal akan terpaan emerging issue, knowledge-based economy merupakan solusinya. Apalagi Indonesia memiliki kecenderungan besar terhadap fenomena dutch disease di mana suatu negara yang kaya sumber daya alam ekonomi relatif akan terfokus pada jangka pendek.

Oleh karenanya terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk menghadapi emerging issue yaitu kebijakan dan anggaran yang tepat, implementasi yang konkrit, dan kelembagaan yang kuat.

“Setelah committed dan kita tidak berpikir jangka pendek, tujuan akan tercapai,” tuturnya.

Inovasi Daerah

Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) Sri Indah Wibi Nastiti melihat, kesadaran melekatkan riset dan inovasi pada perencanaan dan implementasi kebijakan di tingkat pemerintah daerah (Pemda) masih beragam. Meski banyak kolaborasi berupa bantuan untuk mendorong riset dan inovasi, implementasi riset dan inovasi pada program pemerintahannya masih rendah.

Kebanyakan Pemda masih berfokus pada program kerja dan belum luwes berinovasi. Minimnya anggaran dan keterbatasan gerak pada perencanaan awal menjadi kendala. Ini terjadi karena Pemda belum memasukkan aspek riset dan inovasi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Meski demikian, menurutnya Sri, tidak semua Pemda seperti itu, khususnya dalam konteks inovasi. Banyak juga inovasi yang hadir karena tingginya kesadaran pemimpin daerah.

Untuk menghadirkan kolaborasi yang mendorong inovasi, APEKSI menginisiasi pendokumentasian best practice untuk sesama Pemda. Tujuannya adalah menstimulasi lahirnya inovasi di masing-masing kota. Aspek penilaiannya ialah inovasi harus lahir dari inisiasi pemerintah kota dan berjalan paling tidak 2 tahun. Inovasi tersebut juga memberikan dampak konkret dan berkelanjutan. Adapun agar dapat mentransfer pengetahuan dengan tepat, APEKSI membuat buku petunjuk sehingga inovasi mudah direplikasi.

Terkait COVID-19, pengimplementasian inovasi memiliki manfaat. Sri mengatakan, pemerintah daerah yang tak asing dengan inovasi cenderung dapat menangani pandemi dengan lebih baik. Khususnya bagi daerah yang telah memiliki sistem informasi terkait pemerintahan atau pembangunan smart city. Ketepatan penggunaan data dapat menolong para pemimpin daerah untuk mempertahankan stabilitas daerahnya.

Salah satu inovasi yang muncul dari Pemda di tengah pandemi berasal dari Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Walikota Tarakan Khairul mengatakan, saat ini telah ada 7 inovasi teknologi di bidang kesehatan. Tujuan utamanya adalah efisiensi pelayanan dan mencegah transmisi virus antara pasien dan tenaga kesehatan.

Ilustrasi penanganan COVID-19 dengan kegiatan penyemprotan disinfektan. Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

Beberapa di antaranya ialah Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) yang mengintegrasikan pelayanan pendaftaran, jadwal konsultasi dokter, hingga pelayanan resep dan antrian. Selain itu ada aplikasi telemedicine bagi para pasien puskesmas sehingga mereka dapat berkonsultasi via daring.

Tak hanya di bidang kesehatan, inovasi juga dilakukan di sektor ekonomi dengan pemerataan akses pembayaran nontunai dan membuat marketplace untuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kota Tarakan juga berkolaborasi dengan perguruan tinggi pada pengembangan Science Techno Park (STP). Saat ini Universitas Borneo turut andil mengembangkan riset pengembangan produk UMKM.

“Sebuah pelajaran buat saya bahwa ternyata hal yang semestinya kita lakukan dulu sebelum COVID-19 itu baru terakselerasi dan tersalurkan saat ini,” ujarnya.

Selain Kota Tarakan, Kota Tangerang juga menemukan inovasi di tengah pandemi. Pendekatannya ialah inovasi kemasyarakatan. Dalam menghadapi COVID-19 sebagai emerging issue, Walikota Tangerang Arief Rachadiono Wismansyah percaya bahwa kuncinya ialah penggunaan data yang tepat dan keterlibatan masyarakat.

“Kita bikin checkpoint memastikan masyarakat melakukan protokol kesehatan di 13 kecamatan, 104 kelurahan, 1.006 RW, dan 5.000 RT,” ujarnya.

Inovasinya pada taraf RT dan RW ialah Kampung Siaga Corona (Kampung Si Gacor) dan penyimpanan lumbung warga. Kampung Siaga Corona mampu mengukur seberapa besar penyebaran virus di suatu tempat. Pemerintah kota bisa memantaunya melalui aplikasi yang mencatat segala kebutuhan pangan hingga jumlah warga yang positif COVID-19.

Demi mengontrol penyebaran virus di kawasan bisnis, tempat perbelanjaan hingga restoran, pemerintah kota Tangerang juga membentuk aplikasi bernama Aplikasi Aman Bersama. Di dalam aplikasi tersebut, pelanggan atau pengelola bisnis dapat melacak jumlah pengunjung di suatu tempat.

Namun demikian, tantangan ke depan melembagakan riset dan inovasi dalam manajemen krisis dan bencana nonalam perlu didorong agar inovasi yang dilakukan bukan bersifat reaktif tetapi didasarkan pada penguatan basis pengetahuan.

Orkestrasi Ekosistem Riset dan Inovasi

Pengunjung memotret miniatur pesawat hercules saat pameran alutsista di Gedung Kementerian Pertahanan, Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu (22/2/2020). Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

Menurut Penasihat Senior CIPG Yanuar Nugroho, Indonesia sudah memiliki komponen-komponen penting untuk membentuk ekosistem riset dan inovasi, hanya tinggal kemauan besar untuk menyatukannya.

“Mumpung kita punya UU Sisnas Iptek. Ini kesempatan untuk meningkatkan sains, teknologi, dan inovasi (STI),” katanya dalam wawancara virtual dengan Tim Riset dan Publikasi Katadata.

Menurut Yanuar, lembaga yang sudah ada memiliki fungsi masing-masing dan tinggal menjalankannya dengan baik. Terlebih dengan kehadiran BRIN yang mampu menjadi aktor utama dalam mengkoordinasikan seluruh kegiatan riset dan inovasi nasional. Ia optimis BRIN mampu menghasilkan manajemen pengetahuan yang berkelanjutan, berkat kolaborasi berbagai balitbang di dalamnya.

“Balitbang-balitbang (badan penelitian dan pengembangan) itu dikoordinasikan, digarap, dan dijadikan beberapa cluster di dalam BRIN. Yang sifatnya (balitbang) policy, biarkan di kementerian,” ucapnya.

Terkait balitbang di dalam kementerian, Bappenas mampu menjadi koordinator untuk menghasilkan kebijakan yang berbasis bukti. Selain itu, peningkatan kapasitas ditangani oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).

Di sisi lain, pendanaan dan agenda penelitian juga perlu menjadi prioritas. Arah agenda penelitian akan mempengaruhi pendanaan dan alokasinya. Menurut mantan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019, negara harus punya mimpi besar yang dituangkan pada agenda jangka panjang. Itu kemudian diatur dengan strategi yang mengoptimalkan dengan seluruh pendanaan dan sumber daya.

“Riset dalam satu komando, satu agenda, dan satu strategi,” katanya.

Meski demikian, tetap perlu memberi ruang untuk riset di luar agenda prioritas atau dikenal dengan istilah blue sky. Penelitian semacam ini mampu mengatasi kehadiran emerging issue karena sudah sempat diukur sebelumnya oleh negara.

Investasi Pada Riset dan Inovasi

Ilustrasi instruktur mencoba helm dengan teknologi pemindai untuk pilot pesawat sebagai salah satu produk riset di bidang pertahanan. Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

Staf Khusus Menteri Keuangan Titik Anas menilai bahwa investasi pada riset dan inovasi dapat menjadi bagian dari strategi pemulihan ekonomi sekaligus menghadirkan ekonomi berbasis pengetahuan. Strateginya adalah pembangunan yang inklusif dengan pendekatan riset dan inovasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ia mengakui, saat ini riset dan teknologi belum menjadi prioritas utama dibanding sektor lain. Namun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yakin dapat memperbaiki tata kelola riset dan inovasi di Indonesia bersama berbagai aktor lain. Oleh karenanya, menstimulasi kolaborasi menjadi salah satu upayanya.

Kementerian/ lembaga yang mengajukan pendanaan harus memiliki perencanaan. Jika aktor lain sudah mempertimbangkan pemilihan topik riset, menentukan jejaring dengan aktor lain, menemukan strategi menghubungkannya dengan pasar, Kemenkeu akan mendukung dengan pendanaan.

Mendorong kontribusi swasta untuk mendukung riset yang berkelanjutan juga terus dilakukan. Upayanya melalui insentif super tax deduction yang saat ini sedang dalam proses penandatanganan peraturan menteri keuangan (PMK). Selain itu juga terdapat royalti paten bagi pihak swasta. “Peran swasta itu harus diberikan environment-nya, supaya dia bisa melakukan R&D (riset dan pengembangan),” ujarnya.

Adapun dana abadi riset yang diinisiasi tahun 2019 pun meningkat angkanya. Semula investasinya hampir senilai Rp 1 triliun sementara tahun ini mencapai Rp 5 triliun. Anggaran penelitian untuk seluruh kementerian/lembaga (K/L) pun meningkat menjadi Rp 36,01 triliun.

Anggaran Litbang Pemerintah Pusat 2020

Adapun Direktur Pengembangan Teknologi Industri Kemenristek/BRIN Hotmatua Daulay melihat pandemi memicu evaluasi pada proses perencanaan hingga pengembangannya. Namun, ia bersyukur bahwa Indonesia cukup tanggap mengonsolidasikan riset dan inovasi untuk penanganannya.

“Kita termasuk cepat mengonsolidasikan soal COVID-19 ini walaupun kita tertatih soal dana, namun kan pada akhirnya juga dapat,” katanya.

Saat ini Indonesia tengah menyinergikan riset dan inovasi yang tertuang ke dalam beberapa kebijakan. Indonesia memiliki UU Sisnas Iptek dan Perpres RIRN Tahun 2017-2045 juga regulasi dan aturan turunan lainnya. Meski di tengah minimnya pendanaan saat pandemi, dana riset dan inovasi untuk Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 juga terbantukan oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), senilai Rp 27,3 miliar.

Riset blue sky juga menjadi perhatian namun karena keterbatasan dana harus memenuhi beberapa kriteria seperti kepakaran dan kebermanfaatan. Ketika riset blue sky dapat bersaing di pasar maka negara akan mendapat hasilnya. Hasil pendanaan akan diputar kembali untuk mengembangkan riset blue sky.

Pembelajaran konsorsium riset dan inovasi COVID-19 panel sosial

Sejumlah pekerja melintas di penyebrangan kawasan Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat. Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

Riset sosial humaniora (soshum) yang dipimpin Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tergabung dalam Konsorsium Riset dan Inovasi Penanganan COVID-19 Kemenristek/BRIN. Tim riset soshum mengumpulkan berbagai aktor dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Proses konsolidasi dilakukan untuk menghasilkan agenda kolaborasi ke depan. Hingga saat ini sudah ada delapan kaji cepat terkait data dan informasi, mobilitas masyarakat, hubungan pusat dan daerah, karantina wilayah, dampak ekonomi masyarakat, dampak pandemi terhadap rumah tangga, perbandingan penanganan pandemi antar negara, dan klaster agama.

Tak hanya kaji cepat, panel sosial juga telah melakukan penelitian untuk perbaikan sistem kesehatan nasional dengan tata kelola. Tujuan utamanya adalah memasukkan sistem kesehatan nasional ke dalam Prioritas Riset Nasional (PRN). Di dalamnya terdapat kolaborasi yang berawal dari pemanfaatan kajian yang sudah ada di berbagai lembaga terkait untuk membahas lima isu. Antara lain manajemen risiko bencana, pendanaan, SDM sektor kesehatan, regulasi, dan manajemen pengetahuan (knowledge management).

Menurut Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI Tri Nuke Pudjiastuti, jejaring yang melibatkan berbagai aktor berperan penting dalam menghasilkan kaji cepat. “Itu kata kunci Pertama (jejaring) yang tidak bisa tidak,” ujar Nuke sapaan akrabnya dalam wawancara secara daring dengan Tim Riset Katadata, Senin (16/11).

Rincian Proses Lisensi dan Perizinan Berdasarkan Fase
Ilustrasi proses penelitian soshum. Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

Berdasarkan pengalamannya pada penanganan pandemi, Ketua Komisi Nasional Indonesia Management of Social Transformation (MOST) UNESCO ini melakukan kolaborasi dengan aktor-aktor lain sesuai kepakaran. Sebagai contoh, LIPI bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) pada kaji cepat analisis jaringan sosial terkait data dan informasi.

Proses kolaborasi yang berdasarkan kepakaran akan memudahkan penanganan emerging issue karena dapat diselesaikan dalam waktu cepat. Terlepas dari belum banyak lembaga penelitian pemerintah atau nonpemerintah yang memiliki kepakaran kuat pada suatu bidang, Nuke meyakini jika perguruan tinggi di Tanah Air memiliki bibit-bibit kepakaran isu strategis.

“Setiap lembaga harus punya center of excellence (pusat keunggulan), sehingga mereka bisa menentukan positioning (posisi) pada suatu isu,” ucapnya.

Nuke menambahkan, hal lain yang masih perlu diperbaiki ialah kolaborasi dengan daerah. Sebab masih ada balitbangjirap di daerah yang diisi oleh nonpeneliti. Hal ini disebabkan cara kerja yang masih seperti birokrat. Imbasnya membuat balitbangjirap sulit untuk menghasilkan riset berkualitas tinggi dan memiliki kepakaran sehingga sering kali hasil penelitiannya tidak dipakai oleh pemangku kebijakan. Oleh karenanya, perguruan tinggi berperan besar untuk membantu memperkuat kualitas riset dan inovasi di daerah.

Selain kolaborasi dengan lembaga riset, ia menyoroti pentingnya peran LSM untuk memastikan penelitian soshum tersampaikan dengan baik di masyarakat. Begitu juga dengan peran media untuk menyampaikan hasil riset yang mudah dicerna oleh masyarakat. Ia meyakini strategi ini akan sangat efektif, khususnya bagi hasil penelitian yang ditujukan untuk mengubah perilaku masyarakat.

Manfaat Ekosistem Riset dan Inovasi yang Ideal

Sejumlah warga menikmati Musik Christmas Carol di Kawasan Bunderan HI, Jakarta Pusat. Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

Ketika ekosistem riset dan inovasi dapat tertanam baik pada proses pembangunan nasional, implikasinya akan sangat besar dan positif.

  • Tumbuhnya kebijakan berbasis bukti

Ketika negara melekatkan ilmu pengetahuan dalam proses pembuatan kebijakan konsekuensi yang disengaja (intended consequence) ataupun tidak (unintended consequence) mampu diprediksi sejak awal. Dengan penelitian, kebijakan yang lahir juga akan tepat sasaran sehingga proses bisnis pada konteks tata kelola dan anggaran lebih efisien dan efektif.

  • Agenda besar negara tidak terhambat

Ketika negara mampu menghasilkan kebijakan berbasis bukti, negara akan lebih mudah mengejar mimpi besarnya. Khususnya Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap) melalui Visi Indonesia 2045. Untuk mewujudkan Visi Indonesia 2045 sendiri, pemerintah telah merancang dan menetapkan empat fokus yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

  • Lahirnya scientific temper pada kehidupan sehari-hari

Budaya perangai ilmiah (scientific temper) dari hasil pengamalan riset dan inovasi di kehidupan sehari-hari di berbagai lini akan membentuk pola pikir ilmiah dan sistemik. Dengan munculnya budaya ini kelak akan membangun cara berpikir lebih logis dan rasional. Bahkan dapat menghindari kekeliruan dan inkonsistensi kebijakan yang tak berdasarkan pengetahuan.

***

Tim Produksi

Penulis

Hanna Farah Vania

Editor

Anshar Dwi Wibowo

Teknologi Informasi

Firman Firdaus, Christine Sani, Maulana

Desain Grafis

Muhamad Yana, Nunik Septiyanti

Foto

Adi Maulana Ibrahim