Di Balik Putusan Tak Bulat Vonis Karen Soal Kerugian Negara

Dimas Jarot Bayu
13 Juni 2019, 13:11
perdebatan kasus korupsi Karen
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Terdakwa kasus dugaan korupsi investasi perusahaan di blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia tahun 2009, Karen Agustiawan melambaikan tangan kearah wartawan usai menjalani sidang dengan agenda pembacaan putusan (vonis) oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (10/6/2019).

Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) telah divonis bersalah dalam kasus dugaan korupsi investasi Blok Basker Manta Gummy (BMG), Australia. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Karen dengan hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider empat bulan.

Vonis tersebut dijatuhkan akibat kebijakan Karen ketika itu berivestasi di Blok BMG Australia melalui Interest Participating (IP). Karena tak didasari kajian kelayakan, analisis risiko, serta rekomendasi dari Dewan Komisaris, produksi minyak mentah yang diperoleh Pertamina dari blok tersebut jauh di bawah perkiraan.

Permasalahan memburuk ketika PT Roc Oil Company Ltd Australia sebagai operator menghentikan produksi minyak di Blok BMG karena dinilai tidak ekonomis. Alhasil, Karen dituding mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 568,06 miliar.

(Baca: Eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan Divonis 8 Tahun Penjara)

Dalam putusan vonis untuk Karen, hakim Anwar menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim Anwar menilai Karen tidak bersalah dan tak terbukti melakukan korupsi dalam kasus tersebut. Karen dianggap tidak melakukan penyalahgunaan wewenang karena memutuskan investasi di Blok BMG bersama jajaran direksi lainnya dan meminta pendapat dewan komisaris.

Terkait dengan adanya audit keuangan yang menyatakan adanya kerugian sebesar Rp 568,06 miliar dari investasi di Blok BMG, Anwar menilai hal tersebut tidak serta-merta bisa menjadi kerugian negara. Sebab, kerugian itu terjadi dalam kepentingan bisnis, bukan kepentingan pribadi.

(Baca: Satu Hakim Beda Pendapat, Sebut Eks Dirut Pertamina Tak Korupsi)

Selain itu, Anwar menilai perlu pembuktian adanya persekongkolan antara Karen dengan PT Roc Oil Company Ltd Australia atau pihak yang menjual Blok BMG kepada Pertamina. Hanya saja, dalam perkara ini tidak ada satu pun pihak Roc Ltd yang diperiksa. "Dengan demikian tidak bisa dikatakan kerugian negara, karena dalam rangka menjalankan bisnis. Namanya bisnis mesti ada risiko. Maka ketika ada kerugian, tidak serta merta menjadi kerugian negara," kata dia.

Debat Pembuktian Kasus Korupsi

Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (Leip) Arsil menilai perbedaan pendapat hakim dapat dibuktikan lebih lanjut dalam pengadilan tingkat banding dan kasasi.

Arsil menilai, perbedaan pendapat ini menunjukkan pembuktian untuk melihat terjadinya korupsi atau tidak dalam kasus Karen belum terlalu terang. “Apakah ini diskresi ataukah bisnis judgment role atau tidak. Jika orang itu melakukan kesalahan dan mendapatkan keuntungan, itu namanya korupsi,” kata arsil dihubungi Katadata.co.id.

(Baca: Vonis 8 Tahun Penjara, Eks Dirut Pertamina: Allahu Akbar, Saya Banding)

Arsil menilai terdapat permasalahan yang serius dalam penafsiran dan penerapan pasal 2 dan 3  UU Tipikor. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya  diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara  minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah  dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Lebih lanjut, Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan  diri sendiri atau  orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit  50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.

“Nah ini bermasalah ketika kedua pasal ini diterapkan, titik beratnya pada konteks ada tidaknya kerugikan negara. Seharusnya pada ada tidaknya maksud untuk mendapat keuntungan secara melawan hukum,” kata Arsil.

(Baca juga: Vonis Hakim dalam Kasus Korupsi Dinilai Tak Konsisten)

Arsil menyatakan korupsi dalam pengambilan kebijakan seharusnya membuktikan keuntungan pribadi atau orang lain. Hasil audit BPK atau BPKP yang menunjukkan kerugian negara, dianggap tidak cukup membuktikan adanya korupsi.“Kerugian itu disebabkan karena adanya suatu kesalahan. Kesalahan bisa saja dilakukan disengaja ataupun tidak disengaja,” kata dia.

Kesalahan dalam mengambil keputusan bisnis, kata Arsil, bisa merupakan judgement role. “Itu tidak bisa dipidana. Bila keputusannnya menyebabkan kerugian, pertanggungjawabannya di ranah perdata,” kata Arsil.

Arsil menerangkan yang perlu dikejar dalam pembuktian korupsi adalah keuntungan yang diperoleh seseorang atau pihak lain. “Jika tujuannya menguntungkan perusahaan lain atau korporasi lain ataupun untuk keuntungan pribadi itu baru yang dipermasalahkan.  Artinya ada penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi ataupun keuntungan korporasi lain. Itu baru disebut korupsi,” kata Arsil.

(Baca: Pledoi Karen, Keputusan Pertamina Akuisisi BMG Tak untuk Perkaya Diri)

Senada dengan Arsil disampaikan Guru Besar ‎Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Erman Rajagukguk. Erman menilai kasus korupsi harus disertakan bukti keuntungan yang diperoleh koruptor dari kebijakan yang diambilnya.

Dia menilai, kerugian yang diderita perusahaan negara bisa saja akibat kesalahan pengambilan kebijakan. Lagipula dalam bisnis, Erman menilai berbagai kebijakan yang dibuat tidaklah selalu bisa menguntungkan perusahaan. "Misalnya ketika memutuskan produksi minyak kan belum tentu berhasil. Bisa ada, bisa enggak. Jadi kalau digali enggak ada (minyak), ya bukan salah dia," kata Erman ketika dihubungi Katadata, Rabu (12/6).

Erman menilai berbagai kasus korupsi yang terkait aksi korporasi dikhawatirkan membuat para pemangku kebijakan, khususnya di BUMN takut berinovasi. Sebab, Erman menyebut mereka bakal khawatir jika kebijakan yang dibuat berujung pada kasus korupsi.

Halaman:
Reporter: Dimas Jarot Bayu, Fahmi Ramadhan
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...