KPK Tetapkan Sjamsul Nursalim dan Istri Sebagai Tersangka Kasus BLBI

Dimas Jarot Bayu
10 Juni 2019, 18:07
Sjamsul Nursalim jadi tersangka BLBI
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengumumkan penetapan tersangka Sjamsul Nursalim dan istri.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sjamsul dan Itjih diduga sebagai pihak yang diperkaya senilai Rp 4,58 triliun dalam kasus korupsi BLBI.

"SJN (Sjamsul Nursalim) dan ITN (Itjih Nursalim) disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di kantornya, Jakarta, Senin (10/6).

(Baca: Dibantu Aparat Singapura, KPK Panggil Lagi Sjamsul Nursalim dan Istri)

Saut mengatakan, penetapan Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka merupakan pengembangan penyidikan perkara eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Sebelumnya, Syafruddin telah divonis hukuman penjara selama 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsidair tiga bulan kurungan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusan banding.

Saut mengatakan, dalam pertimbangan putusan sejak tingkat pertama hingga banding, majelis hakim telah menyatakan kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut sebesar Rp 4,58 triliun. Angka tersebut merupakan selisih antara kewajiban yang belum diselesaikan sebesar Rp 4,8 triliun dengan hasil penjualan piutang oleh PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PT PPA) tahun 2007 senilai Rp 220 miliar.

"Sedangkan terkait dengan pihak yang diperkaya, pada pertimbangan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Nomor 39/Pid.Sus/Tpk/2018/PN.Jkt.Pst disebutkan secara tegas bawa tindakan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul sebesar Rp 4,58 triliun," kata Saut.

(Baca: Eks Kepala BPPN: Satu Detik Pun Dihukum, Saya Akan Banding)

Atas dasar itu, KPK lalu melakukan rangkaian kegiatan penyelidikan sejak Agustus 2018, termasuk meminta keterangan sejumlah pihak. KPK juga telah mengirimkan surat panggilan pemeriksaan secara patut kepada Sjamsul dan Itjih ke alamat yang tercatat secara formil maupun lainnya di Indonesia dan Singapura.

Ada pun, waktu yang diberikan KPK untuk Sjamsul dan Itjih memberikan keterangan tersebut, antara lain 8-9 dan 22 Oktober serta 28 Desember 2018. "Namun hal tersebut tidak dimanfaatkan oleh yang bersangkutan," kata Saut.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarief menambahkan, KPK akan memaksimalkan upaya asset recovery agar uang yang diduga dikorupsi Sjamsul dapat kembali kepada masyarakat. Sebagai pemenuhan hak tersangka, KPK telah mengirimkan informasi pemberitahuan dimulainya penyidikan terhadap Sjamsul dan Itjih ke empat lokasi yang berada di Singapura dan Indonesia.

Ketiga lokasi di Singapura, antara lain The Oxley, Cluny Road, dan Head Office of Giti Tire Pte.Ltd. Sementara informasi pemberitahuan dimulainya penyidikan dikirimkan ke satu lokasi di Indonesia, yakni kediamannya di Simprug, Kebayoran Lama, Jakarta.

(Baca: Alasan Jaksa KPK Seret Dorodjatun dalam Kasus Dugaan Korupsi BLBI)

Terkait dengan konstruksi perkara, Laode menjelaskan bahwa kasus yang menjerat Sjamsul dan Itjih bermula ketika mereka melakukan melakukan penandatanganan penyelesaian pengambilalihan pengelolaan BDNI dengan BPPN melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) pada 21 September 1998. Dalam MSAA tersebut, disepakati bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI.

Ada pun, Sjamsul sebagai pemegang saham pengendali BDNI sepenuhnya bertanggung jawab menyelesaikan kewajibannya, baik secara tunai atau berupa penyerahan aset. "Jumlah kewajiban Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP) BDNI adalah sebesar Rp 47,25 triliun," kata Laode.

Kemudian, kewajiban Sjamsul tersebut dikurangi dengan aset sejumlah Rp 18,8 trilun. Aset tersebut termasuk di dalamnya pinjaman kepada petani/petambak sebesar Rp 4,8 triliun.

Menurut Laode, Sjamsul awalnya mempresentasikan aset pinjaman kepada petani/petambak itu seolah sebagai piutang lancar. "Namun setelah dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD), disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi," kata Laode.

Karenanya, BPPN kemudian mengirimkan surat yang menyatakan bahwa ada misrepresentasi dan meminta Sjamsul menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN. "Namun Sjamsul menolak," kata Laode.

(Baca: Syafruddin Temenggung Divonis Penjara 13 Tahun dalam Korupsi BLBI)

Agar rencana penghapusbukuan piutang petambak Dipasena bisa berjalan, pada Oktober 2003 dilakukan rapat antara BPPN dan pihak Sjamsul yang diwakil Itjih dan pihak lain. Pada rapat tersebut, Itjih menyampaikan bahwa Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi.

Kemudian pada Februari 2004, dilakukan rapat kabinet terbatas (Ratas) yang intinya BPPN melaporkan dan meminta para Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri agar sisa utang petani tambak dihapusbukukan. Namun, Syafruddin ketika itu tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsul.

"Ratas tersebut tidak memberikan keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap usulan write off (hapus buku) dari BPPN," kata Laode.

Meski hasil Ratas tidak memberikan persetujuan, Syafruddin dan Itjih pada 12 April 2004 menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir. Hal tersebut berisikan bahwa pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur dalam MSAA.

Syafruddin pun menandatangani surat Nomor SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul pada 26 April 2004. "Hal ini mengakibatkan hak tagih atas utang petambak Dipasena menjadi hilang atau hapus," ucapnya.

Pada 30 April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih utang petambak PT DCD dan PT WM. Oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu, pertanggungjawaban aset itu kemudian diserahkan kepada PT PPA.

Pada 24 Mei 2007, PT PPA hanya melakukan penjualan hak tagih milik utang petambak senilai Rp 220 miliar. "Padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp 4,8 triliun. Sehingga diduga kerugian keuangan negara yang terjadi adalah sebesar Rp 4,58 triliun," kata Laode.

Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...