MK Anulir Pasal Antikritik dan Imunitas dalam UU MD3

Dimas Jarot Bayu
28 Juni 2018, 17:56
Mahkamah Konstitusi
Arief Kamaludin (Katadata)
MK mengabulkan uji materi pasal-pasal kontroversial UU MD3.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).

MK membatalkan pasal-pasal UU MD3 yang kontroversial yang mengatur tentang pemanggilan paksa (Pasal 73 ayat (3), (4), (5), (6)) dan aturan langkah hukum terhadap pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR atau anggotanya (Pasal 122 huruf l).

Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 73 ayat (3), (4), (5), (6), serta Pasal 122 huruf l UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(Baca juga: Atur Imunitas dan Antikritik DPR, UU MD3 Akhirnya Digugat ke MK)

Sementara, Pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang mengatur mengenai hak imunitas, dikabulkan bersyarat.

Ketua MK Anwar Usman mengatakan, frasa "Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” pada Pasal 245 ayat (1) dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana," kata Anwar ketika memimpin sidang di MK, Jakarta, Kamis (28/6).

Sementara, frasa "setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan" dalam Pasal 245 ayat (1) dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(Baca juga: Menyoroti Aturan Imunitas dan Antikritik DPR dalam UU MD3)

Sehingga, MK menafsirkan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 selengkapnya menjadi: "Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden".

Dalam pertimbangannya, MK menilai Pasal 73 ayat (3), (4), (5), (6) yang memberikan kewenangan DPR meminta bantuan Kepolisian untuk memanggil paksa setiap orang dan melakukan penyanderaan memiliki persoalan konstitusionalitas. Alasannya, MK sulit mengidentifikasi secara jelas apakah kewenangan panggilan paksa dan sandera merupakan kewenangan DPR atau Kepolisian.

Jika merupakan kewenangan DPR, maka MK menilai harus jelas dulu apakah pemanggilan paksa dan sandera untuk forum rapat merupakan bagian hukum atau bukan. Sebab, hasil penyelidikan DPR melalui hak angket atas dugaan tindak pidana tak langsung dapat ditindaklanjuti untuk penyidikan oleh penegak hukum.

"Karena tetap harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu," kata Hakim Anggota MK Suhartoyo.

(Baca juga: Antikritik, UU MD3 Didukung Partai Pengusung Jokowi dan Prabowo)

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...