Ombudsman: Pengawasan Lemah, Banyak Pekerja Tiongkok Jadi Buruh Kasar

Dimas Jarot Bayu
26 April 2018, 19:38
Buruh Pabrik
ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Buruh pabrik garmen di Citeureup, Bogor, Jawa Barat, Senin (20/2/2017).

Ombudsman Republik Indonesia menemukan berbagai permasalahan dalam penempatan dan pengawasan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. Dari hasil investigasi Ombudsman ditemukan banyak tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia dengan jabatan rendah atau tanpa keahlian seperti sebagai buruh kasar.

Temuan ini hasil investigasi di sepuluh provinsi, antara lain DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, dan Papua Barat. Investigasi dilakukan pada Juni-Desember 2017. 

Advertisement

"Tenaga kerja asing khususnya dari Tiongkok arusnya deras setiap hari masuk ke negara ini. Sebagian besar mereka unskilled labour dan tidak bisa dikonfirmasi tidak ada pengawasan tentang status visa mereka," kata Komisioner Ombudsman Laode Ida di kantornya, Jakarta, Kamis (26/4).

(Baca juga: Pekerja Asal Tiongkok Terus Bertambah, Paling Banyak di Sektor Jasa)

Laode mengatakan, pihaknya menemukan fakta sebanyak 90% pekerja tenaga kerja asing di lapangan menggunakan topi kuning yang biasa digunakan pekerja di level bawah. Hanya 10% sisanya menggunakan topi merah dan topi hijau untuk jabatan supervisor dan manajemen.

“Di Morowali saja ada sekitar 200 orang sopir yang bawa mobil di perusahaan itu TKA,“ kata Laode. 

Ada pula kasus tenaga kerja asing yang masa berlakunya telah habis atau tidak diperpanjang, namun tetap bekerja di Indonesia.

Data Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gresik per Oktober 2017 yang diolah Ombudsman menunjukkan bahwa kasus tersebut terjadi di enam perusahaan, yakni PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Bahagia Steel, PT Wuhuan Engineering Co. Ltd, PT The Sixth Chemical Engineering Construction, PT China Eleventh Chemical Construction, dan PT Huaxing Chemical Engineering.

Bahkan ada perusahaan pemberi kerja tenaga kerja asing di Gresik yang tidak dapat dipastikan keberadaannya.

Selain itu, Ombudsman menemukan ada 1733 tenaga kerja asing yang belum memiliki Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) namun sudah bekerja.  Temuan ini berdasarkan data Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Tenggara pada 2017, 

Rinciannya, pada 6 Januari 2017 terdapat 765 dari 942 tenaga kerja asing yang belum memiliki IMTA. Pada 9-10 Maret 2017 terdapat 758 dari 856 tenaga kerja asing yang belum memiliki IMTA. Pada 24 Agustus 2017 terdapat 210 dari 742 tenaga kerja asing yang belum memiliki IMTA.

Berbagai temuan ini tak sesuai dengan data Kemenaker yang menyebutkan 85.974 IMTA yang diterbitkan pada 2017 hanya untuk jabatan menengah ke atas.

(Baca juga: Wapres JK: Satu Tenaga Kerja Asing Ciptakan 100 Lapangan Kerja Lokal)

Laode menyebut masalah tersebut karena belum terintegrasinya data antara kementerian/lembaga dengan pemerintah daerah mengenai jumlah persebaran dan alur keluar-masuknya tenaga kerja asing di Indonesia. Berbagai data lintas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah saat ini berbeda-beda dan kerap tak sesuai dengan temuan lapangan yang dilakukan Ombudsman.

Lemahnya regulasi

Masalah lainnya terkait dengan rasio investasi yang tak sebanding dengan jumlah tenaga kerja asing. Berdasarkan data BKPM pada September 2016, Tiongkok hanya menempati peringkat ketiga dalam total investasi di Indonesia dengan nilai US$ 1,6 triliun. Sementara, data Kemenaker tahun 2016 menyebutkan jika jumlah tenaga kerja asal Tiongkok menempati posisi pertama tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia sebesar 21.271.

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement