RUU KUHP Ancam Kriminalisasi Kritikan Masyarakat
Sejumlah rumusan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dianggap dapat melanggar hak kebebasan berekspresi masyarakat di Indonesia. Alasannya, banyak pasal tersebut yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat ketika melakukan kritik atau menyatakan aspirasi dan pendapatnya.
Pengacara LBH Pers Gading Yonggar Ditya memaparkan, terdapat 15 klausul dalam berbagai pasal yang dapat melanggar hak tersebut, seperti penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, kepala negara dan wakil kepala negara sahabat, dan penghinaan terhadap pemerintah (263, 264, 269, 284, 285). Lalu, pencemaran nama baik (540), fitnah (541), penghinaan ringan (543), pengaduan fitnah (545).
Kemudian, pencemaran orang yang sudah meninggal (548, 549), penghinaan terhadap simbol negara (281, 282, 283), penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (407), penyebaran dan pengembangan ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme (219, 220).
(Baca juga: Dikecam, Rancangan KUHP Berpotensi Membungkam Kebebasan Pers)
Lalu, pernyataan perasaan permusuhan atau penghinaan terhadap kelompok tertentu (286-289), penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama (350), tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah (352), dan tindak pidana pembocoran rahasia (551), serta pelanggaran kesusilaan (469, 470, 471, 475).
Menurut Gading, secara umum berbagai pasal tersebut tak memiliki rumusan yang jelas, alhasil menjadi multitafsir. "Sehingga bisa ditafsirkan subjektif oleh penegak hukum," kata Gading di Jakarta, Selasa (13/2).
Khusus untuk klausul penghinaan presiden, Gading menyebut jika munculnya pasal tersebut sangat aneh. Sebab, pasal tersebut sebenarnya sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Dalam putusan MK tersebut, pembatalan dipertimbangkan karena martabat presiden dan wakil presiden berhak dihormati secara protokoler. Namun, keduanya tidak dapat diberikan keistimewaan yang menyebabkannya memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif bebeda di hadapan hukum.
(Baca juga: KPK Soroti Kejanggalan Tak Bisa Usut Korupsi Sektor Swasta di KUHP)