Menyoroti Aturan Imunitas dan Antikritik DPR dalam UU MD3

Dimas Jarot Bayu
Oleh Dimas Jarot Bayu - Yuliawati
14 Februari 2018, 05:00
Rapat Paripurna DPR
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Sejumlah anggota fraksi Nasdem melakukan Walk-Out pada Rapat Paripurna pengambilan keputusan revisi UU MD3 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2).

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) pada Senin (13/2). UU MD3  tersebut memiliki tiga pasal kontroversial yang mengatur mengenai hak imunitas, ancaman pidana atas kritik terhadap dewan serta panggil paksa bagi rekan kerja DPR yang mangkir rapat.

Hak imunitas anggota DPR diatur dalam Pasal 245 ayat 1, yang menyebutkan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Lebih lanjut, dalam pasal 245 ayat 2, disebutkan persetujuan tertulis dari Presiden dan MKD tak akan berlaku untuk kasus operasi tangkap tangan, tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan serta tindak pidana khusus.

Rupanya UU MD3 mengadopsi sebagian keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada 22 September 2015. Ketika itu MK memutuskan uji materi atas UU MD3 yang juga mengatur permintaan persetujuan presiden dan MKD dalam pemanggilan kasus tindak pidana.

(Baca juga: Disahkan, UU MD3 Buat DPR Miliki Kewenangan Kontroversial)

MK dalam putusannya menegaskan, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR untuk kepentingan penyidikan hanya perlu mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden dan tidak perlu izin dari MKD. Selain itu, MK memutuskan izin dari presiden tak diperlukan bagi tindak pidana khusus, seperti korupsi, terorisme, dan narkotika.

Mengenai UU MD3 terbaru yang masih memuat permintaan izin dari MKD sebagai bagian hak imunitasnya, peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Wasisto Raharjo Jati menyatakan sebagai aturan yang tak masuk akal.

Wasisto mengatakan DPR beralasan menerapkan aturan ini dengan tujuan menjaga marwah kelembagaan. Namun, Wasisto memaparkan, saat anggota DPR melakukan tindak pidana, maka sifatnya tidak lagi kolektif kelembagaan, namun personal.

"Di hadapan hukum, seharusnya anggota DPR kedudukannya sama dengan warga negara lain, tidak lagi dilihat kelembagaannya. Jangan berlindung sebagai representasi simbol negara," kata Wasisto kepada Katadata.

Wasisto mengatakan hak imunitas dalam tindak pidana bagi parlemen di negara lain pun tak berlaku. Dia menegaskan, untuk menjaga marwah parlemen, seharusnya tiap anggota sadar dan menjaga perbuatannya dari pelanggaran pidana.

"Di negara lain, anggota parlemen akan mundur dengan kesadaran pribadi apabila melakukan perbuatan melanggar tindak pidana, hal itu yang dapat menjaga martabat DPR," kata Wasisto.

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...