Dikecam, Rancangan KUHP Berpotensi Membungkam Kebebasan Pers

Dimas Jarot Bayu
13 Februari 2018, 18:02
Demonstrasi anti-hoax
ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Demonstrasi melawan berita hoax di Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (8/2).

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini tengah dibahas DPR dinilai dapat membungkam kebebasan pers di Indonesia. Gabungan organisasi pers mendesak agar DPR mencabut rumusan pasal-pasal yang berpotensi membungkan kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers. 

Pengacara LBH Pers Gading Yonggar Ditya mengatakan, terdapat beberapa pasal dalam RKUHP tersebut berpotensi mengkriminalisasi pers ketika melakukan pekerjaan jurnalistik. Beberapa pasal tersebut antara lain mengenai penyebaran berita bohong dan berita yang tidak pasti dalam Pasal 309 dan 310; tindak pidana penerbitan dan percetakan dalam Pasal 771, 772, dan 773.

Kemudian, gangguan dan penyesatan proses pengadilan dalam Pasal 328 dan 329; serta membuat, mengumpulkan, menyimpan, membuka rahasia negara dan pembocoran rahasia negara dalam Pasal 228, 229, 230, 234, 235, 236, 237, 238, dan 239.

Gading mengatakan, klausul mengenai penyebaran berita bohong dan berita yang tidak pasti dalam RKUHP dapat membahayakan pekerjaan wartawan. Alasannya, jurnalis kerap mendapatkan pernyataan dari narasumber yang selalu berubah dari hari ke hari.

"Seorang narasumber bisa mengeluarkan pernyataan A di hari pertama dan mengeluarkan pernyataan B di hari berikutnya. Pembatasan pada pasal-pasal tersebut bisa menyebabkan jurnalis yang memberitakan pernyataan A dinilai menyiarkan berita bohong," kata Gading di Jakarta, Selasa (13/2).

(Baca juga: Antikritik, UU MD3 Didukung Partai Pengusung Jokowi dan Prabowo)

Selain itu, klausul tersebut dianggap tidak ditetapkan dengan jelas. Hal ini terlihat dari sejumlah kata-kata yang digunakan seperti "berakibat terjadinya keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat atau "berita yang berlebihan".

Hal itu juga terjadi pada tindak pidana penerbitan dan percetakan. Dalam pasal tersebut, Gading menyebut terdapat pasal-pasal yang dinilai kabur. "Kepentingan pembatasan melalui pasal-pasal tersebut tidak jelas," kata Gading.

Peneliti dari MaPPI FHUI Ditta Wisnu menyebut klausul tindak pidana terhadap gangguan dan penyesatan proses pengadilan (contempt of court) dalam RKUHP dinilai berlebihan.

RKUHP memuat larangan untuk mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam peradilan. Pasal tersebut seolah ingin menyatakan bahwa hakim yang memihak ke salah satu pihak karena dipengaruhi oleh masyarakat atau media.

Selain itu, pasal ini juga terkesan menyalahkan masyarakat yang mencoba kritis terhadap kinerja keadilan. "Banyak hal yang seperti membungkan demokrasi, tidak hanya pers tapi juga masyarakat," kata Ditta.

(Baca juga: Disahkan, UU MD3 Buat DPR Miliki Kewenangan Kontroversial)

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...