Alasan Istana Terlambat 10 Hari Unggah Video Jokowi soal Reshuffle

Dimas Jarot Bayu
29 Juni 2020, 11:07
Jokowi, corona, covid-19, reshuffle
ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Pool/wsj.
Presiden Joko Widodo (tengah) memimpin rapat kabinet terbatas mengenai percepatan penanganan dampak pandemi COVID-19 di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (29/6/2020).

Pidato Presiden Jokowi yang menyinggung perombakan kabinet (reshuffle) dalam sidang kabinet paripurna pda 18 Juni 2020 mendapat sorotan karena baru diunggah ke akun Youtube Sekretariat Presiden pada Minggu (28/6) sore. Deputi bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin menjelaskan alasan di balik keterlambatan pengunggahan video tersebut.

Bey menjelaskan sidang kabinet paripurna yang berlangsung 11 hari lalu tersebut awalnya bersifat internal dan bukan untuk konsumsi publik. Materi sidang hanya untuk kalangan terbatas, yakni para menteri dan kepala lembaga. “Namun setelah kami pelajari pernyataan Presiden, banyak hal yang baik dan bagus untuk diketahui publik,” kata Bey dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/6).

Advertisement

Atas dasar itu, Bey meminta izin untuk mengunggah pidato sidang kabinet paripurna kepada Jokowi. Namun, Bey perlu waktu untuk mempelajarinya. Dia harus berulang kali mengkaji isi dari pidato Jokowi dalam sidang kabinet paripurna tersebut. “Makanya baru dipublikasi pada Minggu 28 Juni 2020,” kata Bey.

(Baca: Jokowi Ancam Reshuffle Kabinet, Kinerja Beberapa Sektor Disorot)

Saat berpidato membuka sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, 18 Juni lalu, Jokowi mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja sejumlah bawahannya. "Saya harus ngomong apa adanya, tidak ada progres signifikan (dalam penanganan krisis akibat Covid-19). Tidak ada," kata Jokowi dalam video sidang kabinet tersebut yang baru diunggah Sekretariat Presiden di akun Youtube resminya, Minggu (28/6).

Padahal, menurut Jokowi, kondisi sejak tiga bulan lalu dan setidaknya tiga bulan ke depan dalam suasana krisis. Ia merujuk pada proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dibuat beberapa lembaga internasional belum lama ini. "OECD bilang pertumbuhan ekonomi (dunia) terkontraksi 6% bisa sampai 7,6% minusnya. Bank Dunia (proyeksi ekonomi dunia) bisa minus 5%."

Karena itu, Jokowi meminta para menteri memiliki sense of crisis yang sama dalam menangani kondisi tersebut. "Jangan biasa-biasa saja, jangan anggap normal," katanya. (Baca juga: Jokowi: Belum Berpikir untuk Reshuffle Kabinet)

Namun yang terjadi, Jokowi melihat masih banyak bawahannya yang menganggap kondisi saat ini masih normal sehingga kerjanya standar saja. "Ini harus extraordinary. Perasaan ini harus sama, kalau ada satu saja berbeda bahaya. Jadi tindakan-tindakan kita, keputusan-keputusan kita, suasananya harus suasana krisis. Jangan kebijakan biasa-biasa saja, anggap ini normal. Apa-apaan ini," katanya dengan nada tinggi.

Selain kurangnya senses of crisis, Presiden juga mempersoalkan belanja kementerian yang belum memuaskan. "Laporannya masih biasa-biasa saja. Segera belanjakan sehingga konsumsi akan naik dan peredaran uang akan makin banyak," katanya.

(Baca juga: SMRC: 71% Masyarakat Nilai Ekonomi Rumah Tangga Memburuk saat Pandemi)

Halaman:
Reporter: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement