Riset McKinsey: Asia Tenggara Akan Alami Efek Terburuk Perubahan Iklim
Lembaga riset dan konsultan bisnis ekonomi McKinsey menyebutkan kawasan Asia Tenggara berpotensi mengalami dampak perubahan iklim paling parah di dunia dalam 30 tahun ke depan. Dampaknya akan menimbulkan kemerosotan kehidupan dan menurunkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Beberapa ancaman akibat perubahan iklim di kawasan Asia Tenggara, seperti banjir, kekeringan, angin topan, hingga meningkatnya panas maupun kelembapan.
“Asia menghadapi bahaya iklim dengan potensi dampak sosial ekonomi yang parah, sehingga memiliki pengaruh besar untuk berperan di garis depan dalam mengatasi tantangan tersebut,” ujar Direktur McKinsey Institute Jonathan Woetzel dikutip dari dokumen riset McKinsey, Rabu (18/8).
McKinsey mengadakan riset pada 16 negara di kawasan Asia dengan mempertimbangkan lima variabel yakni kelayakan tempat tinggal dan pekerjaan, sistem pangan, aset fisik, layanan infrastruktur, dan sumber daya alam.
Selain dampaknya terhadap Asia Tenggara, penelitian McKinsey juga menguraikan potensi dampak cuaca ekstrem di negara-negara seperti Bangladesh, India, dan Pakistan atau wilayah yang disebut sebagai "Frontier Asia". "Kami memperkirakan pada 2050, antara 500 juta dan 700 juta orang di Frontier Asia dapat hidup di kawasan dengan kemungkinan gelombang panas tahunan yang mematikan," kata laporan itu.
Pada 2050, produk domestik bruto di Asia antara US$ 2,8 triliun dan US$ 4,7 triliun berisiko hilang setiap tahun karena menghilangnya pekerjaan di luar ruangan karena suhu dan kelembaban yang lebih tinggi.
McKinsey juga menyoroti beberapa potensi bahaya iklim yang dihadapi negara-negara di Asia Tenggara seperti Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand dan Vietnam. Negara-negara di kawasan ini akan mengalami peningkatan panas dan kelembapan. Misalnya pada 2050, kemungkinan curah hujan ekstrim dapat meningkat tiga atau empat kali lipat di Indonesia.
Perubahan iklim akan mengurangi 8% hingga 13% Produk Domestik Bruto di kawasan tersebut. Bahkan, pada 2050 diperkirakan PDB di Asia akan berkurang mulai dari US$ 2,8 triliun hingga US$ 4,7 triliun. Negara dengan pendapatan per kapita rendah bakal lebih rentan mengalami kemerosotan ekonomi.
Negara yang pendapatan per kapitanya rendah cenderung mengandalkan iklim dibanding negara kaya. Sebagian besar negara dengan pendapatan per kapita lebih rendah masih mengandalkan pekerjaan di luar lapangan serta berbasis sumber daya alam.
Dampak lainnya yakni penurunan hasil panen pertanian, diperkirakan pada 2050 hasil panen pertanian akan menurun hingga 1%. Selain itu, dampak perubahan iklim terhadap naiknya permukaan air laut juga dapat merusak infrastruktur hingga mencemari sumber air minum. Akibatnya, diperlukan biaya yang besar untuk memperbaiki aset tersebut.
Sebagai contoh Kota Ho Chi Minh di Vietnam yang kerap terkena banjir, akan mengalami kerusakan infrastruktur. Total kerugian diperkirakan bertambah mulai dari US$ 1,5 miliar hingga US$ 8,5 miliar.
Melansir laporan McKinsey, Asian Development Bank mengungkapkan Asia harus menginvestasikan US$ 1,7 triliun setiap tahun hingga 2030. Investasi itu agar pembangunan dapat beradaptasi dengan iklim dan memiliki ketahanan yang baik.
Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa sebagian besar kawasan Asia sedang melakukan pembangunan infrastruktur. Sehingga diusulkan untuk menambahkan faktor iklim ke dalam rancangan pembangunan.
McKinsey berharap Asia dapat menjadi pemimpin bagi negara-negara di dunia dalam melindungi kehidupan, melalui kebijakan yang terintegrasi faktor iklim, mengadopsi keputusan yang adaptif terhadap perubahan iklim, hingga dekarbonisasi untuk mengurangi risiko perubahan iklim.
Seperti negara lainnya, Asia dapat memberikan kontribusinya untuk mengurangi emisi, pemanasan iklim akan terus berlanjut hingga emisi nol bersih tercapai. "Para pembuat kebijakan dan pebisnis diharapkan memiliki inovasi untuk mengurangi potensi konsekuensi di masa yang akan datang.”
Penyumbang bahan: Agatha Lintang