Omnibus Law Atur Bank Tanah, Isu Kontroversial di RUU Pertanahan

Yuliawati
Oleh Yuliawati
6 Oktober 2020, 16:21
omnibus law, RUU Pertanahan, bank tanah, land bank
ANTARA FOTO/Siswowidodo/aww.
Suasana kawasan hutan pinus Nongko Ijo di lereng Gunung Wilis, Kare, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Minggu (4/10/2020).

Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) menjadi Undang-undang (UU) pada Senin (5/10). Salah satu poin yang yang diatur termuat dalam BAB VIII tentang Pengadaan Tanah.

Dalam Bab VIII terdapat poin baru yang diatur yakni mengenai bank tanah (land bank). Bank tanah ini pernah menjadi isu kontroversial dalam Rancangan UU Pertanahan. Gelombang protes atas RUU Pertanahan membuat pembahasannya berhenti di DPR pada September lalu. Berikut detail aturan bank tanah dan hak pengelolaannya dalam omnibus law:

Bank Tanah (land bank)

Merupakan aturan baru yang pertama kali diatur dalam UU Ciptaker. Pasal 125 UU Ciptaker menyebutkan bahwa akan dibentuk bank tanah sebagai badan khusus pengelola tanah. Bank tanah ini berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.

Pembentukan bank tanah ini untuk reformasi agraria, paling sedikit 30% dari tanah negara diperuntukan untuk bank tanah. Selain itu, dituliskan bahwa pembentukan bank tanah dalam rangka efisiensi pengelolaan tanah.

Rencananya, organisasi bank tanah akan terdiri dari Komite, Dewan Pengawas, dan Badan Pelaksana. Nantinya Badan Pengawas akan terdiri tujuh anggota dengan rincian, empat orang profesional dan tiga orang yang dipilih pemerintah pusat.

Hak Pengelolaan (HPL)

UU Ciptaker mengatur mengenai Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Pasal 129 nomor 1 menyebutkan tanah yang dikelola Bank Tanah diberikan hak pengelolaan dalam bentuk hak  guna  usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.

Bank tanah dapat dimanfaatkan untuk mendukung investasi dengan pemegang hak pengelolaan mendapat kewenangan untuk menyusun rencana induk; membantu memberikan kemudahan perizinan berusaha, melakukan pengadaan tanah; dan menentukan tarif pelayanan.

Advertisement

Selanjutnya dalam pasal 137 disebutkan hak pengelolaan tanah diberikan kepada pemerintah pusat; pemerintah daerah; badan bank tanah; BUMN/BUMD dan badan hukum milik negara/daerah; atau fbadan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah pusat.

Dalam pasal 138, pemegang hak  pengelolaan dapat memperpanjang memperbaharui hak guna bangunan. Tak ada penjelasan berapa lama hak guna yang dapat diperpanjang. 

Materi Kontroversial dari RUU Pertanahan

Klausul bank tanah ini pernah masuk dalam Rancangan Undang-undang Pertanahan yang dibahas di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat tahun lalu. Menurut Anggota Panja RUU Cipta Kerja Arteria Dahlan pembahasan bank tanah di Komisi II tak berlanjut karena perdebatan yang sangat tajam.

Sekretaris Jenderal Komisoner Pengembangan Agraria Dewi Kartika menyebutkan materi-materi kontroversial RUU  Pertanahan disusupkan di RUU Cipta Kerja. RUU Pertanahan pada September 2019 lalu menuai protes dan penolakan dari kalangan masyarakat sipil termasuk KPA. Kemudian DPR menunda pengesahannya meski memasukannya dalam prioritas Prolegnas 2020.

Dewi menyebutkan dalam  Undang-undang Pokok Agraria 1960 tak ada aturan mengenai hak pengelolaan (HPL). Dia menyebutkana HPL telah menimbulkan kekacauan penguasaan tanah, karena merupakan wujud penyimpangan hak menguasai dari negara (HMN).

Padahal, dalam Putusan MK No.001-021-022/PUU-1/2003 bahwa HMN berarti kebijakan pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan yang mengacu pada Pasal 33 Ayat 3, dan bukan berarti negara memiliki tanah. Sedangkan dalam UU Cipta Kerja, HPL sebagai pemberian hak di atas tanah negara seperti hendak menghidupkan kembali konsep domein verklaring zaman kolonial, yang sudah dihapus dalam UUPA 1960.

Adapun Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil sempat menjelaskan bank tanah diperlukan untuk memberikan kemudahan bagi investor mendapatkan tanah.

Pengadaan lahan masih terbatas untuk kepentingan umum yang tidak berorientasi pada penciptaan lapangan kerja. Selama ini, pemerintah harus melakukan pembebasan tanah terlebih dulu untuk dikmudian diberikan kepada investor. Padahal, butuh waktu bertahun-tahun untuk membebaskan lahan. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja kerap terkendala pada pengadaan tanah.

Reporter: Agatha Lintang

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement