Jatuh Bangun Pengusaha Kuliner Mengais Rezeki di Masa Pandemi

Happy Fajrian
2 November 2020, 07:00
bisnis restoran, pandemi corona, protokol kesehatan,
123rf/mackoflower
Ilustrasi kondisi restoran di masa pandemi.

Setelah menanti tiga jam, dua orang datang sebagai pelanggan pertama festival food truck FlavourFest 2020 pada Jumat (30/10). Mereka membeli sosis dan burger dengan harga kurang dari Rp 100 ribu.

Hari itu adalah hari kedua dari festival kuliner yang diadakan Komunitas Food Truck Jakarta. Food truck merupakan konsep berjualan makanan dan minuman di sebuah kendaraan dengan desain khusus. Penjual melakukan berbagai kegiatannya di kendaraan, mulai dari persiapan, memasak, penyajian, dan penjualannya dari sebuah kendaraan besar.

Festival FlavourFest 2020 ini diikuti oleh lima kendaraan yang berjejer paralel di depan lobi mal. Ada perusahaan yang milik brand yang cukup dikenal seperti Doner Kebab dan Kimbo Express. Tiga lainnya merupakan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kuliner.

Tiap food truck terparkir dengan berjaga jarak dua hingga tiga meter satu sama lain. Masing-masing menyediakan dua tenda putih menaungi sebuah meja dan beberapa kursi.

food truck
Ilustrasi food truck.  (Katadata)




Dari pantauan Katadata.co.id, hingga Jumat sore hanya ada empat transaksi di festival itu. Kasir mengatakan penjualan dari kelima food truck tidak lebih dari Rp 1 juta selama dua hari berjalannya festival. “Pendapatan hari pertama sekitar Rp 500 ribu, hari kedua sampai sore ini Rp 400 ribu,” kata kasir yang tak mau disebutkan namanya.

Salah seorang pemilik food truck yang menjual pasta, pizza, dan kentang goreng, Nesa, mengatakan bahwa selama dua hari mengikuti festival ini dia hanya berhasil menjual dua porsi makanan per harinya. Harga pasta atau pizza Rp 20 ribu – 30 ribu. “Pandemi ini masa-masa prihatin banget,” ujarnya.

Nesa mengatakan sebelum pandemi omset dari bisnis food trucknya bisa mencapai puluhan juta per bulan. Nesa yang berjualan hanya di setiap festival menyatakan pendapatan rata-ratanya  Rp 3 juta- Rp 4 juta per harinya. Dalam sebulan dia bisa delapan kali mengikuti festival yang biasa berlangsung tiga hari per event.

Pendiri dan ketua Komunitas Food Truck Jakarta Joko Waluyo mengatakan bisnis food truck benar-benar terpuruk di masa pandemi. Pasalnya bisnis ini mengandalkan event yang menarik keramaian seperti acara musik, pentas seni sekolah, otomotif, seminar, dan gathering perusahaan.

“Karena pandemi semua event organizer yang kerja sama dengan kami banyak yang gulung tikar, tidak boleh menggelar acara yang ramai-ramai, tidak dapat izin," kata Joko.

Joko menyatakan biasanya memasuki Oktober sampai Desember merupakan ladang bagi pengusaha food truck. "Tahun ini hingga akhir tahun belum ada event," kata dia.

Kondisi ini membuat banyak pengusaha yang mundur dan menghentikan bisnisnya. Saat ini anggota Komunitas Food Truck Jakarta hanya tersisa 30, sebelum pandemi mencapai 130. "Banyak yang gulung tikar kemudian beralih profesi ke online dan ganti menu makanan," kata dia.

Joko dan anggota komunitas berupaya menyiasati anjloknya penjualan. Mereka sempat menawarkan jasa menyalurkan makanan donasi untuk petugas kesehatan. Namun, belum ada gayung yang bersambut. "Yang dapat orderan pemain besar, bukan UMKM seperti kami. Kalaupun kami dapat, pembayaran harus menunggu 3-6 bulan, padahal biaya makanan harus setiap hari,” ujarnya.

Strategi lain yang saat ini sedang mereka jajaki dengan mengubah konsep menjadi food bike yakni menjajakan makanan menggunakan sepeda. Cara ini memanfaatkan tren sepeda yang melanda warga Ibu Kota.

Berbeda dengan food truck, segmen food bike ini kalangan menengah ke bawah sehingga makanan yang ditawarkan memiliki harga yang terjangkau. “Food bike masih dimulai, tapi konsep ini banyak peminatnya. Masih butuh waktu (untuk berkembang),” kata dia.

Strategi Restoran Besar Mengarungi Pandemi

Pemilik restoran Shabu Hachi dan Shabu Hachi Grill, Githa Nafeeza, sangat serius menyiapkan strategi bisnisnya di masa pandemi. Sebelum meemutuskan langkah yang diambil, Githa membuat survei kepada konsumennya terkait hal yang paling diinginkan saat makan di restoran di masa pandemi.

“Ternyata bukan makanan yang lebih enak atau harga lebih murah, tapi rata-rata menjawabnya ‘aman enggak makan di Shabu Hachi’,” ujar Githa kepada Katadata.co.id, pekan lalu.

Berbekal survei itu, Githa memutuskan untuk menyiapkan sebaik mungkin penerapan protokol kesehatan di seluruh restoran Grup Hachi. Dia menilai kepercayaan konsumen menjadi kunci kelangsungan bisnisnya di masa pandemi ini dan setelah pandemi usai. “Paling penting dalam selamatkan bisnis restoran adalah trust. Saat makan di restoran konsumen menginginkan rasa aman,” kata Githa.

Githa pun tak tanggung-tanggung menggelontorkan dana mencapai Rp 1 miliar khusus persiapan protokol kesehatan di seluruh gerai Shabu Hachi. Bagi Githa, dana tersebut sebagai investasi yang mempengaruhi bisnis di masa mendatang.

Protokol kesehatan di seluruh gerai Shabu Hachi lumayan lengkap dan detail. Saat pengunjung datang mereka tidak hanya dicek suhu badan tapi juga diperiksa dengan menggunakan alat oximeter untuk mengukur kadar oksigen dalam darah.

Pengecekan ini untuk mendeteksi happy hipoxia pada orang tanpa gejala (OTG) penderita virus corona. Meski OTG terkadang tidak bergejala, infeksi Covid-19 dapat membuat tubuh penderitanya mengalami penurunan oksigen secara perlahan.

Fenomena berkurangnya jumlah oksigen di dalam tubuh tanpa menimbulkan gejala inilah yang dikenal dengan sebutan happy hypoxia. "Ini sebagai upaya untuk mencegah OTG masuk ke restoran," kata Githa.

Pihak restoran juga meminta pengunjung menunjukkan Kartu Tanda Penduduk/KTP untuk keperluan tracing jika ditemukan kasus positif. "Petugas restoran akan memfoto KTP untuk tracing, dari semua pengunjung ada 1-2 orang yang merasa privasinya dilanggar. Saya sendiri jika sebagai konsumen akan merasa lebih aman ke restoran yang tegas terapkan protokol karena jamin keselamatan nyawa karyawan dan pengunjung,” ujarnya.

Restoran Shabu Hachi
Restoran Shabu Hachi (Instagram/@jktfoodbang)




Pengunjung yang melewati prosedur awal seperti mencuci tangan, cek suhu badan, dan cek oximeter, kemudian diminta untuk mensterilisasi alas kakinya. Setelah itu, mereka mendapatkan tempat duduk.

Di tempat duduk, Shabu Hachi akan menyediakan personal food thong atau alat penjepit makanan khusus, dan sarung tangan sekali pakai per orang. Mereka juga menyediakan masker yang bagian luarnya panjang sehingga konsumen dapat makan tanpa melepas masker.

“Saat makan angkat maskernya lalu tutup lagi. Konsumen mengapresiasi cara  kami dan mau datang lagi makan di Shabu Hachi,” kata mantan pembaca berita di salah satu stasiun televisi swasta ini.

Githa pun menerapkan disiplin yang ketat kepada karyawan Shabu Hachi. Setiap pegawai wajib menggunakan masker yang harus diganti tiap 4-5 jam, memakai pelindung wajah (face shield), dan harus rapid test. Githa mengatakan karyawan yang tidak disiplin seperti melepas masker, baik saat istirahat atau saat berada di dalam ruangan restoran, akan langsung mendapatkan surat peringatan.

Menurut Githa respons konsumen terhadap penerapan protokol kesehatan ketat ini sangat positif. Terbukti dari jumlah kunjungan yang terus mengalir. Pihak restoran pun menyarankan pengunjung untuk memesan tempat atau reservasi terlebih dahulu sebelum datang untuk menghindari antrean.

Selain menerapkan protokol kesehatan dengan ketat, Shabu Hachi juga melayani pesan antar dan take away. Khusus pesan antar, jarak maksimal yang dapat menggunakan layanan ini adalah 15 kilometer (km). Kalau lebih dari itu, konsumen bisa menggunakan jasa pengiriman ojek online.

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...