Lebih Berbahaya daripada Covid-19, Virus Nipah Potensi Jadi Pandemi

Yuliawati
Oleh Yuliawati
1 Februari 2021, 15:46
virus Nipah, Malaysia, covid-19,who
ANTARA FOTO/REUTERS/Lim Huey Teng/foc/cf
Seorang pria memakai masker pelindung memberi makan monyet di Batu Cave, di tengah penyebaran penyakit virus korona (COVID-19) di Kuala Lumpur, Malaysia, Rabu (15/7/2020). Selain Covid-19, muncul kekhawatiran penyebaran virus Nipah yang kasusnya pernah ditemukan di Malaysia.

Ilmuwan kesehatan dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan perhatian pada potensi penyebaran virus Nipah. WHO memasukkan virus nipah dalam daftar 10 besar penyakit yang berpotensi menyebabkan epidemi dan mendapat prioritas untuk riset dan pengembangan darurat.

Dalam daftar tersebut, terdapat pula beberapa penyakit lain seperti Covid-19, Zika, dan Ebola. WHO secara berkala menerbitkan daftar terkini untuk menginformasikan perusahaan farmasi dalam melakukan riset dan pengembangan.

Jayasree K Iyer, Direktur Eksekutif Badan Akses Obat-obatan, sebuah organisasi non-profit berbasis di Belanda, menyebut bahwa virus Nipah memiliki potensi menyebabkan pandemi. Penyakit ini tergolong berbahaya karena menyebabkan tingkat kematian hingga 75%.

“Virus Nipah adalah penyakit menular lain yang muncul dan menimbulkan kekhawatiran besar. Nipah bisa merebak kapan saja. Pandemi berikutnya bisa jadi infeksi yang tahan terhadap obat,” ujar Iyer dilansir The Guardian.

WHO melaporkan tingkat kematian sebesar 40 %-75 % dari kasus yang terkonfirmasi virus Nipah. Tingkat kematian tergantung pada kemampuan daerah atau negara dalam mengatasi wabah, memantau perkembangan epidemologis serta manajemen klinisnya.

BBC menyebutkan saat wabah virus Nipah terjadi di Bangladesh pada 2001-2011, tercatat sebanyak 196 kasus terinfeksi virus Nipah dengan 150 pasien di antaranya meninggal dunia.

Virus Nipah berpotensi menyebar secara masif karena memiliki masa inkubasi virus yang relatif panjang yakni hingga 45 hari. Artinya, dalam durasi tersebut seseorang dapat menularkan virus pada orang-orang di sekitarnya.

Namun, secara umum virus ini diyakini memiliki masa inkubasi antara 4-14 hari. WHO menyebutkan bahwa infeksi dari virus ini memiliki efek yang beragam, mulai dari infeksi tanpa gejala, infeksi saluran pernapasan akut, hingga peradangan otak (ensefalitis) yang fatal. Seseorang yang terinfeksi awalnya akan merasakan demam, pusing, sakit pada bagian otot, muntah-muntah, dan sakit tenggorokan.

Gejala tersebut juga dapat diikuti dengan rasa pusing, rasa kantuk, perubahan kesadaran, dan tanda-tanda ensefalitis atau radang otak akut. Beberapa orang juga dapat mengalami pneumonia atau radang paru-paru dan permasalahan pernapasan yang berat. Pada beberapa kasus yang disertai radang otak yang disertai kejang-kejang akan berujung pada koma dalam masa 24-48 jam setelahnya.

Beberapa penyintas yang sembuh memiliki efek kerusakan sistem syaraf dalam jangka panjang. Sekitar 20 % pasien sembuh dengan efek samping bawaan seperti kejang-kejang dan perubahan perilaku. Sejumlah kecil penyintas dilaporkan dapat kembali mengalami peradangan otak.

Minim Riset Virus Nipah

Penelitian terhadap virus Nipah ini masih terbatas. Riset Access to Medicine Foundation menemukan bahwa tidak ada riset dan pengembangan yang tengah dilakukan terkait virus Nipah.

Berbeda dengan virus Covid-19 yang kini mendapat perhatian penuh ilmuwan dunia. Sebanyak 63 proyek riset dan pengembangan yang tengah dilakukan di seluruh dunia.

Keadaan ini berpotensi menyebabkan dunia rentan menghadapi penyebaran Nipah. WHO menyebut bahwa saat ini belum ada obat-obatan atau vaksin yang secara spesifik ditujukan untuk virus Nipah.

WHO mencatat dari kurun 1998-2015 terdapat sekitar 600 kasus virus Nipah yang menyebar di beberapa negara Asia. Wabah virus Nipah pernah terjadi di Malaysia pada 1999 yang ditemukan pada hewan ternak seperti babi, kuda, kambing, domba, kucing, dan anjing. Pada babi, virus ini sangat menular dan dapat menginfeksi manusia dalam 4-14 hari masa inkubasi.

Wabah juga sempat terjadi di Bangladesh pada 2001, tetapi sejak saat itu kerap kali ada wabah tahunan yang berulang terjadi. Pada tahun yang sama wabah juga pernah dilaporkan di India.

Di Malaysia, WHO mencatat bahwa wabah ini awalnya menular dari babi. Namun, di Bangladesh dan India, transmisi virus bermula dari konsumsi buah-buahan yang terpapar dengan saliva atau urin dari kelelawar buah yang terinfeksi.

Mirip dengan Covid-19, virus ini juga merupakan virus zoonosis, atau virus yang ditularkan dari hewan ke manusia. Kemudian, setelah seseorang tertular maka virus tersebut dapat menular dari satu orang ke orang lainnya.

WHO menyebutkan bahwa pembawa utama virus ini adalah kelelawar buah dengan genus Pteropus. Ilmuwan menemukan bahwa terdapat infeksi Henipavirus pada kelelawar buah Pteropus dari Australia, Bangladesh, Kamboja, China, India, Indonesia, Madagaskar, Malaysia, Papua Nugini, Thailand, dan Timor-Leste.

Di Afrika, ilmuwan juga menemukan antibodi virus Nipah dalam kelelawar domestik yang mengindikasikan adanya penularan virus dalam hewan tersebut. 

 Penyumbang bahan; Ivan Jonathan

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...