Dewan Pengawas KPK Evaluasi Terbitnya SP3 Kasus Sjamsul Nursalim
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengeluarkan surat perintah pemberhentian penyidikan (SP3) atas kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dewan Pengawas KPK pun akan mengkaji penerbitan SP3 tersebut.
Sesuai ketentuan yang berlaku, pimpinan KPK harus membuat laporan kepada Dewan Pengawas KPK satu minggu setelah SP3 diterbitkan. Dewan Pengawas pun telah menerima laporan tersebut.
"Kemarin sore baru kami terima, kami akan pelajari terlebih dahulu," kata Ketua Dewas KPK Tumpak H Panggabean di Gedung KPK Lama C-1, Jakarta, Kamis (8/4).
Nantinya, hasil evaluasi dari Dewan Pengawas tidak akan menganulir penerbitan SP3. Sebab, Dewas bukan menjadi pihak yang menerbitkan surat tersebut."Jadi kami hanya menerima laporan dari pimpinan KPK," ujar dia.
Sebagaimana diketahui, KPK resmi menghentikan penyidikan dugaan Tindak Pidana Korupsi kepada Sjamsul Nursalim dan istrinya yakni Itjih Sjamsul Nursalim. Inilah SP3 pertama sejak Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang revisi UU KPK terbit.
Dengan demikian, status buron yang melekat pada Sjamsul dan Itjih pun otomotis dicabut. Sjamsul selama ini melarikan diri ke Singapura.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata beralasan keluarnya SP3 karena syarat adanya perbuatan penyelenggara negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi. Penghentian penyidikan itu, menurut Alexander, sudah sesuai dengan ketentuan pasal 40 Undang-Undang KPK.
“Sebagaimana amanat pasal 5 UU KPK, yaitu dalam menjalankan tugasnya, KPK berdasarkan pada kepastian hukum,” ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (1/4).
Pasal 40 aturan itu berbunyi, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat satu minggu terhitung dikeluarkannya SP3 dan harus diumumkan kepada publik.
Namun, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat dicabut oleh pimpinan KPK bila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan.
Maqdir Ismail selaku penasihat hukum Sjamsul dan Itjih berpendapat terbitnya SP3 bagi kedua kliennya sebagai bentuk kepastian hukum. "Ini adalah berita baik karena sudah ada kepastian hukum terhadap perkara kami," kata Maqdir.
SP3 kepada Sjamsul dan istrinya ini tak lepas dari bebasnya mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. KPK menyatakan kasus tersebut sudah tak memenuhi syarat yang melibatkan perbuatan Penyelenggara Negara. Sjamsul dan Itjih terjerat sebagai orang yang diduga melakukan perbuatan bersama Syafruddin.
Adapun Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan Syafruddin pada Juli 2019 silam. Putusan ini merupakan vonis lepas berkekuatan hukum pertama terhadap terdakwa kasus korupsi yang telah divonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dengan kata lain, ini pertama kalinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kalah dalam proses kasasi MA.
Kasus ini bermula ketika Sjamsul dan istrinya, Itjih, menandatangani penyelesaian pengambilalihan pengelolaan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) dengan BPPN melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) pada 21 September 1998. Dalam MSAA tersebut, disepakati bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI.
Sjamsul yang merupakan pemegang saham pengendali BDNI bertanggung jawab menyelesaikan kewajibannya, baik secara tunai atau berupa penyerahan aset. Jumlah kewajiban yang harus diselesaikannya mencapai Rp 47,25 triliun.
Namun, kewajiban Sjamsul tersebut dikurangi dengan aset sejumlah Rp 18,8 triliun, termasuk di dalamnya pinjaman kepada petani (petambak) udang Dipasena sebesar Rp 4,8 triliun.
Masalah dimulai ketika Sjamsul mempresentasikan aset pinjaman kepada petambak itu seolah sebagai piutang lancar. Belakangan baru diketahui aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi.
BPPN merespons dengan mengirimkan surat yang menyatakan bahwa ada misrepresentasi atas aset dan meminta Sjamsul menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN. Namun, pemilik Gajah Tunggal itu menolak.
Pada Oktober 2003, BPPN dan Itjih yang mewakili Sjamsul menggelar rapat guna menghapusbukukan piutang petambak PT. Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT. Wahyuni Mandira (WM). Dalam pertemuan itu, Itjih menyebut suaminya tak melakukan misrepresentasi.
Persoalan sisa piutang kepada petambak ini juga dibawa kepada Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri dalam rapat terbatas pada Februari 2004. Namun, Syafruddin ketika itu tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsul.
Meski rapat tak menyetujui hapus buku utang, pada 12 April 2004 Syafruddin dan Itjih memutuskan kewajiban tersebut rampung lewat Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir. Syafruddin pun menandatangani surat keterangan lunas Nomor SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul pada 26 April 2004.
Ini membuat hak tagih atas utang petambak Dipasena hilang. BPPN lantas menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih utang petambak PT. DCD dan PT. WM.
Oleh Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu, pertanggungjawaban aset itu kemudian diserahkan kepada PT PPA yang hanya menjual hak tagih utang petambak Rp 220 miliar walaupun semestinya mencapai Rp 4,8 triliun. Angka inilah yang dipermasalahkan sehingga menyeret Sjamsul Nursalim dan Syafruddin.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lalu melakukan audit investigatif yang menyimpulkan adanya indikasi penyimpangan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI oleh BPPN meski Sjamsul belum menyelesaikan kewajiban secara keseluruhan. Berangkat dari situ, KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka dengan dugaan ia menyebabkan kerugian keuangan negara pada 2017.