Penambangan Emas di Kepulauan Sangihe Perlu Izin dari Kementerian KKP
Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tambang emas di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, mendapat sorotan setelah kematian Wakil Bupati Helmud Hontong. Almarhum Helmud meminta Kementerian ESDM membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diberikan kepada PT Tambang Mas Sangihe.
Namun, beroperasinya perusahaan tambang di Sangihe itu, tak hanya cukup mengantongi IUP. Perusahaan juga memerlukan izin pemanfaatan kawasan pesisir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Izin dari Kementerian KKP diperlukan karena Sangihe bagian dari kepulauan kecil. Ketentuan ini berdasarkan UU No 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam pasal 26A ayat 1 disebutkan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri KKP.
"Tim kami akan mengecek ke lapangan, kami akan memeriksa kesesuaiannya sebelum akhirnya memberikan rekomendasi hijau atau merah," kata juru bicara Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi, kepada Katadata.co.id, Jumat (6/11).
Nantinya, KKP akan memberikan rekomendasi berupa izin melanjutkan proyek pertambangan (hijau) atau menolak proyek tersebut (merah). "Meski rekomendasi, sifatnya mengikat," kata Wahyu.
Permintaan rekomendasi KKP untuk tambang di Sangihe ini datang dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Bila lokasi di wilayah darat, maka tak memerlukan rekomendasi dari KKP.
KKP juga tak perlu memberikan rekomendasi bila izin lokasi tambang berada dalam jarak 0-12 mil laut dan telah mempunyai rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K). Untuk lokasi di wilayah tersebut, izin lokasi akan diberikan oleh daerah.
Berdasarkan info Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) lokasi tambang emas Sangihe tidak berada di batasan itu. "Karena yang minta bukan (PT TMS) tapi Kementerian ATR ke KKP," ujar Wahyu.
Wahyu mengatakan, bila KKP tak memberikan rekomendasi, maka perusahaan tak dapat melanjutkan operasi pertambangan. Bila melanggar, perusahaan dapat dikenakan pidana. "Iya (batal operasi), harus ada rekomendasi KKP," katanya.
Pemberian Izin Tambang Sangihe Dinilai Serampangan
Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi menjelaskan kontroversi izin pertambangan di Sangihe merupakan dampak dari perubahan kebijakan yang memangkas kewenangan pemerintah daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara alias UU Minerba, pemerintah pusat mempunyai kuasa untuk mengambil alih secara penuh perizinan dari daerah.
Pada UU Minerba tersebut, terdapat konsep Wilayah Hukum Pertambangan. Pemerintah pusat yang diwakilkan Kementerian ESDM berwenang memberikan izin meski di kawasan hutan, pesisir, maupun pulau-pulau kecil.
"Dampaknya seperti ini, akan terjadi perizinan pertambangan yang serampangan dan tidak memperdulikan fungsi, misalnya untuk konservasi hutan lindung, masyarakat adat, dan ini bahaya bagi perlindungan dan pengelolaan hidup," ujarnya.
Menurut Redi, meski sudah mengantongi izin pertambangan dari Kementerian ESDM, tapi tetap memerlukan izin tambahan dari Kementerian KKP sesuai UU Nomor 1 tahun 2014. Dalam UU No 1 tahun 2014 juga diatur tentang larangan kegiatan pertambangan di pulau kecil yang luasnya di bawah 2000 hektar.
"Ini saya kira yang menjadi pertimbangan, meskipun izin pertambangan sudah terbit tapi izin pemanfaatan pesisir dan pulau kecil ini bisa saja ditolak," ujarnya.
Perjalanan Izin Tambang Sangihe
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah, menyoroti pemilik saham PT Tambang Mas Sangihe, perusahaan yang mendapat IUP dari ESDM. "Jadi 70% perusahaan ini adalah perusahaan Kanada, sisanya Indonesia" ujar Merah.
Pemegang saham asli PT TMS adalah Laarenim Holding BV, yang dimiliki oleh Bre-X Minerals Ltd, Calgary, Kanada. Adapun salah satu perusahaan Indonesia yang turut memegang saham di TMS adalah Sungai Belayan Sejati.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, TMS merupakan pemegang Kontrak Karya (KK) Generasi VI dengan pemerintah Indonesia. Kontrak berdasarkan Keputusan Presiden No. B.143/Pres/3/1997 tanggal 17 Maret 1997. Pemerintah sempat membekukan kontrak kerja tersebut dan atas permintaan perusahaan kemudian diamandemen pada 23 Desember 2015.
Berdasarkan keputusan Menteri ESDM Nomor: 414.K/30/DJB/2017 pada 6 November 2017, PT TMS telah mendapatkan persetujuan perpanjangan tahap studi kelayakan sampai tanggal 25 September 2018.
Pada 5 Juni 2018, PT TMS mendapatkan persetujuan penciutan wilayah KK berdasarkan keputusan Menteri ESDM Nomor: 259.K/30/DJB/2018. Luas wilayah PT TMS berkurang menjadi 42 ribu hektar yang berlokasi di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
PT TMS mendapat rekomendasi kesesuaian tata ruang pada 16 November 2019 dari Kepala Dinas PUPRD Provinsi Sulawesi Utara. Kemudian berdasarkan Perda Kabupaten Kepulauan Sangihe Nomor 4 Tahun, tentang RTRW Kabupaten Kepulauan Sangihe 2014-2034, pasal 47 ayat (3) bahwa kawasan peruntukan pertambangan mineral logam di Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Lalu berdasarkan Perda Provinsi Sulawesi Utara nomor 1 2014 tentang RTRW Provinsi Sulawesi Utara tahun 2014-2034 pasal 53 ayat 2, bahwa kawasan peruntukan pertambangan emas terdapat di Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Kemudian, PT TMS telah mendapat persetujuan tekno-ekonomi atas dokumen studi kelayakan pada tanggal 15 Oktober 2019 dari Ditjen Miber. Lalu pada tanggal 25 September 2019 TMS telah mendapatkan persetujuan Keputusan Kelayakan Lingkungan dari Provinsi Sulawesi Utara. Berdasarkan persetujuan Tekno-Ekonomi dan persetujuan Lingkungan tersebut di atas PT TMS telah meningkatkan tahap menjadi operasi produksi pada 29 Januari 2021.