Ahli Pertambangan Usulkan 6 Poin dalam Regulasi Logam Tanah Jarang
Kementerian ESDM mulai serius dalam mengembangkan hilirisasi rare earth element (REE) alias logam tanah jarang (LTJ) di Indonesia. Pemerintah sedang menyiapkan regulasi tentang pemanfaatan logam tanah jarang di kegiatan pertambangan timah.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli berpendapat LTJ di Indonesia mempunyai karakteristik yang unik. Umumnya, LTJ di Indonesia sebagai mineral ikutan dari mineral utama seperti di nikel, timah, tembaga, bauksit dan zirkon.
Namun, hingga kini belum ada data dan informasi yang cukup memadai dalam menghitung potensi logam tanah jarang sebagai mineral ikutan tersebut. Begitu juga bagaimana karakteristik dan spesifikasinya, serta bagaimana teknis penambangan dan pengolahannya.
Sehingga, bila pemerintah berencana membuat regulasi terkait LTJ, maka ada beberapa poin yang perlu diperhatikan. Pertama, pemerintah harus mengintensifkan kegiatan studi dan penelitian untuk mengidentifikasi potensi melalui eksplorasi LTJ di Indonesia, melalui kegiatan eksplorasi.
Kedua, kegiatan eksplorasi bisa dilakukan dengan menunjuk badan Pemerintah seperti Badan Geologi, BUMN/BUMD dan swasta
Ketiga, pemerintah sebaiknya membuka pintu kepada BUMN dan swasta yang memiliki Izin Usaha Pertambangan untuk melakukan studi dan penelitian mandiri mengenai LTJ
"Hal ini, selain akan mengurangi beban keuangan negara, BUMN dan swasta umumnya memiliki sumberdaya yang memadai untuk melakukan hal tersebut," kata Rizal kepada Katadata.co.id, Senin (13/9).
Keempat, pemerintah sebaiknya memberikan insentif kepada BUMN dan Swasta yang melakukan studi dan penelitian atas potensi LTJ, dengan ketentuan BUMN dan Swasta berkewajiban untuk melaporkan hasil studi dan penelitiannya ke pemerintah.
Kelima, pemerintah mengintensifkan studi teknologi pengolahan dan pemanfaatan LTJ untuk industri strategis dan vital di dalam negeri. Pemerintah melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) atau lembaga penelitian lainnya dan universitas untuk melakukan riset dan penelitian untuk mengembangkan teknologi pengolahan dan pemurnian dalam negeri.
Keenam, pemerintah perlu menyusun roadmap LTJ Indonesia yang berisi peta pengembangan LTJ. Dimulai dari identifikasi potensi LTJ, kegiatan eksplorasi, penambangan, pengolahan hingga hilirisasi LTJ ke skala industri dalam negeri.
"Negara-negara lain terutama Tiongkok sudah menguasai teknologi ini. Kemudian Australia, Amerika Serikat, Jerman, Kanada dan Malaysia juga dapat dijadikan benchmark untuk pengolahan LTJ ini," katanya.
Ia pun berharap aturan yang digodok oleh pemerintah saat ini dapat mengelompokkan LTJ bukan sebagai radioaktif mineral. Sehingga tidak perlu keterlibatan banyak instansi pengawas dan prosedur yang cukup rumit. "Kecuali ditemukan mineral radioaktif nantinya," kata dia.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai Indonesia perlu belajar dari Amerika Serikat, Australia dan Tiongkok dalam pemanfaatan logam tanah jarang. Pasalnya, negara-negara tersebut sudah terlebih dulu dalam mengembangkan jenis mineral yang cukup langka ini untuk kepentingan internal mereka.
Apalagi Indonesia mempunyai potensi cadangan LTJ yang cukup besar. Untuk itu, perlu adanya kebijakan yang lebih mendetail agar LTJ ini dapat dioptimalkan lebih lanjut. "Program hilirisasi saya kira adalah mutlak dilakukan agar bisa dioptimalkan termasuk potensi LTJ di sana," kata dia.
Namun selain hilirisasi, menurut Mamit kegiatan eksplorasi juga harus digencarkan untuk terus mencari cadangan LTJ. Mengingat mineral ini mempunyai peran yang cukup strategis ke depannya.
Meski begitu, ada beberapa tantangan dalam implementasi pemanfaatan LTJ di tanah air. Salah satunya yakni terkait potensi adanya ilegal ekspor kedepannya.
"Tantangan ke depan saya kira adanya ilegal ekspor karena akan semakin mahalnya harga LTJ ini, dimana kebutuhan terus meningkat sedangkan suplai terbatas. Selain itu, hilirisasi juga bisa menjadi kendala karena investasi yang tinggi," kata dia.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin sebelumnya mengakui belum ada regulasi spesifik yang mengatur mengenai pemanfaatan LTJ di Indonesia. Namun, pemerintah saat ini tengah menggodok aturan baru berbentuk Instruksi Presiden (Inpres).
Menurut dia, logam tanah jarang bakal mempunyai nilai strategis. Mengingat bahan bakunya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan teknologi industri kesehatan hingga alat pertahanan nasional.
"Pemerintah sudah bentuk tim pengembangan industri berbasis logam tanah jarang dan penyusunan Inpres (Instruksi Presiden) percepatan hilirisasi logam tanah jarang," katanya dalam webinar Minerba Series bertajuk Mineral for Energy, Jumat (10/9).
Ridwan menyadari LTJ saat ini tengah menjadi pembicaraan di dunia karena mempunyai manfaat yang beragam. Tiongkok bahkan menjadi negara yang paling banyak memiliki cadangan logam tanah jarang hingga 84% dari produksi dunia.
Disusul dengan Australia yang mencapai 11%, lalu Rusia 2%, India dan Brazil masing-masing 1%, sisanya adalah negara-negara lain, termasuk Indonesia."Dari dasar survei kawan-kawan, ada 28 lokasi logam tanah jarang yang berpotensi untuk dieksplorasi," kata dia.