Harga Minyak Goreng Masih Tinggi, Gapki Usul Ekspor CPO Tak Dibatasi

Andi M. Arief
17 Januari 2022, 18:35
harga minyak goreng, CPO
ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/tom.
Sejumlah warga antre membeli minyak goreng kemasan saat operasi pasar minyak goreng murah di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (11/1/2022).

Kenaikan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dunia diramal akan bertahan hingga pertengahan tahun ini. Sehingga harga minyak goreng dalam negeri pun diperkirakan masih akan tinggi.

Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHSP) mendata harga minyak goreng telah naik sekitar 30% sepanjang 2021 ke kisaran Rp 18.000 - Rp 20.000.

"Harga minyak goreng akan bertahan setidaknya hingga Juni 2022," kata Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang kepada Katadata belum lama ini.

Kenaikan harga minyak goreng disebabkan melonjaknya harga CPO. Untuk menurunkan harga CPO, Togar mengusulkan agar pemerintah membuka selebar-lebarnya pintu ekspor CPO.

"Saat pasar telah jenuh dengan produk CPO, harga akan berangsur turun lantaran jumlah pasokan berangsur sama dengan jumlah permintaan," kata dia.

Togar mengatakan usulan tersebut disampaikan ke Kementerian Perdagangan. Pembatasan ekspor CPO ini menjadi wacana yang yang muncul dalam mengatasi kemelut harga minyak goreng. Hingga saat ini berbagai strategi penurunan harga masih terus didiskusikan  dengan para pemangku kepentingan dan Kementerian Perdagangan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor CPO sepanjang 2021 tumbuh 15,11% secara tahunan menjadi US$ 26,66 miliar. Kenaikan nilai ekspor ditopang pertumbuhan harga CPO global sebesar 24,98% sepanjang tahun lalu.

Adapun produksi CPO sepanjang 2021 mengalami penurunan. Hingga Oktober 2021, produksi mencapai 38,89 juta ton atau susut 287 ribu ton dari capaian Oktober 2020 sebanyak 39,17 juta ton.

Togar memperkirakan volume produksi CPO sepanjang 2021 akan susut satu digit secara tahunan dari total produksi CPO pada 2020 mencapai 47,03 juta ton.

Dia mengatakan penurunan produksi merupakan efek dari masa anjloknya harga CPO periode 2018-2019. Rendahnya harga CPO membuat minimnya pemupukan dan kebun sawit baru kembali dipupuk setelah 1,5 tahun. "Waktu itu harga sampai Rp 600 di petani, sehingga salah satu (biaya produksi) yang dikurangi adalah pupuk. Efeknya (penurunan produksi) dirasakan sekarang," kata Togar.

Berdasarkan data Gapki, total volume ekspor CPO dan olahan CPO hingga Oktober 2021 naik 7,17% secara tahunan menjadi 24,09 juta ton dari 22,47 juta ton. Adapun, ekspor industri sawit secara keseluruhan naik 6,58% menjadi 28,89 juta ton.

Togar meramalkan kinerja industri sawit pada tahun lalu akan berlanjut pada tahun ini. Meski produksi turun, nilai ekspor akan meningkat berkat tingginya harga CPO global.

Togar berpendapat setidaknya ada dua faktor yang dapat menurunkan harga CPO pada tahun ini. Pertama, tercapainya target produksi CPO pada semester I-2022. Minimnya produktivitas kebun karena pupuk menjadi salah satu penyebab utama naiknya harga CPO.



Pada saat yang sama, permintaan di pasar global mulai membaik, tapi negara produsen CPO lain tidak dapat menutupi kekurangan produksi Indonesia. Alhasil, harga CPO naik sejak awal 2021 hingga saat ini.

Kedua, kinerja produksi minyak kedelai di Amerika Selatan. Selain minimnya pasokan CPO, menanjaknya harga minyak nabati lain membuat harga CPO ikut tumbuh karena minimnya pasokan.

Togar menyatakan beberapa minggu ke depan adalah penentuan hasil panen perkebunan kedelai di Amerika Selatan. Menurutnya, ada kemungkinan panen kedelai di Amerika Selatan gagal karena teriknya cuaca di sana.

"Harga (minyak) sawit sekarang naik lagi karena mengikuti harga (minyak) kedelai (karena sentimen) yang seperti itu," kata Togar.

Reporter: Andi M. Arief
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...