KPPU Curiga Ada Kartel di Balik Lonjakan Harga Minyak Goreng

Yuliawati
Oleh Yuliawati
20 Januari 2022, 18:36
harga minyak goreng
ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/YU
Warga mengantre untuk membeli minyak goreng saat operasi pasar murah di Kantor Desa Babelan Kota, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (17/1/2022).

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga praktek kartel dari kenaikan harga minyak goreng yang terjadi belakangan ini. Dugaan ini dilatar belakangi fenomena perusahaan-perusahaan besar di industri minyak goreng kompak menaikkan harga secara bersamaan.

"Ada sinyal terjadinya kesepakatan harga. Tapi ini secara hukum harus dibuktikan," kata Komisioner KPPU Ukay Karyadi dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Kamis (20/1) dikutip dari Antara.

Hasil penelitian KPPU selama tiga bulan terakhir menunjukkan kenaikan minyak goreng disebabkan naiknya harga bahan baku utamanya yaitu minyak kelapa sawit (CPO) di level internasional akibat permintaan yang meningkat.

Berdasarkan data Consentration Ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019 terdapat empat perusahaan besar yang menguasai sekitar 40% pangsa pasar minyak goreng. Empat perusahaan tersebut memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO seperti biodiesel, margarin, dan minyak goreng.

Dengan struktur pasar yang seperti itu, maka industri minyak goreng di Indonesia masuk dalam kategori monopolistik yang mengarah ke oligopoli. "Perusahaan minyak goreng relatif menaikkan harga secara bersama-sama walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri. Perilaku semacam ini bisa dimaknai sebagai sinyal bahwa apakah terjadi kartel," katanya.

Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Renamanggala menjelaskan pelaku usaha terbesar minyak goreng di Indonesia adalah pelaku usaha yang terintegrasi dari perkebunan sawit dan pengolahan CPO.

Sebagai komoditas global, kenaikan harga CPO akan menyebabkan produksi minyak goreng harus bisa bersaing dengan produk CPO yang diekspor.

Sehingga ketika harga CPO global sedang tinggi, maka produksi minyak goreng kesulitan mendapatkan bahan baku. Karena produsen akan lebih mengutamakan ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri.

"Sepertinya pelaku usaha yang lakukan ekspor ini, meski punya usaha minyak goreng, namun mereka tetap mengutamakan pasar ekspor karena itu dapat meningkatkan keuntungan mereka," katanya.

Adapun Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) berdalih, meski Indonesia merupakan produsen kelapa sawit mentah, tapi tak mampu mengatur harga sawit CPO termasuk minyak goreng. 

Direktur Eksekutif Sahat Sinaga mengatakan berdasarkan data Council of Palm Oil Producing Countries (CPOC), industri nasional memasok sekitar setengah dari konsumsi CPO dunia.

Namun, tingkat konsumsi CPO di dalam negeri hanya mencapai 35%. Kondisi ini yang membuat Indonesia tak bisa mengendalikan harga CPO.

"Kalau (tingkat konsumsi CPO) masih seperti sekarang, belum mencapai 60%, maka harga sangat dipengaruhi patokan internasional karena mereka yang membeli produk terbanyak," kata Sahat kepada Katadata, Rabu (19/1).

Untuk meredam lonjakan harga, saat ini Kemendag menetapkan kebijakan satu harga minyak goreng menjadi Rp 14 ribu per liter sejak 19 Januari hingga Juli 2022. Kementerian Perdagangan (Kemendag) mewajibkan seluruh industri minyak sawit mentah (CPO) dan olein untuk menjual sebagian hasil produksinya dalam bentuk minyak goreng (migor) ke dalam negeri. Hal ini menjadi salah satu syarat bagi industri untuk melakukan ekspor.

Sebelum kebijakan satu harga diambil, lonjakan harga minyak goreng mencapai lebih dari Rp 20 ribu per liter di beberapa wilayah, tergambar dari Databoks berikut ini:

Reporter: Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...