Pengusaha Sawit Bantah Ada Kartel Pengaturan Harga Minyak Goreng
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyebutkan ada sinyal terjadinya kartel dari kenaikan harga minyak goreng belakangan ini. Para pengusaha yang tergabung dalam beberapa asosiasi membantah tudingan ini.
KPPU menyebutkan empat perusahaan besar yang menguasai sekitar 40% pangsa pasar minyak goreng. Empat perusahaan tersebut memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO seperti biodiesel, margarin, dan minyak goreng.
Dengan struktur pasar yang seperti itu, KPPU menyebut industri minyak goreng di Indonesia masuk dalam kategori monopolistik yang mengarah ke oligopoli dan menaikkan harga bersama-sama.
Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Togar Sitanggang mengatakan kenaikan harga minyak goreng yang terjadi belakangan tak hanya pada empat produsen, tapi semua produsen. "Produsen minyak goreng itu menaikkan harga berdasarkan kenaikan CPO (crude palm oil). Silahkan YLKI dan KPPU buka grafik harga CPO," kata Togar kepada Katadata.co.id.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan naiknya harga minyak goreng karena pertumbuhan harga CPO dunia. Adapun produsen CPO di Indonesia meski memasok setengah dari konsumsi dunia, belum dapat mengendalikan harga.
Alasannya, konsumsi nasional belum dominan, yakni sekitar 35%. Untuk mempengaruhi harga, konsumsi dalam negeri minimal 60% dari total produksi CPO nasional.
Hingga 2021, total konsumsi CPO oleh industri hilir sawit hanya mencapai 35,68% atau 18,3 juta ton. CPO terbanyak digunakan industri oleopangan yang mencapai 8,95 juta ton. Kemudian diikuti oleh industri biodiesel (7,22 juta ton) dan industri oleokimia (2,12 juta ton).
Sahat menjabarkan 85% dari total produksi industri oleopangan dimanfaatkan untuk industri minyak goreng. Hasilnya sekitar 54% berupa minyak goreng curah. "Jumlah pemain dan volume penjualan minyak goreng saat ini masih didominasi oleh perusahaan yang memproduksi minyak goreng curah," kata Sahat.
Selebihnya produksi dalam bentuk kemasan sekitar 22,07% dan produksi untuk kebutuhan industri sekitar 23%. Sahat menyebut jumlah produsen minyak goreng sebanyak 45-50 perusahaan. "Jumlah volume kecil yang mereka pasarkan melalui supermarket," kata Sahat.
Dia mengatakan telah bertemu dengan Dewan Direksi KPPU pada 18 Januari 2022 untuk menerangkan kondisi industri minyak goreng saat ini. Namun demikian, menurutnya, KPPU tidak menyampaikan data yang dilaporkan pihaknya.