Terseret Kasus Ekspor CPO, 3 Perusahaan Ternyata Setor DMO Terbanyak
Kejaksaan Agung menyeret tiga petinggi dari perusahaan eksportir sawit dalam kasus dugaan korupsi penerbitan perizinan ekspor (PE) minyak sawit mentah atau crude palm oil / CPO periode Januari-Maret 2022. Berdasarkan catatan Katadata, Kementerian Perdagangan menyebut tiga perusahaan tersebut memenuhi wajib pasok dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) minyak goreng, sebagai syarat perizinan ekspor.
Kementerian Perdagangan mencatat terdapat lima perusahaan ekspor sawit yang menyetorkan DMO minyak goreng terbanyak pada periode 14 Februari - 8 Maret 2022. Mereka yakni Wilmar Grup, Musim Mas, PT Smart, Asian Agri dan Permata Hijau.
Tiga dari lima perusahaan tersebut yang merupakan terseret kasus dugaan korupsi perizinan ekspor CPO. Tiga petinggi perusahaan sawit yang terseret kasus ini yakni Komisaris Utama Wilmar Nabati Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group Stanley MA; dan General Manager PT Musim Mas Picare Togare Sitanggang.
Kejaksaan menduga mereka kongkalikong dengan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen PLN Kemendag) Indrasari Wisnu Wardhana untuk mendapatkan izin ekspor CPO.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi saat konferensi pers pada 9 Maret 2022 menyampaikan data lima perusahaan yang menyalurkan DMO minyak goreng terbanyak pada 14 Februari - 8 Maret 2022.
Grup Wilmar tercatat menyalurkan sebanyak 99,26 juta liter minyak goreng. Selain Grup Wilmar, dia juga menyebutkan Musim Mas dan Permata Hijau telah menyalurkan DMO minyak goreng masing-masing sebanyak 65,32 juta liter dan 21,19 juta liter.
Pada periode tersebut, tercatat sebanyak 38 produsen minyak goreng telah menyalurkan 415,78 juta liter minyak goreng ke distributor. Artinya, ketiga perusahaan yang petingginya menjadi tersangka tersebut berkontribusi hingga 44,67% dari total setoran DMO minyak goreng pada periode tersebut.
Manajemen PT Wilmar Nabati Indonesia pun menyatakan perusahaan telah memenuhi ketentuan wajib pasokan ke pasar domestik atau domestic market obligation/DMO sebagai persyaratan perizinan ekspor CPO.
"Wilmar Group telah mematuhi semua peraturan yang berlaku terkait dengan persetujuan ekspor dan kami akan senantiasa kooperatif mendukung kebijakan pemerintah," tulis Manajemen Wilmar Group kepada Katadata, Rabu (20/4).
Sesuai ketentuan Kementerian Perdagangan, perusahaan eksportir CPO untuk menyalurkan 20% dari volume ekspor ke pasar domestik dalam bentuk minyak goreng. Bila aturan ini tak dipenuhi, mereka tak berhak mendapatkan persetujuan ekspor.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan sesuai ketentuan, perusahaan sawit bisa mendapatkan perizinan ekspor lima kali dari volume minyak goreng hasil DMO.
Penyetoran DMO dapat dilakukan langsung maupun bekerja sama dengan eksportir yang memiliki fasilitas produksi minyak goreng maupun pabrikan minyak goreng.
Dengan menggunakan perhitungan tersebut, Wilmar Group misalnya bisa memperoleh perizinan ekspor CPO sebesar 496,3 juta liter. Namun, perseroan enggan mengkonfirmasi data perizinan ekspor yang diberikan Kemendag.
"Kami sudah kirim semua ke pemerintah. Jadi disarankan untuk konfirmasi ke Kemendag," ujar manajemen dari Wilmar yang enggan menyebutkan namanya.
Adapun Jaksa Agung Burhanuddin menjelaskan para tersangka diduga melakukan perbuatan melawan hukum dengan bekerja sama, agar penerbitan izin Persetujuan Ekspor (PE) CPO dapat keluar, tanpa perlu memenuhi syarat aturan pemerintah.
"Dengan kerja sama secara melawan hukum tersebut, akhirnya diterbitkan Persetujuan Ekspor yang tidak memenuhi syarat," kata Burhanuddin, Selasa (19/4).
Menurutnya, syarat PE seharusnya tidak keluar karena ketiga perusahaan tidak mendistribusikan CPO dan minyak goreng ke dalam negeri sebagaimana kewajiban dalam DMO, yaitu 20% dari total ekspor perusahaan. Selain itu perusahaan tidak mendistribusikan minyak goreng sesuai dengan harga penjualan dalam negeri atau Domestik Price Obligation (DPO).
"Perbuatan para tersangka mengakibatkan timbulnya kerugian perekonomian negara, yaitu kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng dan menyulitkan kehidupan rakyat," jelas Jaksa Agung.
Berikut rincian BLT yang dikeluarkan pemerintah terkait minyak goreng: