Strategi Pupuk Indonesia Capai Emisi Nol pada 2050
PT Pupuk Indonesia akan mengonversi karbondioksida atau CO2 hasil produksi amonia menjadi soda ash pada 2025. Aksi korporasi tersebut merupakan target jangka pendek Pupuk Indonesia dalam road map atau peta jalan perusahaan untuk mencapai net zero emission pada 2050.
Fasilitas produksi soda ash tersebut akan dikelola oleh salah satu anak usaha PT Pupuk Indonesia, yakni PT Kalimantan Timur. Kapasitas pabrik tersebut direncanakan mencapai 300.000 ton dengan investasi hingga Rp 4,5 triliun.
"CO2 ini kami konversi jadi soda ash, sehingga mengurangi emisi CO2 yang dibuang ke atmosfer dan kita mengurangi energi berlebih," kata Direktur Utama Pupuk Indonesia Bakir Pasaman dalam webinar Katadata Sustainability Action For The Future Economy (SAFE) 2022 dengan tema "Recover Stronger Recover Sustainable", Selasa (23/8).
Adapun, bahan baku pembuatan soda ash akan berasal dari limbah hasil produksi Pupuk Kaltim. Berdasarkan catatan Katadata, total karbondioksida hasil produksi pupuk yang tidak digunakan kembali Pupuk Kaltim mencapai 4,2 juta ton per tahun.
Pada saat yang sama, total permintaan soda ash di dalam negeri mencapai 1,1 juta ton pada 2025. Sebanyak 900.000 soda ash masih dipasok dari pasar internasional atau bergantung pada proses impor.
Pada jangka menengah, Bakir mengatakan Pupuk Indonesia akan mengarahkan penjualan kepada perusahaan energi. Pupuk Indonesia akan mengirimkan hidrogen ke pasar internasional dalam bentuk amonia ke negara yang membutuhkan hidrogen sebagai bahan baku pembangkit tenaga listrik.
Hal tersebut memungkinkan karena Pupuk Indonesia memproduksi amonia yang merupakan produk antara sebelum menjadi pupuk berbentuk urea maupun NPK.
Secara sederhana, amonia merupakan hasil percampuran antara hidrogen dan nitrogen. Sehingga, pemisahan struktur kimia amonia menjadi hidrogen tidak menghasilkan karbondioksida.
Produk amonia tersebut umumnya disebut green amoiac atau blue amoniac. Adapun, produk amonia yang digunakan saat ini adalah gray amoniac yang umum digunakan untuk kebutuhan pangan.
Selain karena tidak menghasilkan karbondioksida, Bakir memproyeksikan total volume amonia yang dihasilkan untuk kebutuhan energi akan lebih besar dibandingkan untuk kebutuhan pangan. Kebutuhan amonia global dalam bentuk green amoniac maupun blue amoniac mencapai 30 juta ton pada 2030.
Sementara itu, jumlah amonia global yang dibutuhkan untuk keperluan pangan hanya 25 juta ton pada 2030. Pada 2022, proyeksi konsumsi amonia global untuk kebutuhan pangan adalah 21 juta ton.
Bakir menghitung investasi yang dibutuhkan untuk mendirikan fasilitas produksi blue amoniac maupun green amoniac sama dengan pabrik amonia biasa. Perkiraannya, total investasi sebuah pabrik amonia dengan kapasitas produksi 2.500 ton per hari mencapai US$ 500 juta atau Rp 7,44 triliun dengan kurs Rp 14.882 per dolar Amerika Serikat.
Pendirian fasilitas produksi amonia akan menambah volume CO2 yang dikeluarkan Pupuk Indonesia. Pupuk Indonesia saat ini sedang melakukan studi untuk menyuntikkan kembali CO2 hasil produksi amonia kembali ke dalam tanah.
"Teknologi penyuntikan CO2 ini bermacam-macam, selain itu teknologi ini belum terbukti apakah sumur-sumur minyak dan gas bumi di Indonesia yang sudah terkuras bisa dipakai untuk carbon capture," kata Bakir.
Bakir mengatakan studi tersebut dilakukan dengan lima mitra berbeda, sebagian besar berasal dari Jepang.