Banding Nikel, Kadin Sebut RI Tak Boleh Tunduk Seperti Masa Penjajahan
Pemerintah berencana menempuh langkah banding atas putusan World Trade Organization atau WTO yang meminta Indonesia mencabut kebijakan larangan larangan ekspor nikel. Para pengusaha mendukung langkah pemerintah untuk mengajukan banding.
Anggota Pokja Hilirisasi Mineral dan Batubara Kadin, Djoko Widajatno, menyatakan dukungan terhadap langkah pemerintah untuk banding putusan WTO. Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association atau IMA menyebut Indonesia tak boleh tunduk seperti masa penjajahan.
"Sekarang tidak bisa negara kuat mendikte negara lain. Saya apresiasi pemerintah ajukan banding," ujar Djoko saat dihubungi lewat sambungan telepon pada pada Kamis (22/12).
Djoko menilai Indonesia berhak mengatur sumber daya alam lewat program hilirisasi. Sebaliknya dia menilai gugatan Uni Eropa mengganggu hak negara yang merdeka. "Cara-cara itu seperti penjajah," kata Djoko.
Wakil Ketua Umum Kadin Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan kekalahan gugatan WTO itu tidak berpengaruh terhadap industri dan investasi di Indonesia. “Enggak berpengaruh, karena basicly kan itu kekalahannya jelas dong, kan kita memiliki kebijakan sendiri untuk bisa melakukan hilirisasi di dalam,” ujar Shinta.
Menurut Shinta, Indonesia harus pintar dalam mencari investor yang memang hanya bertujuan untuk mengembangkan hilirisasi di Indonesia. Menurut dia, ada sejumlah investor yang tidak mempermasalahkan kebijakan hilirisasi nikel Indonesia, terutama dari pengusaha Cina. "Nah kalau mau mencari investor tergantung dari negaranya,” ujarnya.
Dia menjelaskan, kekalahan tersebut tidak menimbulkan masalah dan tidak berdampak apapun terhadap para investor. Para investor hanya bertujuan untuk berinvestasi dan bekerjasama dengan Indonesia, ” Karena mereka memang benar-benar mau investasi untuk perkembangan hilirisasi di Indonesia. Jadi gak ada dampaknya buat mereka,” kata Shinta.
Nilai Ekspor Nikel Melonjak Berkat Hilirisasi
Pemerintah resmi melarang ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020. Tujuan pemerintah yaitu meningkatkan nilai tambah nikel melalui hilirisasi. Apalagi tren penggunaan kendaraan listrik semakin meningkat di dunia, di mana nikel adalah bahan baku penting untuk memproduksi baterai .
Kebijakan pemerintah melarang ekspor nikel dan mendorong hilirisasi berbuah manis. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor nikel pada kuartal III 2022 mencapai US$4,13 miliar. Angka itu meroket 405,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 820 juta.
Nilai ekspor nikel mengalami lonjakan signifikan tak lama setelah larangan ekspor bijih nikel berlaku. Hasilnya mulai terlihat pada 2021 dengan nilai ekspor yang melonjak hingga 58,89% menjadi US$ 1,28 miliar dibandingkan setahun sebelumnya yang sebesar US$ 808,4 juta.
Sedangkan tahun ini, pemerintah menargetkan nilai ekspor nikel dapat mencapai US$ 27-30 miliar. "Menurut data perdagangan, kami akan menutup perdagangan nikel pada 2022 dengan nilai US$ 27 miliar sampai US$ 30 miliar," kata Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil dalam Indonesia Net Zero Summit 2022, Bali, Jumat (11/11).