Distribusi Batu Bara Australia Terganggu, HBA Terkerek Naik
Kementerian ESDM menetapkan harga batu bara acuan (HBA) Januari 2023 menjadi US$ 305,21 per ton. Angka tersebut naik 8,43% atau US$ 23,73 per ton dari level harga Desember 2022 lalu senilai US$ 281,48 per ton.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK), Agung Pribadi, menjelaskan kenaikan HBA dipicu gangguan distribusi batu bara di Australia. Australia yang merupakan salah satu pemasok batu bara global mengalami cuaca buruk.
"Lonjakan harga batu bara Australia yang terjadi saat ini dikarenakan tingginya curah hujan yang menyebabkan terkendalanya angkutan batu bara," kata Agung lewat siaran pers yang dikutip pada Rabu (4/1).
Selain itu, distribusi terkendala proses bongkar muat di pelabuhan muat. "Adanya permasalahan di pelabuhan muat yang memicu terkendalanya pasokan batu bara Australia ke negara importir, seperti Jepang dan Korea juga turut andil," ujar Agung.
Faktor lain yang mengerek kenaikan HBA adalah kenaikan index bulanan Globalcoal Newcastle Index (GCNC) sebesar 16,23% dan Newcastle Export Index (NEX) sebesar 17,88%, meskipun index Platts dan Indonesia Coal Index (ICI) turun sebesar masing-masing 8,81% dan 3,25%.
Pada 2022 lalu, HBA sempat menyentuh nilai tertinggi pada bulan Oktober, dimana HBA menguat hingga menyentuh level US$ 330,97 per ton. Kondisi geopolitik Eropa imbas konflik Rusia - Ukraina yang menyebabkan fluktuasi harga gas Eropa menjadi faktor pengerek utama pada saat itu.
Nantinya, HBA ini akan digunakan secara langsung dalam jual beli komoditas batu bara (spot) selama satu bulan pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Veseel) selama bulan Januari 2023.
Terdapat dua faktor turunan yang memengaruhi pergerakan HBA yaitu, supply dan demand. Pada faktor turunan supply dipengaruhi oleh cuaca, teknis tambang, kebijakan negara pemasok, hingga teknis di supply chain seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.
Sedangkan faktor turunan demand dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro.