Awan Mendung Nasib Pekerja Rumahan di Pesisir Jakarta

Muhamad Fajar Riyandanu
29 April 2023, 07:20
Aksi unjuk rasa buruh di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (16/11/2020).
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.
Aksi unjuk rasa buruh di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (16/11/2020).

Aroma menyengat langsung menusuk hidung ketika memasuki ruangan seluas 3 x 4 meter di salah satu rumah di ujung jalan Gang Mawar. Tempat itu adalah ruang tamu milik Muniah (45), seorang ibu rumah tangga sekaligus pekerja rumahan yang tinggal di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.

Aroma tajam itu berasal dari sejumlah botol air mineral ukuran tanggung yang berisi cairan lem warna kuning yang menghasilkan bau mirip thinner. Meski botol itu tertutup, aroma tajam masih tercium kuat.

Muniah sehari-hari bekerja sebagai pekerja rumahan yang mengelem insole sepatu untuk industri produk alas kaki wanita. Insole merupakan produk setengah jadi pada industri alas kaki, yakni bagian tubuh sepatu yang letaknya persis di bawah kaki. Bagian ini lebih akrab disebut pijakan atau alas kaki.

Pekerjaan insole yang dilakukan Muniah ini menggabungkan tatakan (pijakan sepatu) dan kulit sepatu. Tatakan pijakan ini biasanya terbuat dari kardus keras dan karet/spons. Adapun kulit sepatu ini terbuat dari bahan material karet elastis.

Pekerjaan yang sudah dia telateni selama 14 tahun itu mengharuskan dirinya untuk bergulat dengan lem tiap harinya. Muniah menggunakan lem untuk merekatkan pijakan kaki dan kulit sepatu.

Muniah memiliki perkakas kerja berupa piring makan porselen dan satu buah kuas. Setiap memulai pekerjaan, dia selalu menuangkan lem ke atas piring, Dia secara perlahan mengambil cairan lem dengan ujung kuas dan segera mengolesi lem tersebut ke satu sisi tatakan dan kulit.

Tatakan dan kulit tak lantas disatukan. Muniah menunggunya selama kurang lebih lima menit. Jeda waktu ini penting, kata Muniah, agar cairan lem meresap ke pori-pori kulit dan tatakan.

Muniah (45), seorang ibu rumah tangga sekaligus pekerja rumahan yang tinggal di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Muniah (45), seorang ibu rumah tangga sekaligus pekerja rumahan yang tinggal di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. (Katadata/Fajar Riyandanu)

Setelah menunggu lima menit, Muniah melekatkan tatakan dengan kulit. Dia lalu mengambil sebuah palu dan mengetuk setiap bagian dari insole tersebut.

Tak hanya itu, Muniah lalu berdiri dan kemudian menginjak-nginjak insole secara perlahan. Tujuannya untuk menghilangkan celah udara yang berpotensi tertinggal saat perekatan tatakan dan kulit. “Supaya insole-nya rata, gak bergelembung,” ujar Muniah.

Muniah selalu membuka pintu rumahnya selama bekerja. Dia tak nyaman dengan bau lem yang memenuhi ruangan. Satu sisi, dia khawatir lem itu bisa mengganggu Kesehatan cucunya, yang selalu menemaninya bekerja. “Jadi pintu harus dibuka dan kipas menyala terus. Lemnya bau, enggap. takutnya kena plek.” kata dia.

Dia sempat berpikir berhenti dari pekerjaan ini demi Kesehatan sang cucu. Namun, dia khawatir bila berhenti kerja tak punya pemasukan lagi. “Tapi kalau enggak ngelem, kepikiran buat jajan anak bontot darimana,” kata Muniah saat ditemui di rumahnya pada akhir Desember lalu.

Upah Minim Pekerja Rumahan

Selain bekerja mengejar target mengelem insole, Muniah juga berperan merekrut pekerja lain. Dia berperan sebagai perantara yang berhubungan langsung dengan pemberi kerja yang menyalurkan suplai tatakan dan kulit. Muniah merupakan satu di antara tujuh orang perantara yang bekerja untuk pabrik sepatu tersebut. Satu orang perantara umumnya memiliki 5-6 anak buah.

Sebagai perantara, Muniah punya kewajiban untuk membagi jatah paket pekerjaan harian kepada para anak buahnya. Pembagiannya fleksibel tanpa target yang kaku. “Tergantung mereka mampu mengerjakannya. Namanya juga ibu rumah tangga, kadang sibuk ngurus rumah dan anak,” ujar Muniah.

Pekerja rumahan yang berstatus sebagai perantara akan diberi upah Rp 1.000 per pasang, sedangkan anak buah mendapat upah Rp 400 per pasang. Kendati menerima upah lebih tinggi, Muniah dan enam perantara lainnya diwajibkan oleh pabrik untuk membeli lem seharga Rp 375 ribu per kaleng untuk 1.200 pasang sepatu.

Muniah biasanya mengerjakan tugasnya bersama suaminya Yusuf. Rata-rata dalam sepekan, kedua pasangan mendapat pesanan 2.400 pasang atau 4.800 buah insole sepatu. Pekerjaan ini lalu dibagi-bagi dengan anak buahnya.

Setelah mengerjakan order itu, mereka mendapat Rp 2,4 juta pada pekan itu. Besaran tersebut belum dikenakan potongan wajib dari pembelian dua kaleng lem seharga Rp 750 ribu.

Sisa upah senilai Rp 1.650.000 akan kembali dipotong untuk pembayaran utang Rp 100 ribu-200 ribu dan ongkos ganti rusak atau denda senilai Rp 28 ribu. “Enggak tahu biaya barang yang rusak itu seperti apa, pokoknya di-charge saja tiap minggu,” kata Muniah.

Sisa uang yang diterima oleh Muniah pada pekan itu kemudian dibagi kepada enam orang, terdiri dari Muniah dan lima anak buahnya setiap akhir pekan usai dirinya menerima bayaran dari pemberi kerja.

Tiap-tiap anak buah mendapat bayaran yang bervariasi, tergantung berapa banyak insole yang dihasilkan. Dia menggambarkan, rata-rata upah anak buahnya bervariasi mulai Rp 170 ribu sampai Rp 196 ribu. Sedangkan Muniah sendiri mendapat upah Rp 250 ribu.

Nasib Een Sunarsih, pekerja rumahan lainnya, tak berbeda jauh dengan Muniah. Dia tinggal di Gang Rawa Kelok, di Kawasan Penjaringan, Jakarta Utara. Di gang ini, para pekerja rumahan menerima order jahit baju, pengeleman kertas bungkus makanan ayam goreng hingga merangkai puzzle anak.

Een menerima order pengerjaan puzzle anak. Puzzle ini terdiri atas 42 gambar berupa gabungan huruf, angka dan simbol. Puzzle itu biasa menjadi media belajar bagi anak-anak sekolah Pendidikan Anak Usai Dini (PAUD).

Saat menerima kiriman dari pabrik, warna gambar dan rumah puzzle memiliki warna yang seragam. Een bertugas untuk memisahkan sekaligus memasang kembali bagian gambar ke rumah puzzle dengan warna yang berbeda. Tujuannya untuk menciptakan kontras dari perbedaan warna pada dua bagian puzzle tersebut.

Pemberi kerja mematok upah borongan senilai Rp 65 ribu untuk pengerjaan seribu buah puzzle selama satu bulan. Ketika Katadata menemuinya, perempuan 46 tahun ini belum mencapai target sehingga memeroleh Rp 35 ribu.

Pengerjaan satu buah puzzle itu membutuhkan waktu sekitar 15 menit, lebih lama dari proses pembuatan satu pasang insole sepatu. “Saya gajian Rp 35 ribu satu bulan. Tapi dasar ibu-ibu mah mau saja, buat iseng,” kata Een saat ditemui di rumahnya pada akhir Desember.

Halaman:
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...