Pemegang Saham Dikabarkan Desak Softbank Merger Gojek dan Grab
Para pemegang saham Grab dan Gojek dikabarkan sedang melobi SoftBank untuk mendorong realisasi merger kedua decacorn Asia Tenggara tersebut. Laporan Financial Times menyebut pemegang saham kedua perusahaan tersebut mempunyai kekuatan cukup besar untuk melobi kepentingan mereka.
Selama ini kedua decacorn itu sudah bersaing memperebutkan pasar di layanan on-demand. Gojek berbasis di Indonesia yang didukung oleh Tencent dan Google, sementara Grab yang berbasis di Singapura didukung Microsoft dan SoftBank telah intensif bersaing selama 18 bulan terakhir.
"Kekuatan yang bermain di sini lebih tinggi dari sekadar apa yang diinginkan Grab atau Gojek," kata pemegang saham Grab seperti dilansir Financial Times pada Minggu (8/3).
(Baca juga: Gojek Luruskan Kabar Rencana Merger dengan Grab)
Upaya menyatukan keduanya terus menerus dilakukan setidaknya dalam dua tahun terakhir. Namun, akhir-akhir ini ada kepentingan baru di antara pemegang saham yang mencoba mendekati SoftBank untuk turun tangan merealisasikan merger.
"Sejumlah pemegang saham berpengaruh jangka panjang di kedua perusahaan ingin membendung kerugian atau menemukan cara untuk keluar dari investasi mereka," kata pemegang saham Grab itu.
Situasi yang dihadapi Softbank yang selama ini menjadi penyokong besar Grab pun kini berubah. SoftBank saat ini berada di bawah tekanan menyusul gagalnya penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) dari startup berbagi kantor (co-working space) WeWork tahun lalu.
(Baca juga: Dikabarkan Merger dengan Gojek, Grab Justru Dapat Investasi Rp 11,8 T)
Pendiri SoftBank Masayoshi Son baru-baru ini juga mengunjungi Jakarta untuk diskusi eksplorasi. Namun, kesepakatan yang diinginkan Son masih belum jelas. "Dinamika kedua belah pihak terbuka," kata salah satu pemegang saham Gojek yang berpengaruh seperti dilansir Financial Times.
Meski demikian, kepentingan para pemegang saham berpengaruh itu akan mendapatkan tantangan. "Ada masalah kontrol yang rumit," kata pemegang saham Gojek itu.
Apabila merger terealisasi, Grab dan Gojek bersiap menghadapi ancaman denda atau tekanan anti monopoli. Begitu juga yang pernah terjadi ketika Uber dan Grab didenda US$ 13 juta atau Rp 187 miliar oleh pengawas persaingan usaha Singapura saat upaya merger dilakukan keduanya pada 2018 untuk kuasai pangsa pasar Asia Tenggara.
Sebelumnya, The Information yang mengetahui pembicaraan merger menyampaikan, kesepakatan itu akan menjadi langkah baru terkait konsolidasi bisnis pasar pesan-antar makanan dan berbagi tumpangan (ride hailing). Tujuannya meminimalkan kerugian antara Grab dan Gojek.
"Perusahaan mencoba untuk membendung kerugian yang disebabkan oleh pertarungan mahal untuk merebut pangsa pasar," demikian dikutip dari The Information beberapa waktu lalu (24/2).
Valuasi Grab disebut-sebut mencapai US$ 14 miliar (Rp 194,6 triliun), sementara Gojek US$ 9 miliar (Rp 125,1 triliun). Jika merger itu benar terjadi, maka akan terbentuk startup dengan valuasi yang cukup tinggi.
Manajemen Gojek kemudian membantah kabar tersebut. "Tidak ada rencana merger, dan pemberitaan yang beredar di media terkait hal tersebut tidak akurat," kata Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu (25/2).
Di tengah kabar merger, Grab justru mendapat pendanaan US$ 850 juta atau sekitar Rp 11,84 triliun, kemarin (25/2). Pendanaan itu diperoleh dari investor Jepang, Mitsubishi UFJ Financial Group Inc dan TIS Inc.
Dana segar itu akan digunakan decacorn asal Singapura untuk menyediakan layanan keuangan yang dapat diakses konsumen di Asia Tenggara. Bank terbesar di Jepang, MUFG akan menginvestasikan US$ 706 juta atau sekitar Rp 9,84 triliun. Sedangkan TIS menanamkan modal US$ 150 juta atau Rp 1,46 triliun.
"Dukungan berkelanjutan dari investor terkemuka dunia menunjukkan kepercayaan mereka pada strategi aplikasi super Grab,” kata Presiden Grab Ming Maa dalam siaran pers, beberapa waktu lalu (25/2).
(Baca: Investor Ingatkan Startup agar Waspadai Dampak Corona Terhadap Bisnis)