Realisasi Target EBT Terhambat Regulasi hingga Teknologi
Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) berharap agar hambatan-hambatan dalam merealisasikan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 dapat segera diatasi. Beberapa diantaranya seperti terkait regulasi, pendanaan, keekonomian hingga ketersediaan teknologi.
Ketua APLSI Arthur Simatupang mengatakan pemerintah perlu mengkaji ulang faktor-faktor yang menghambat realisasi bauran EBT selama ini. Sehingga target bauran energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025 dapat tercapai.
"Apakah dari sisi regulasi, apakah dari segi pendanaan, apakah yang sudah tertuang dalam PPA bankable dan juga ketersediaan dari teknologi apakah mengalami kendala," ujar dia dalam Squawk Box, CNBC Indonesia, Senin (13/9).
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha optimistis target bauran EBT 23% pada 2025 dapat tercapai. Meskipun dari sisi pencapain sendiri, bauran EBT sampai sekarang ini tercatat baru 11,2%, padahal target tahun ini sebesar 13,42%.
"Di tahun 2021 13,42% tetapi yang tercapai 11,2% kurangnya 1-2% untuk target tahun ini," katanya.
Satya mengatakan hingga saat ini pemerintah masih tetap berpatokan pada target bauran EBT sebesar 23% di 2025 yang sudah dicanangkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Sehingga belum akan merevisi target tersebut.
Target tersebut juga sejalan dengan Grand Strategi Energi Nasional (GSEN) yang masih sedang bergulir. Salah satu poin yang cukup besar mendapat perhatian yakni pengembangan PLTS secara masif.
DEN berjanji akan segera menuntaskan berbagai hambatan yang ada di lapangan. "Nah yang kami lihat di sini adalah masalah harga dan lain lain, kami pararel sedang mengerjakan Perpres EBT, sedang ditunggu-tunggu," katanya.
Di samping itu, pemerintah saat ini juga tengah mempertimbangkan penerapan pajak karbon ke energi fosil. Sehingga dapat mendorong pengembangan proyek energi terbarukan ke depan.
Apalagi Indonesia menjadi salah satu negara yang telah menandatangani komitmen pada perjanjian paris. Dalam perjanjian itu, sebanyak 195 negara sepakat menurunkan emisi karbonnya dalam rangka mencegah perubahan iklim. "Bagaimana cara mengurangi emisi, bisa menggunakan teknologi, gas sebagai transisi energi kita ke depan," katanya.