Pendanaan untuk Penurunan Emisi Karbon 2030 Tak Bisa Andalkan APBN
Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon dioksida (CO2) pada 2030 sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Kementerian Keuangan menyebut berdasarkan kemampuan APBN dan tren investasi di Tanah Air, pendanaan tersebut tak bisa mengandalkan keuangan negara.
Staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin mengatakan total kebutuhan investasi hijau untuk mencapai target penurunan emisi Gas Rumah Kaca dengan usaha sendiri pun tidak memungkinkan mengandalkan APBN. Dia menyebut 40% dari pembiayaan dengan usaha sendiri perlu diperoleh dari luar APBN.
"Untuk mencapai Nationally Determined Contribution (NDC), 40% dari nya mungkin tidak akan terpenuhi. Perlu dipenuhi dari sektor swasta di luar APBN," kata Masyita dalam Day 3 - INDO EBTKE CONEX 2021, Rabu (24/11).
Sedangkan untuk mencapai target pengurangan emisi sebesar 41% dengan bantuan internasional, itu pun sebanyak 55% tidak akan terpenuhi oleh APBN. Artinya keterlibatan swasta dalam pendanaan ini sangat dibutuhkan.
Masyita menjelaskan kebijakan fiskal perubahan iklim akan diarahkan untuk mengoptimalkan pendanaan yang ada. Terutama dengan tetap mobilisasi pendanaan di luar APBN, baik itu domestik maupun pendanaan internasional.
Adapun biaya yang dibutuhkan untuk mitigasi perubahan iklim paling besar berasal dari sektor energi dan transportasi. Setidaknya kebutuhannya mencapai lebih dari Rp 3.300 triliun. Sedangkan berdasarkan survei lain, kebutuhan dana untuk sektor energi dan transportasi ini bahkan mencapai Rp 3.500 triliun.
Guna mobilisasi pendanaan domestik, maka pihaknya akan mengoptimalisasi fungsi dan dukungan APBN dalam proyek hijau serta membuat peran dana APBN menjadi katalisator dalam pemupukan dana perubahan iklim. Selain itu, Kementerian Keuangan juga akan meningkatkan keterlibatan swasta.
Saat ini Kementerian Keuangan juga tengah menyusun Kerangka Kerja Fiskal Perubahan Iklim (Climate Change Fiscal Framework/CCFF). CCFF ini disusun untuk merumuskan opsi kebijakan fiskal dan strategi pendanaan perubahan iklim yang lebih menyeluruh dan komprehensif. "Sehingga kita bisa mencapai NDC dan net zero ini lebih feasible dari segi timeline maupun biaya," katanya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan bahwa estimasi biaya akumulatif yang dibutuhkan Indonesia untuk memitigasi perubahan iklim, termasuk untuk menurunkan emisi karbon, sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC) mencapai Rp 3.779 triliun hingga 2030.
Angka tersebut berdasarkan referensi dari peta jalan (roadmap) NDC Mitigasi Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menggunakan pendekatan biaya aksi mitigasi.
"Indonesia berkomitmen akan menurunkan emisi CO2 pada 2030 sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% kalau kita mendapatkan bantuan internasional," katanya dalam IAI Sustainability Roundtable Discussion di Jakarta, Selasa (16/11).
Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris atau Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen NDC pada 2016. Berdasarkan dokumen NDC, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% melalui kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030.
Secara rinci, kebutuhan pendanaan mitigasi perubahan iklim tersebut jika dilihat per sektor meliputi sektor kehutanan Rp 93,28 triliun, energi dan transportasi Rp 3.500 triliun, IPPU Rp 0,92 triliun, limbah Rp 181,4 triliun, serta pertanian Rp 4,04 triliun.